Oleh Baihaqi
Aceh pernah dilanda gempa dan tsunami pada tanggal 26 desember 2004, sembilan tahun silam. Pada saat itu infrastruktur di Aceh lumpuh seperti kota mati, belum lagi mayat-mayat yang bergelimpangan menghiasi jalanan seakan menjadi kota hantu.
Namun dibalik itu banyak warga yang selamat justru setelah ia berlindung pada masjid-masjid yang ada. Percaya atau tidak, masjid adalah tempat yang paling aman pada saat musibah melanda, walaupun di era sekarang masjid seolah merindukan jamaah, seperti jamaah pada saat musibah melanda.
Walaupun banyak masjid yang tahan bencana pada saat itu, namun juga tidak sedikit masjid yang rusak mulai dari level ringan hingga berat yang puncaknya terjadi pada saat lembaga donor banyak “bertebaran” di Aceh untuk memberikan perhatiannya kepada infrastruktur yang lumpuh.
Pada saat itu tidak sedikit masjid yang direhabilitasi maupun direkonstruksi sesuai dengan level kerusakannya. Karena penulis beranggapan membangun ataupun merehab masjid bukan hanya memperindah dan memperkokoh bangunan masjid, namun ada yang lebih sakral yaitu arah kiblat masjid yang tepat dan akurat sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kekhusukan dalam menjalankan ibadah terlebih ibadah shalat.
Pada saat Rasulullah SAW masih berada di Mekkah bersama kaum musyrikin, arah kiblat untuk shalat adalah Baitul Maqdis di Palestina, tetapi setelah beliau hijrah ke Madinah dan tinggal di sana selama 16 hingga 17 bulan, barulah turun perintah Allah untuk berpaling ke arah kiblat yang baru, yakni ke Baitulah (Ka’bah) di Masjidil Haram Mekkah.
Dalam Alquran, dijelaskan pada ayat 144 dari Surat al-Baqarah yang artinya, “sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Pentingnya arah kiblat yang tepat
Kiblat adalah segala sesuatu yang ditempatkan di muka, atau sesuatu yang kita menghadap kepadanya, jadi secara harfiah kiblat mempunyai pengertian arah ke mana orang menghadap. Oleh karena itu Ka’bah disebut sebagai kiblat karena menjadi arah yang kepadanya orang harus menghadap dalam mengerjakan shalat. Penentuan arah kiblat pada hakikatnya adalah menentukan posisi Ka’bah dari suatu tempat di permukaan bumi, atau sebaliknya.
Pada zaman Nabi dahulu, penentuan arah kiblat memang tidak menjadi permasalahan, karena umat Islam masih berada di sekitar Mekkah saja, sehingga mudah untuk menghadap ke Ka’bah. Namun untuk zaman sekarang, umat Islam telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, sehingga menentukan arah kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah menjadi hal yang penting untuk dibahas mengingat menghadap ke arah kiblat, merupakan salah satu syarat sahnya shalat.
Di Indonesia, masih banyak ditemukan arah kiblat masjid yang belum tepat. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak tepatnya arah kiblat adalah teori perhitungan dan metode pengukuran arah kiblat yang digunakan belum akurat. Banyak masjid kuno yang arah kiblatnya ditemukan tidak tepat, karena pada saat itu metode pengukuran yang digunakan masih sederhana, serta alat yang digunakan masih terbatas sehingga hal demikian merupakan sebuah kewajaran.
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslim. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari perubahan besar dimasa K.H. Ahmad Dahlan atau dilihat pula dari alat-alat yang dipergunakan untuk mengukurnya, seperti miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ mujayyab, kompas, dan theodolit. Selain itu, sistem perhitungan yang dipergunakan mengalami perkembangan pula, baik mengenai data koordinat maupun mengenai sistem ilmu ukurnya.
Perkembangan penentuan arah kiblat ini dialami oleh kaum muslimin secara antagonistis, artinya suatu kelompok telah mengalami kemajuan jauh ke depan sementara kelompok lainnya masih mempergunakan sistem yang lama. Realitas empiris semacam ini disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat pengetahuan kaum muslimin yang beragam.
Menghadap ke arah kiblat menjadi syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat baik shalat fardhu lima waktu sehari semalam atau shalat-shalat sunat yang lain. Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri.
Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,”Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah.” Imam Syafi’i berkata,”Orang Mekkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait).” Sedangkan bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah).
Metode menentukan arah kiblat
Menentukan Arah kiblat sendiri terdapat beberapa metode, salah satunya adalah dengan ilmu ukur segitiga bola atau disebut juga dengan istilah trigonometri bola (spherical trigonometri) yang merupakan ilmu ukur sudut bidang datar yang diaplikasikan pada permukaan berbentuk bola yaitu bumi yang kita tempati. Ilmu ini pertama kali dikembangkan para ilmuwan muslim dari Jazirah Arab seperti Al Battani dan Al Khawarizmi dan terus berkembang, yang hingga kini menjadi sebuah ilmu yang mendapat julukan Geodesi.
Segitiga bola menjadi ilmu andalan tidak hanya untuk menghitung arah kiblat, bahkan juga termasuk menghitung jarak lurus dua buah tempat di permukaan bumi. Namun bukan berarti ilmu ini posisinya di atas fiqih, keberadaan ilmu ini untuk melengkapi supaya terjadi sinergitas antara fiqih dan sains. Tidak mungkin sains mengadili Al-Qur`an dan Hadits.
Dimana :
- Titik A, terletak di Ka’bah (? = 21º 25’ (LU) dan ? =39º 50’(BT))
- Titik B, terletak dilokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.
- Titik C, terletak di titik kutub utara
Rumus diatas merupakan rumus yang digunakan untuk mengolah data mentah sebuah tempat yang akan diukur arah kiblatnya, karena sebelum mengukur kita harus mengetahui berapa letak lintang dan bujur sebuah tempat ( letak astronomis ). Letak astronomis ini dapat diketahui dengan melihat peta ataupun menggunakan alat yang lebih canggih, yaitu GPS ( Gobal Positioning System ), juga beberapa alat lain sebagai pendukung misalnya kompas ( magnetic/digital), tikar kompas, theodolit, dan beberapa alat penujang lainnya yang data mentah itu nanti akan diolah dengan rumus segitiga bola dan akan kita dapatkan sudut derajat arah kiblat sebuah tempat ( kemiringan ).
Penulis sendiri pernah melakukan penelitian pribadi pada masjid- masjid di salah satu kecamatan daerah pesisir di Kota Banda Aceh. Hasilnya ternyata memang masih banyak masjid-masjid yang perlu ditinjau ulang arah kiblatnya oleh badan-badan yang berkompeten di Kota Banda Aceh. Peninjauan kembali arah kiblat pada masjid-masjid ini bukan untuk “menyalahi” kiblat yang sudah ada, namun untuk mengakuratkan kembali kiblat-kiblat terdahulu apakah sebuah masjid itu mengikuti kiblat secara turun temurun ataukah kiblat yang dibangun oleh lembaga donor ( masjid hasil rehabilitasi / rekonstruksi ).
Penulis sendiri beranggapan jika pun ada masjid yang salah kiblat, itu bukan berarti salah secara permanen, namun lebih kepada proses penentuan kiblat di masa dahulu yang kita akui masih sangat minim peralatan yang digunakan , dan itu hal yang wajar jika pengukuran ulangnya menghasilkan perbandingan yang signifikan karena alat yang digunakan juga jauh berbeda.
Juga ada anggapan lainya yaitu akibat pergeseran lempeng bumi maka kiblat pun turut bergeser. Prof. Thomas Jamaluddin yang juga pakar astronomi LAPAN membantah jika pergeseran terjadi akibat lempeng bumi, beliau mengatakan jika pun terjadi pergeseran, maka itu sangatlah kecil yang disebabkan oleh lempeng bumi, beliau beranggapan bahwa kesalahan arah kiblat murni dari penelitian yang kurang teliti pada awalnya.
Di Kota Banda Aceh sendiri terdapat beberapa masjid yang telah dirobah arah kiblat, misalnya Masjid Al-musyahadah di Seutui. Merubah arah kiblat bukan berarti harus membongkar lantai (keramik) masjid, namun cukup mengubah arah sajadah ataupun arah garis shafnya saja seperti yang diutarakan oleh Menteri Agama pada tahun 2010.
Namun bagi kita masyarakat awam, cara yang paling sederhana dan akurat adalah dengan melihat posisi matahari yang akan berada tepat di atas Ka’bah, yaitu pada tanggal 28 Mei pukul 16:18 WIB (09:18 GMT) dan pada tanggal 16 Juli pukul 16:27 WIB (09:27 GMT) setiap tahunnya. Sedangkan selang setengah tahun berikutnya posisi matahari akan tepat membelakangi Ka’bah yaitu tepat pada tanggal 28 November pukul 21:09 WIB (04:09 GMT) dan pada tanggal 16 Januari pukul 21:29 WIB (04:29 GMT). Dengan kita melihat posisi matahari tersebut, maka secara sederhana kita akan bisa menentukan arah Kiblat dari tempat kita berada secara tepat. Semoga bermanfaat.[]
Baihaqi
adalah Alumnus Jurusan Geografi Alwashliyah Banda Aceh,
Aktivis Masjid di Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar.
E-mail : baihaqigeo@gmail.com