Memoar | DETaK
Menjadi bagian dari UKM Pers DETaK di Universitas Syiah Kuala selalu membuat saya merasa punya akses ke setiap sisi kampus yang penuh cerita, ide, dan wawasan. Sebagai mahasiswa yang baru memulai langkah di dunia jurnalistik, pengalaman saya meliput sejauh ini berjalan lancar, tanpa hambatan yang berarti.
Namun, suatu kali saya mendapat tugas liputan di Program Studi Psikologi untuk wawancara seorang ketua panitia acara. Saya bersemangat, mempersiapkan diri dengan pertanyaan terbaik dan tiba tepat waktu di ruang tunggu prodi itu, berbekal alat tulis dan perekam suara.
Setelah menunggu beberapa saat, kabar datang bahwa ketua penitia tersebut masih dalam kegiatan dan harus membuat saya menunggu. saya tidak masalah akan hal tersebut. Setelah beberapa lama, ia tiba di ruangan kelas kosong tempat saya diarahkan menunggu. Saya cukup bersemangat, namun tak berapa lama seseorang muncul dibalik pintu mengarahkan ketua panitia untuk kembali ke acara karena suatu hal. Diminta untuk kembali menunggu, saya mencoba bersabar, namun menit terus berlalu, dan waktu menunggu terus bertambah hingga setengah jam, satu jam, akhirnya, hanya saya dan kesunyian yang tersisa di ruang itu.
Saya mengamati suasana di sekitar, papan tulis, meja dosen, kursi mahasiwa dan prodi Psikologi entah bagaimana membangkitkan kenangan lama yang hampir saya lupakan. Sejak dulu, saya punya impian menjadi psikolog. Rasanya dunia itu begitu menarik bagi saya. memahami pikiran, emosi, dan bagaimana membantu orang mengatasi masalahnya. Namun, saya akhirnya harus meninggalkan mimpi itu, karena keluarga menentang perihal merasa bahwa biaya untuk menjadi seorang psikolog terlalu besar, dan menganggap keluarga serta saya tidak cukup mampu. Masih teringat jelas kalimat ibu saya “Ngapain masuk psikologi USK? kedokteran kan? mahal pasti, ayah ga sanggup bayar. Ambil yang lain aja, ya” ucap ibu setelah ku beri tahu ingin kuliah di psikologi.
Lontaran kalimat itu menyergap kesedihan di dada. Jika keluarga saja tidak memberi dukungan, saya harus bagaimana? memaksakan kehendak pun sampai saya berhasil rasanya akan tetap sulit, mengingat sejak awal orang tua tidak pernah merestui mimpiku. Sekian lama perdebatan muncul dalam diri, akhirnya saya memilih mengalah, berdamai, hingga mimpi itu hari ini kembali naik ke permukaan.
Semakin lama saya menunggu, semakin tenggelam saya dalam lamunan tentang mimpi yang tak jadi nyata. Rasa sedih muncul di dada, mengingat keinginan lama yang terasa menyakitkan jika dikenang. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika hidup berjalan lain? Bagaimana jika saya berani berjuang untuk impian itu? Bagaimana jika saya mendapatkannya? Namun kembali saya mengingat perkataan salah satu dosen dikelas saya “Jika kalian tidak bisa dapat yang kalian cintai, cintai lah yang telah kalian dapat,” katanya meyakinkan. Setidaknya, kalimat itu membuat saya ikhlas.
Akhirnya, hampir dua jam berlalu. Ketua panitia yang saya tunggu datang dengan senyum ramah, meminta maaf atas keterlambatannya. Walau sempat lelah, saya menyambut kesempatan itu dengan antusiasme. Penantian yang panjang, dan momen di prodi Psikologi, bukan hanya membuat saya belajar tentang kesabaran, tetapi juga mengingatkan saya bahwa mimpi-mimpi lama mungkin masih tersimpan dalam diri, menunggu waktu yang tepat untuk diperjuangkan atau setidaknya hanya untuk diingat.
Penulis bernama Diffa Nailah, mahasiswi jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia merupakan salah satu anggota magang UKM Pers DETaK.
Editor: Masya Pratiwi