Beranda Opini LGBTQ : Antara Hak Asasi atau Norma Sosial?

LGBTQ : Antara Hak Asasi atau Norma Sosial?

BERBAGI
Ilustrasi. (Diffa Nailah/DETaK)

Opini | DETaK

LGBTQ adalah singkatan yang mewakili komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Queer, Sejak awal gerakan hak-hak LGBTQ pada tahun 1969, yang ditandai dengan peristiwa Stonewall Riots di Amerika Serikat, komunitas ini terus berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dan perlindungan hukum di berbagai negara. Hingga kini, tuntutan agar hak-hak mereka diakui dan dihormati masih menjadi isu yang diperjuangkan, termasuk di Indonesia. Di tengah pro dan kontra, komunitas LGBTQ di Tanah Air menghadapi berbagai tantangan, mulai dari diskriminasi sosial hingga belum adanya payung hukum yang jelas untuk melindungi mereka. Sebagian pihak berpendapat bahwa pengakuan terhadap LGBTQ merupakan hak asasi manusia dan tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun, baik masyarakat maupun negara. Sementara itu, kelompok lain menganggap isu tersebut sebagai persoalan sosial yang harus diberantas karena dianggap melanggar norma sosial dan budaya.

Menurut laporan dari Human Rights Watch (HRW), setidaknya 64 negara di dunia masih memiliki hukum yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, dengan beberapa di antaranya menetapkan hukuman mati. Di sisi lain, negara-negara seperti Kanada, Belanda , dan Spanyol telah mengakui pernikahan sesama jenis dan memberikan perlindungan hukum terhadap individu LGBTQ. Sedangkan, laporan dari Pew Research Center (2020), negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara cenderung lebih menerima LGBTQ dibandingkan dengan negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Di Swedia, 94% masyarakatnya menerima homoseksualitas, sementara di Nigeria, hanya 7% yang memiliki pandangan serupa.

Iklan Souvenir DETaK

Namun, legalisasi tidak selalu berjalan tanpa resistensi. Di Amerika Serikat, setelah Mahkamah Agung mengesahkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2015, terjadi peningkatan kejahatan berbasis kebencian terhadap komunitas LGBTQ. Menurut FBI, pada tahun 2022 terdapat lebih dari 1.300 kasus kejahatan yang menargetkan individu LGBTQ, meningkat hampir 50% dibandingkan tahun 2015.

Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai agama dan norma yang mengedepankan moral. Pernikahan seharusnya hanya dilakukan oleh lelaki dan perempuan sebagai landasan dalam membangun sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan. ibarat, dua kutub yang sama tidak dapat menghasilkan arus atau energi baru, karena tidak ada aliran muatan yang seimbang. Hal ini bukan hanya sebagai tradisi tetapi juga bagian dari tatanan sosial yang juga merupakan bagian dari keseimbangan.

Faktor di atas merupakan alasan mengapa masyarakat tetap pada prinsip bahwa hubungan sesama jenis tidak sejalan dengan nilai-nilai yang berlaku. Meskipun secara hukum tidak ada regulasi yang secara eksplisit mengkriminalisasi homoseksualitas, beberapa daerah memiliki aturan yang melarang perilaku tersebut. Salah satunya adalah Aceh, yang menerapkan hukum syariah (Qanun Jinayat) dan menghukum hubungan sesama jenis dengan cambuk di depan publik. Pada tahun 2018, dua pria di Aceh dihukum cambuk setelah ketahuan berhubungan di dalam rumah pribadi. Kasus ini juga telah merambat ke mahasiswa, dimana ditemukan dua orang pria sedang melakukan perbuatan terlarang di kamar kos dengan alasan mengerjakan tugas.

Selain itu, survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 87% masyarakat Indonesia menolak LGBTQ, dengan alasan bertentangan dengan nilai agama dan budaya. Pandangan ini diperkuat dengan pernyataan resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut bahwa homoseksualitas bertentangan dengan fitrah manusia dan dilarang dalam Islam.

Selain faktor budaya dan agama, banyak yang berpendapat bahwa fenomena LGBTQ dapat membawa dampak sosial yang perlu dipertimbangkan dengan bijak. Beberapa negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis mengalami pergeseran sosial yang cukup signifikan, termasuk perubahan dalam sistem pendidikan dan kebijakan keluarga. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah masyarakat Indonesia siap menerima perubahan serupa?

Di Inggris, kebijakan inklusif terhadap LGBTQ dalam kurikulum pendidikan mendapat tentangan dari kelompok orang tua Muslim, yang merasa bahwa anak-anak mereka dipaksa untuk menerima nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama mereka. Di sisi lain, di beberapa negara yang menolak LGBTQ secara tegas, mendapatkan tekanan internasional, terutama dari organisasi hak asasi manusia dan negara-negara Barat yang mendorong kebijakan lebih inklusif. Indonesia juga menghadapi tantangan serupa. Di satu sisi, ada tuntutan dari komunitas internasional agar lebih terbuka terhadap hak-hak LGBTQ, tetapi di sisi lain, tekanan dari kelompok agama dan budaya domestik menghambat upaya tersebut.

Meski mendapat penolakan dari mayoritas masyarakat, komunitas LGBTQ di Indonesia tetap berusaha mencari ruang untuk berekspresi, terutama melalui media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi sarana bagi individu LGBTQ untuk berbagi pengalaman dan memperjuangkan hak mereka. Namun, hal ini juga memicu reaksi negatif, dengan banyaknya laporan dan pemblokiran akun-akun yang dianggap mempromosikan gaya hidup yang bertentangan dengan norma masyarakat. Mereka juga kerap melakukan pride parade sebagai identitas komunitas tersebut untuk mendapatkan pengakuan. Media juga ikut memberitakan informasi tersebut ke khalayak masyarakat.

Menurut penulis, pemerintah harus menyeimbangkan antara menjaga stabilitas sosial dan menghadapi tuntutan global terkait hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia hingga saat ini tetap berpegang pada prinsip menjaga harmoni sosial dengan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Sebagai negara dengan keberagaman budaya dan agama yang tinggi, keputusan terkait isu-isu sensitif seperti ini harus mempertimbangkan kepentingan bersama agar tidak menimbulkan perpecahan. Pada akhirnya, setiap bangsa memiliki nilai dan prinsip yang dijaga untuk membentuk identitasnya. Negara Indonesia dengan karakter masyarakat yang berlandaskan pada norma agama dan budaya yang kuat, memiliki hak untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut demi menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial.

Penulis bernama Zikni Anggela, Mahasiswi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Rimaya Romaito Br Siagian