Cerpen | DETaK
Sebuah komputer berusia belasan tahun itu masih menyala, kipasnya berputar dengan desing pelan yang monoton, suaranya yang tidak terlalu besar itu memenuhi sebuah ruangan yang kosong. Jam besar yang tergantung di dinding menunjukkan waktu pukul 11.45 malam. Ruangan kantor sudah ditinggalkan dari satu jam yang lalu, meninggalkan sesosok pria dalam rentang usia dua puluhan yang duduk terdiam menatap layar terang komputer tanpa berkedip.
Matanya tampak sayu, lingkaran berwarna hitam mulai terlihat dibawahnya, bibirnya kering dihembus angina AC yang dingin, rambutnya tersisir asal dengan jari, dasi dan pakaiannya mulai terlihat kusut, sekusut harinya dan wajahnya saat ini.
Layar komputer dengan cahaya yang terang itu menunjukkan tabel data yang belum terisi dengan sempurna, itu merupakan laporan data pemasukan akhir bulan lalu, yang harus segera diselesaikan sebelum kalender menyentuh tanggal 10 bulan ini, atau lebih tepatnya besok. pria yang bernama fahri itu tampak frustasi, tapi bukan karena deadline laporannya besok, bukan karena data yang belum terisi dengan lengkap, bukan pula karena omelan ibunya yang senantiasa bertanya kapan ia akan menikah. Namun, ia frustasi dengan dirinya sendiri, dengan pikiran dan pertanyaan yang saat ini berputar di kepalanya. Kenapa ia harus bekerja seperti ini?
Apakah pekerjaan ini memang pekerjaan yang ia inginkan? Jika ia tidak mengikuti saran ibunya saat SMA untuk memilih jurusan akuntasi, apakah ia akan tetap bekerja seperti ini? Apakah jika ia benar-benar mengikuti keinginan hatinya masuk ke jurusan pendidikan, akankah ia lebih bahagia saat ini? Tapi… bukankah gaji guru sedikit dan gaji akuntan lebih banyak? Jadi apakah ia akan lebih bahagia?
Fahri menghela nafas pelan, pekerjaan ini sama sekali tidak membantunya menemukan jawaban, ia bergegas menginput data yang tersisa, kemudian segera mematikan komputer tua yang suara desingannya mulai menganggu. Fahri lelah dengan pekerjaan ini, pekerjaan ini sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan, apalagi yang ia impikan. Dari dulu ia tau, bekerja kantoran pasti akan membosankan, ia tidak akan bebas berkarya, tidak bisa menyalurkan pengetahuannya kepada orang lain, dan pekerjaan ini monoton. Tapi ia juga tidak mau menjadi guru, setelah mendengar saran ibunya, menjadi guru jadi terasa tidak menyenangkan, apalagi menjadi guru honorer, gajinya bahkan tidak separuh UMR.
Lalu sebenarnya apa yang ia inginkan?
Fahri mengemas barang-barangnya yang tergeletak berantakan diatas meja. Sudah pukul 12 malam, ia sebaiknya pulang. Ada seseorang yang cemas menunggunya dirumah, dan yang pasti orang itu bukan istrinya karena ia belum menikah. Fahri masih tinggal bersama ibu dan dua adiknya yang masih sekolah, ayahnya telah lama meninggal, dan kini fahri menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Tidak mungkin ia resign karena sekarang tidak mudah mendapatkan pekerjaan.
Lalu haruskah ia bersyukur ketika mimpinya semakin kabur?
Dahulu ketika duduk di bangku SMA, Fahri sempat merasa kasihan ketika melihat banyak orang yang terpaksa bekerja dan terlihat tidak menikmati pekerjaanya, jauh dari bidang yang diminati, bahkan terkadang mengubur impiannya sendiri, ada juga orang yang merasa terbiasa dengan kesehariannya, sehingga menganggap itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Dan sekarang orang itu adalah dirinya sendiri. Lolucon hidup apa ini?
Apakah semua orang seperti dirinya? Apakah semua orang mengubur mimpinya? Atau.. hanya dia yang pengecut? Takut untuk berhenti dan menemui yang tidak pasti seperti mimpi. Apalah arti mimpi, ketika dewasa kita malah dipertemukan dengan realita, bukan fantasi semata.
Fahri tidak lagi memiliki mimpi, ia sudah lama menidurkan mimpinya di alam yang lain. Dengan senyum tersungging di wajah yang dingin, fahri melangkah keluar dari kantor yang sudah gelap dan kosong. Ia orang terakhir yang pulang hari itu. Meskipun kepalanya terasa berat, tapi langkahnya terasa ringan.
“malam pak” sapa Fahri ketika melewati satpam yang sedang berjaga di depan kantor.
“loh kok baru pulang mas?! Ikih lagi banyak kerjaan atau malas pulang?” dengan aksen Jawa yang kental, pak Joko, satpam yang sudah bekerja puluhan tahun di kantor itu bercanda seperti biasanya.
“biasa pak, laporan akhir bulan” jawab Fahri santai.
“oh ngeh ngeh, ati-ati di jalan yo mas, salam ke ibumu” kata pak Joko sambil tersenyum.
Fahri balas tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya ke parkiran, sebuah motor butut bertopang disana sendirian. Fahri akan pulang, dan akan kembali lagi besok, dan akan kembali lagi keesokan harinya, dan akan kembali lagi esok dan keesokan harinya. Ia tidak berniat untuk berhenti, ia harus menjalani pekerjaan ini, walau ia benci, walau ia tak sanggup lagi.
Tapi hidup bukan hanya tentang mimpi, ada yang namanya tanggung jawab, ada yang namanya tuntutan. Kadang, kita harus menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, dan belajar menyeimbangkan antara asa dan realita. Hidup bukan hanya tentang apa yang kita cintai, atau apa yang kita benci, tapi apa yang kita pilih untuk jalani.
Fahri menghirup nafas dalam, menikmati angin malam yang membelai wajahnya pelan. Ia sudah memutuskan, tidak semua pertanyaan harus dijawab sekarang, tidak semua mimpi harus diwujudkan saat ini, semua butuh waktu, semua punya porsinya sendiri. Ia akan tetap berada di jalan ini, untuk sementara waktu, atau untuk waktu yang lama, ia tidak tau. Yang pasti ia akan menerimanya, dengan disertai doa, bahwa suatu hari, harapannya untuk mewujudkan mimpi akan menghampiri.
Penulis bernama Zarifah Amalia, mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Putri Izziah