Jenis Film : Drama
Produser : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Produksi : STARVISION
Sutradara : Sony Gaokasak
“Dali…Dali…sedang apa kau disini? Seharusnya kau sekolah,” teriak Laisa dengan nada kesal saat dari kejauhan mendapati adiknya sendirian sedang bermain air sungai menggunakan pakaian sekolah. “Kau anak laki- laki Dali, mau jadi apa kau kalau tidak sekolah? Pengumpul kumbang?,” Laisa memberi pelajaran dengan melibaskan ilalang ke betis Dali kemudian
menyuruhnya pulang.
Begitulah sedikit penggalan kisah Film Bidadari-Bidadari Surga. Film ini diadopsi dari sebuah novel karya Tere-Liye dengan judul yang sama pula. Di bawah arahan sutradara Sony Gaokasak, film ini mampu membius penonton hingga larut ke dalamnya.
Sosok Laisa (Nirina Zubir) adalah seorang wanita, anak tertua yang memiliki perbedaan fisik yang jauh dari adik-adik dan ibunya, Mamak Lainuri (Henidar Amroe). Sehingga penonton akan merasakan bagaimana perasaan yang dialami Laisa dalam film ini. Dengan pendalaman karakter, sosok Laisa ini digambarkan sebagai tokoh yang keras terhadap adik-adiknya. Jiwa seorang kakak yang merasa harus selalu menjadi pengawal bagi adik-adiknya seperti tertanam begitu saja dibenaknya, tanpa paksaan.
Laisa yang memiliki tiga adik lelaki dan seorang adik perempuan, yaitu Dalimunte (kecil diperankan oleh Rizki Julio, dewasa diperankan oleh Nino Fernandez), Ikanuri (kecil diperankan oleh Michael Adam, dewasa diperankan oleh Adam Zidni), Wibisana (kecil diperankan oleh Saddam Basalamah, dewasa diperankan oleh Frans Nicholas) dan Yashinta (kecil diperankan oleh Chantiq Schagerl (Hafalan Shalat Delisa), dewasa oleh Nadine). Keempat adiknya memiliki karakter yang berbeda, sehingga, sebagai seorang kakak, Laisa selalu menegur adiknya jika bermalas-malasan dan tidak mau belajar.
Kehidupan mereka sebagai masyarakat biasa disebuah pedesaan membuat mereka harus mandiri dan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Laisa yang keras, terlalu sering menegur adik-adiknya, hingga akhirnya pada suatu hari dua orang adik laki-lakinya, Lainuri dan Dharma memberontak. Mereka pergi ke kota dengan menembus hutan rimba yang mengelilingi desa mereka. Kejadian ini membuat Laisa panik, ia terus berusaha mencari dua adiknya tanpa merasa lelah. Saat ia mulai menemukan jejak Lainuri dan Dharma, dari arah sana pula ia mendengar suara aungan harimau, orang desa menyebutnya Buya. Tanpa berfikir panjang, Laisa berlari menghadang Buya agar tidak mendekati kedua adiknya. Keringat dingin bercucuran. Pengorbanan Laisa membuka mata adiknya itu bahwa ia benar-benar ingin menjaga mereka, bukan mengekang mereka dari kebebasan yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan Dalimunte, ia merupakan adik laki-laki Laisa yang tertua. Untuk belajar, Dallimunte memilih untuk bolos sekolah dan berencana ia tidak perlu mendapat paksaan, karena tanpa disuruh pun ia akan terus melahap buku-buku pelajarannya. Terlebih buku mengenai fisika. Oleh karena itu ia di juluki sebagai professor.
Pernah suatu saat ia berfikir untuk membolos, tekadnya ingin mencari uang. Ia pergi menuju aliran sungai yang tidak jauh dari desa mereka, disana ia mencoba mempraktikkan membuat kincir air sebagai tenaga pembangkit listrik. Kejadian ini membuat Laisa harus mennghukumnya. Laisa selalu bersedih jika ia harus memberikan hukuman kepada adik-adiknya. Namun, ilmu yang dipraktikan Dali saat itu tidak terbuang sia-sia. Ia meminta izin kepada kepala desa untuk membuat kincir air bagi desa mereka.
Awalnya Dali sempat dirundung keraguan oleh penduduk desa yang tidak yakin. Akan tetapi keraguan itu lenyap seketika setelah sang kakak menyemangatinya dengan keyakinan penuh. Dali pantang surut, ia melanjutkan hingga selesai dan pada hari itu juga seluruh desa bersuka-cita atas keberhasilan sang profesor cilik yang menghidupkan pembangkit listrik menggunakan bantuan air di desa mereka. Deli tersenyum puas penuh rasa terima kasih kepada kakakya, Laisa.
Laisa memang bukan gadis yang cantik, ia berbeda dengan adik-adiknya yang dilahirkan dengan kulit putih dengan wajah tampan dan cantik. Tapi hatinya bahkan lebih cantik dari bunga terindah yang ada didunia karena ia bagai bidadari surga bagi keluarga sederhana itu. Ia bagai pelita penerang bagi adik-adiknya dalam menemui cita-cita mereka. Ia rela tidak menjadi siapapun didunia ini asalkan adik-adiknya menjadi pemuda-pemudi sukses bagi kebahagiaan ibu dan keluarga ini.
Perjuangan Laisa membuat semua adik-adiknya begitu berbakti. Dalimunte, Yashinta, Wibisana bertekad untuk tidak ingin melangkahi Laisa dalam urusan berumah tangga. Tapi apa daya, saat Dali sudah harus berumah tangga, Laisa belum juga dijemput oleh seorang laki-laki pun. Dan lagi-lagi Laisa membesarkan hati adiknya untuk segera menikah dengan seorang gadis yang sudah sejak lama bersamanya. Laisa memaksa Dali, Ikanuri dan Wibisana melangsungkan pernikahannya, tidak masalah baginya dilangkahi sang adik.
Berbagai konflik kehidupan terjadi didalam kisah Laisa dan keluarganya. Berbagai pelajaran pula yang dapat kita ambil dari keteguhan keluarga sederhana ini dalam melewati kehidupan mereka dengan keadaan yang serba kekurangan secara materi meskipun mereka tidak pernah kekurangan dalam rasa ikhlasnya. Begitu pula dengan kisah pengorbanan Laisa demi cintanya kepada Mamak Lainuri agar segera mendapatkan pendamping hidup. Laisa yang sudah berada di usia yang tidak muda lagi sangat sulit menemui cinta sejati seperti yang ia inginkan.
Secara keseluruhan film ini patut ditonton dan bisa dijadikan sebagai referensi film Indonesia karena memiliki nilai edukasi dalam alurnya. Namun pada akhir film ini, endingnya kurang menarik karena sedikit canggung atau menggantung. Jika endingnya lebih diperhalus alurnya, mungkin saja akan lebih menarik.[]
Al Mukarramah adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsyiah.