Opini | DETaK
Pemilihan Raya (Pemira) yang dilaksanakan pada 28 Maret 2023, Pemilihan Raya dilaksanakan secara online yang dimenangkan oleh Pasangan nomor urut 2 dari Fakultas Teknik M. Habil Fasya dan Alinafia Nasution. Jika melihat dari data yang dikeluarkan oleh KPR USK melalui Instastory @kpr_usk ada hal menarik selain hasil real count Pemilihan Raya kali ini. Ya! itu adalah jumlah mahasiswa yang memilih untuk golongan putih (golput) melebihi jumlah mahasiswa yang melakukan pemungutan suara. Kita seharusnya bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah mahasiswa tidak percaya lagi akan kegiatan politik di lingkungan kampus? Atau lebih jauh lagi mahasiswa sudah tidak lagi tertarik akan organisasi yang berada di lingkungan kampus.
Baca Juga: Pemira USK Diduga Alami Kecurangan, Mahasiswa: Harus Diulang!
Total mahasiswa aktif yang terdata baik S1 maupun D3 adalah sebanyak 26.856 orang dan total suara terdata adalah sejumlah 13.113 orang atau sekitar 48,83%. Adanya kenaikan sebanyak 3.298 suara jika kita bandingkan dengan hasil Pemira tahun lalu. Namun, ini sangat jauh dari target yang ditentukan oleh KPR pada tahun ini yaitu sebesar 80% dari suara yang masuk. Lalu bagaimana jika kita melihat data dari 4 tahun terakhir, di bawah ini penulis sertakan data dari hasil real count pemira dari tahun 2020-2023.
Tahun | Jumlah Suara yang Masuk | Jumlah Mahasiswa Aktif | Persentase Mahasiswa Memilih Golput |
2020 | 15.503 | 29.741 | 35,64% |
2021 | 18.878 | 24.677 | 22,28% |
2022 | 9.815 | 26.373 | 62,79% |
2023 | 13.113 | 26.856 | 51,18% |
Kita bisa melihat dari data di atas bahwa mahasiswa yang memilih untuk golput di dua tahun terakhir melebihi 50%. Apa yang sebenarnya terjadi pada Pemira dua tahun terakhir? Apakah kita bisa ambil kesimpulan bahwa ini kesalahan KPR karena kurangnya sosialisasi? Ya mungkin saja itu terjadi tapi penulis menarik kesimpulan yang lebih mendalam yaitu mahasiswa sudah tidak peduli terkait politik di lingkungan kampus.
Lalu bagaimana jika kita membuat sebuah hipotesis yaitu hanya sebagian kecil mahasiswa yang benar-benar mengerti dan paham akan pilihannya. Tentu saja itu mungkin terjadi, banyak mahasiswa yang hanya “ikut-ikutan” dalam pemilihan dan banyak juga mahasiswa yang terpaksa memilih untuk voting dikarenakan adanya “paksaan” dimana paksaan ini membuat hal yang seharusnya demokratis menjadi tidak demokratis.
Hal ini sebenarnya sangat berbahaya bagi kaum intelektual, dikarenakan mahasiswa yang diharapkan kedepannya menjadi kaum intelektual baru tidak memperdulikan hal-hal yang sangat penting. Namun, apakah ini semata-mata salah mahasiswa? Tentu saja tidak. Seperti kata pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”, kepercayaan mahasiswa akan kegiatan politik di lingkungan kampus sangat menurun tajam.
Baca Juga: Begini Tanggapan KPR Jika Terjadi Kecurangan pada Pemira 2023
“Toh juga tidak berpengaruh kepada kita”,
”Kita juga tidak mendapatkan apa-apa dari itu”
Mungkin ini adalah apa yang dipikirkan oleh mahasiswa yang memilih untuk golput dan tidak peduli akan kegiatan politik di kampus. Pikiran ini adalah akibat dari indikasi kecurangan yang terjadi selama ini. Seharusnya kita lebih meletakan perhatian besar akan hal ini dikarenakan ini akan menjadi bom waktu bagi lingkungan kampus itu sendiri. Lalu bagaimana jika mahasiswa yang aktif dalam kegiatan politik di kampus juga tidak mempedulikan ataupun mempermasalahkan hal tersebut. Toh mereka juga akan terpilih atau mendapatkan “kursi” dari apa yang dikerjakan nya. Pada akhirnya masalah ini melahirkan keegoisan dan dari keegoisan tersebut melahirkan keegoisan lainnya.
Baca Juga: Dugaan Kecurangan Dalam Pemira USK, WR III: Sudah Diingatkan
Mahasiswa hari ini adalah mahasiswa yang materialis, bukan lagi mahasiswa yang melakukan secara sukarela. Jika tidak ada keuntungan dan kerugian bagi dirinya maka dia tidak perduli akan hal tersebut padahal itu bisa saja menjadi keuntungan atau kerugian bagi hal yang ada di sekitarnya. Tentu saja tidak salah menjadi orang yang materialis karena hak ada pada diri masing- masing namun hal ini akan menjadi berbahaya nantinya jika mahasiswa-mahasiswa ini dilepaskan ke masyarakat. Ketika sikap egois, tidak mempedulikan dan tidak mempercayai orang lain ini mahasiswa bisa berubah menjadi “orang-orang Moldova” di masyarakat. Dimana kita bisa melihat tulisan dari Eric Weiner bahwa orang-orang Moldova cenderung berkata “bukan urusanku” dan Negara pecahan Uni Soviet ini menjadi urutan terakhir dari penelitian World Database of Happiness yang dilakukan oleh Ruut Veenhoven yang dikenal sebagai “bapak dari penelitian kebahagiaan”.
Jumlah data Pemira kali ini juga sudah termasuk data mahasiswa yang tidak melakukan voting tetapi tervoting dikarenakan NPM dan Pass-nya sama. Bahkan sampai saat ini, belum ada klarifikasi atau tindakan lanjutan terkait indikasi kecurangan ini. Hal ini juga akan menambah catatan hitam lain bagi penyelenggara terkait dengan diadakannya Pemira. Lebih lagi hal ini juga akan menjadi “asap” lain bagi kepercayaan mahasiswa itu sendiri.
Ini merupakan kasus lama yang sampai saat ini belum juga diperbaiki oleh sistem. Padahal pada pemira sebelumnya, panitia KPR 2022 sudah meminimalisir upaya kecurangan dalam pemira dengan melakukan tracking kepada mahasiswa yang melakukan pemilihan tetapi hal ini terjadi kembali pada tahun ini sehingga keseriusan dan kesiapan dari KPR harus di pertanyakan. Bagaimana kita mengembalikan kepercayaan dari para mahasiswa jika kasus yang sama berulang terjadi kembali.
Baca Juga: Langkah Baru KPR USK Meningkatkan Antusiasme Mahasiswa dalam Pemira 2023
Walaupun pemira kali ini terhitung sah namun perlu di catat bahwa rendahnya partisipasi dalam pemilihan ini mencerminkan kurangnya dukungan dan kepuasan dengan sistem politik atau calon yang tersedia. Selanjutnya menjadi hal berat bagi pasangan calon (paslon) terpilih karena selain mengerjakan misi yang sudah direncakan paslon terpilih juga harus memperbaiki public trust dari para mahasiswa yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Penulis adalah Raka Aditya Alwantin, mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Refly Nofril