Beranda Editorial Sektor Pendidikan Topang Ambisi MBG

[Editorial] Sektor Pendidikan Topang Ambisi MBG

BERBAGI
Ilustrasi. (Muhammad Abdul Hidayat)

Redaksi | DETaK

Empat bulan pertama prabowo menjabat, keresahan masyarakat kian meningkat, mulai dari isu lingkungan, kelangkaan gas, hingga efisiensi anggaran. Pemotongan anggaran dicanangkan dalam upaya menghemat pengeluaran negara, tetapi kebijakan ini justru mengorbankan hal-hal fundamental demi ambisi yang dipaksakan.

Ironisnya, pemangkasan justru menyasar lembaga-lembaga primer seperti Kemendikbudristek, Kemenkes, dan Komnas HAM. Seolah pendidikan, kesehatan, dan hak asasi manusia tidak lebih penting dari sepiring makan siang.

Iklan Souvenir DETaK

Sementara itu, di balik dalih efisiensi, kabinet Prabowo justru menjadi kabinet yang paling gemuk, bahkan masih sempat melantik staf khusus baru-baru ini. DPR RI pun luput dari pemangkasan, padahal rakyat mana lagi yang masih merasa terwakilkan? Ruang rapat di Senayan itu pun lebih cocok disebut paguyuban selebritis. Jika efisiensi benar-benar untuk kepentingan negara, seharusnya pemerintah dapat lebih cermat menentukan sasarannya. Pengurangan jumlah kabinet dan kemubaziran jabatan rasanya akan lebih masuk akal, namun itu jika keadilan masih dipertimbangkan.

Mengabaikan aspek pendidikan adalah kabar terburuk bagi negara yang pendidikannya masih jauh dari kata layak. Di negeri ini, masih ada siswa SMA yang belum bisa membaca, pemerataan pendidikan belum tercapai, dan kesejahteraan guru terabaikan. Bahkan, sebagai tonggak bangsa, gaji mereka masih memilukan—sesuatu yang dulu sempat Bapak tangisi.

Prinsip pendidikan adalah pondasi mendasar bagi masa depan sebuah negara harusnya tetap digenggam. Pemerintah juga seakan melupakan sila ke-5 Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan diberlakukannya pemotongan anggaran pendidikan, naiknya uang kuliah tunggal (UKT), serta pemangkasan dana beasiswa, efek dominonya hanya mahasiswa dari kalangan mampu yang dapat mengenyam pendidikan. Diberlakukannya pemotongan pada sektor pendidikan membuat pemerintah seperti mengaminkan bahwa masyarakat yang tidak mampu tak perlu mendapat kesetaraan pendidikan yang layak.

Jika akhirnya relokasi pemotongan anggaran dikerahkan untuk program makan bergizi gratis (MBG) dan sektor primer harus menumpu akibatnya, ini tak lebih hanya sebuah ambisi pemenuhan janji kampanye yang tidak realistis. Cukup terang fakta bahwa pelaksanaan MBG tidak serta-merta menurunkan angka stunting, memperbaiki gizi, atau meningkatkan prestasi akademik, jika di belakangnya sistem dan kualitas pendidikan dilumpuhkan. Sasaran dan penerima manfaat pun tidak tepat, bisa jadi, anak-anak yang benar-benar kelaparan justru tidak berada di bangku sekolah.

Jika program MBG terus diprioritaskan hingga mengorbankan anggaran, menyebabkan PHK, dan meningkatkan biaya pendidikan, maka mestinya hal ini tidak lebih diutamakan dibanding keberlangsungan hidup dan masa depan masyarakat, apalagi untuk program yang belum tentu memberi dampak positif dalam jangka panjang. Jika tetap dipaksakan jangan sampai MBG menjadi mimpi buruk.

Akan lebih tepat jika program makan siang gratis ini difokuskan pada wilayah dengan tingkat kelaparan tinggi dan konsumsi pangan yang tidak memadai. Selain itu, distribusinya sebaiknya langsung ke sekolah atau orang tua guna meminimalkan potensi korupsi, serta melibatkan tenaga kesehatan agar manfaatnya lebih optimal. Langkah ini jauh lebih bijaksana dibanding memaksakan program yang belum sanggup ditopang oleh keuangan negara. Lebih baik program kecil yang berhasil daripada pemerataan yang dipaksakan.

Jangan suapi kami dengan makanan sementara menyiksa kami dengan kebodohan.