Beranda Feature Parut Luka DOM Aceh

[Kilasan] Parut Luka DOM Aceh

BERBAGI
Ilustrasi (Shahibah Alyani/DETaK)

Indah Latifa | DETaK

Nagan Raya- Malam itu hujan, saat saya berbincang dengan sepasang suami-istri di rumah mereka di daerah Rantau Selamat Datang, Kabupaten Nagan Raya. Hujan yang rinainya sanggup membasahi tanah namun masih belum mampu mengisi penuh lubang-lubang sumur. Tapi suaranya cocok sekali rasanya mengiringi kisah kilas balik masa-masa Aceh saat berstatus darurat militer sekitar 18 tahun lalu.

Mereka adalah Rusdi dan Sumiati, sepasang suami-istri yang melakukan perkawinan antarsuku (amalgamasi). Sang istri merupakan masyarakat Suku Jawa yang datang ke Aceh melalui program transmigrasi yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1980, sementara sang Suami adalah penduduk asli Nagan Raya yang bersuku Aceh.

Di atas alas duduk, sang istri mulai mengingat-ingat tragedi-tragedi tak mengenakkan yang pernah dialaminya, khususnya masyarakat transmigrasi dari Pulau Jawa yang tinggal di dataran Aceh. Sorot mata sendu tampak menghiasi kedua manik matanya yang diliputi kerutan usianya yang telah menginjak usia kepala empat.

“Kami orang Jawa, orang transmigrasi memang nggak boleh di sini, di Aceh katanya. Diusir sama mereka (orang GAM). Banyak yang balik ke Jawa tapi ditahan sama tentra (tentara), nggak boleh pulang.”

Ternyata pengusiran telah terjadi bahkan lama sebelum daerah operasi militer (DOM) ditetapkan. Sumiati menceritakan dulu sapi milik keluarganya diambil paksa tanpa dibayar. Bahkan tetangga dan orang-orang di kampung lain mengalami hal yang lebih mengerikan.

“Ada yang dibakar rumahnya, ada yang dibunuh, ada sapi diambil sapi, kalau malam semua takut, semua di dalam rumah dikeluarin. Kalau ada harta tv, tv itulah yang ditarok di depan rumah, diambil sama orang GAM itu,” imbuhnya.

Namun yang paling membekas di dalam ingatan Sumiati adalah saat ketika suaminya ditangkap oleh tentara dan dibawa ke markas mereka karena kemiripannya dengan anggota GAM.

“Bapak antar anak ke sekolah. Sekitar jam 10 pagi datang tentra ke rumah, ditanya, ibu orang mana, bapak orang mana, kerja apa. Habistu bilang, ‘Hei, suamiku mau dibawa ke mana? Sayang anaknya ni masih kecil’. ‘Nggak papa, Buk. Saya bawa dulu bapaknya sebentar, nanti saya kasih balik lagi’ katanya. Dahtu jam-jam 6 pulang Bapak.”

Rusdi, sang suami juga mencoba mengingat kronologi kejadian saat ia ditangkap. Sambil membetulkan letak kacamatanya, ia menceritakan apa yang dialaminya dahulu.

“Orang itu (tentara) operasi mau cari orang GAM. Jadi ramai-ramai kami disetop di jalan, diambil siapa-siapa yang dicurigai, untuk penunjuk jalan diambil.”

Tak tahu apa-apa, Rusdi dibawa ke markas dan diinterogasi bersama dua orang temannya. Ia mengaku menjawab sejujur-jujurnya, kesamaan jawaban dengan jawaban sang istri di rumah membuatnya di bebaskan, namun tidak dengan kedua orang temannya.

“Di markas diikat tangannya ke belakang, ditutup mata, baru diinterogasi, ditanya-tanya. Bilang terus apa yang kita tahu, kalau bohong ya kena pukul. Kawan bapak tinggal dua orang. Yang satu memang jadi mata-mata orang itu (GAM), yang satu gak papa cuma ditahan, dicurigai karena namanya sama dengan orang GAM yang dicari.”

Rusdi tak menyangka dirinya bakal dibebaskan, saat bercerita pandangannya ikut menerawang, duduknya agak gelisah tak nyaman. Mungkin saja kenangan itu amat buruk diingatannya.

“Waktu disuruh pulang, jalan kaki terus sampe 10 kilo lebih disuruh jalan kaki. Udah takutlah, udah trauma kita, nggak tengok kanan-kiri disurih jalan lurus terus. Sendiri hujan-hujan, jam-jam 5 ada disuruh pulang, sekitar jam 7 sampe rumah,” pungkasnya menyudahi cerita.

Ada banyak sekali cerita pilu berlatar DOM Aceh, banyak duka dan kenangan buruk yang tertanam dalam ingatan. Hidup memang harus terus berjalan ke depan, namun sesekali melihat ke belakang juga perlu. Kenangan manis biasanya memang tak bertahan lama, tapi yang buruk selama-lamanya akan terasa.[]

#30HariKilasanSejarah

Editor: Cut Siti Raihan