Beranda Cerpen Melodi Hujan di Bulan September

Melodi Hujan di Bulan September

BERBAGI
Amirah Nurlija Zabrina [AM]
Ilustrasi (Amirah Nurlija Zabrina [AM]/DETaK)

Cerpen | DETaK

Angin mulai bertiup kencang, menggoyang pepohonan. Hujan rintik-rintik perlahan berubah menjadi deras. Di bawah langit kelabu, seorang gadis bernama Salma sedang berdiri di depan jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Setiap kali hujan turun, menjadi trauma tersendiri baginya yang mengingatkannya akan kejadian kelam. Salma memejamkan matanya, berusaha mengusir segala bayangan masa lalu yang muncul setiap kali hujan turun.

Meskipun kejadian itu sudah berlalu beberapa tahun silam, dalam benaknya terus muncul ingatan tentang insiden yang merenggut nyawa orang tuanya di malam hujan yang tak kunjung reda. Oleh karena itu, setiap tetes yang turun ke bumi seolah memutar kembali memori pahit yang berusaha ia sembunyikan. Bagaimanapun, Salma tidak pernah benar-benar lari dari kenyataan tersebut. Setiap bulan September, tepatnya ketika musim penghujan tiba, Salma sadar bahwa takdir selalu membawanya kembali ke perasaan takut dan hancur.

Di balik segala kesedihannya, Salma adalah seorang mahasiswa yang rajin dan pintar. Tak jarang terdengar namanya terpampang di berbagai tempat seperti koran, media sosial, atau website kampus. Prestasinya di kampus tidak pernah turun, meski jiwanya sering kali dihantui rasa kesepian. Temannya, Bian adalah satu-satunya orang yang mengetahui beban di balik senyumnya. Bian merupakan tetangga seberang rumahnya, dan mereka sudah bersahabat sejak kecil.

“Hujan memang pernah membawa kenangan pahit bagi lu,” Ucap Bian suatu ketika mereka sedang duduk di taman.

”Tapi yang perlu lu ingat, hujan juga ngasi kehidupan. Buktinya, bunga-bunga noh pada tumbuh karena hujan. Pasti pelan-pelan lu bakal bisa nerima hujan,” lanjutnya.

Kalimat yang dilontarkan Bian sering kali terngiang dalam benaknya. Namun, Salma masih belum menemukan cara untuk menerima hujan kembali ke dalam hidupnya. Setiap pergi ke kampus, ia berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya, tetapi saat pulang ke rumah bersamaan dengan turunnya hujan, rasa kosong itu kembali hadir dengan sendirinya.

Suatu ketika, Salma mendapatkan tugas dari dosen mata kuliah Bahasa Indonesia, yakni membuat karangan bebas dengan tema “Hujan dan Harapan”. Salma pun menjadi frustasi memikirkan bagaimana ia bisa menulis sesuatu yang positif tentang hujan. Selama ini, hujan selalu menjadi pengingat akan hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Namun, pada malam itu, ketika suara gemuruh guntur sesekali memecah keheningan Salma mendapatkan ide cermelang dan segera mengetiknya di laptop. Ia memutuskan untuk menjelaskan hujan dari sudut pandang yang berbeda. Dalam ceritanya, hujan merupakan teman yang menemaninya pada kesepian, membersihkan luka-luka masa lalu, dan menumbuhkan secercah harapan baru, meskipun butuh waktu untuk menerimanya.

Ketika mengetiknya, Salma merasa bahwa dirinya bukan hanya sedang menciptakan sebuah cerita, tetapi ia juga ikut menyembuhkan dirinya sendiri. Hujan yang ia ketik di layar perlahan berubah makna, bukan lagi sebagai alarm trauma, melainkan sebagai alat untuk menerima dan mengobati masa lalu. Di akhir, ia menambahkan “Hujan tidak selamanya akan membawa kenangan pahit, namun selalu ada kesempatan untuk menumbuhkan harapan baru dari setiap tetes yang jatuh. Seperti bunga yang bisa mekar di tengah badai, begitu halnya dengan hati manusia.”

Hari pengumpulan tugas pun tiba, Salma merasa tidak terlalu peduli apakah tugasnya tersebut mendapatkan nilai tinggi atau tidak. Baginya, menulis cerita tentang sesuatu hal yang paling berpengaruh baginya sudah bisa menjadi kesan tersendiri. Kesan tersebut perlahan mengubah persepsinya tentang hujan. Pada akhirnya, Salma belajar bahwa menerima hujan di dalam kehidupannya bukan berarti melupakan apa yang telah terjadi, tetapi menemukan jalan sendiri dan berdamai dengannya.

Mulai sekarang, setiap kali hujan turun ke bumi, meskipun kenangan masa lalu masih tercetak jelas dalam pikirannya, Salma mulai mendengarnya dengan melodi yang berbeda. Bukan lagi suara yang membuat hatinya teriris, melainkan nada yang menyenangkan. Seakan setiap tetes hujan yang jatuh menyampaikan pesan kepadanya bahwa semuanya akan terjadi baik-baik saja. Kini, Salma tidak lagi terbebani oleh kenangan pahit yang menghantuinya. Sebaliknya, ia merasa diberi kesempatan untuk memulai lembaran hidup yang baru.

Penulis adalah Amirah Nurlija Zabrina, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Raisa Amanda