Ryan Aswinsyah Putra [AM] | DETaK
Tuan Kaya dan Tetangga Baru
PROLOG
*Satu halaman dari buku catatan Fabian Kusuma*
Prinsip orang tua modern; anakku adalah robot yang remot-nya ada dalam kendaliku. Senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, jika kita terlahir dari orang tua yang seperti itu, maka sadarilah bahwa hidup bukan milik kita sendiri. Betapa pun sempurnanya usaha kita pada jalan yang telah mereka tentukan –yang dijamin bahwa kita tak akan tersesat, namun tetap, kita bukan kita yang sebenarnya.
Aku anak tunggal dari orang tua demikian. Mempunyai mom and dad yang perfeksionis. Jalan hidupku sudah mereka rakit bahkan sejak jenis kelaminku diketahui di kandungan mom. Kulalui masa kecilku yang terbatasi dengan berbagai aturan, juga masa remaja yang lebih terbatasi lagi. Aku bahkan berani bertaruh, tak ada masa remaja dalam jalan hidupku. Aku kecil lalu dewasa –27 tahun sekarang. Aku kehilangan masa-masa paling diharapkan oleh seorang anak, aku kehilangan masa-masa antara usiaku 13 sampai 18. Dimana aku pada masa itu? masa yang seharusnya aku bersosialisasi, masa aku mencari jati diri, masa seharusnya aku lebih banyak menghabiskan waktuku di luar rumah, mencoba hal-hal baru, bermain-main dengan hidupku dan menciptakan beberapa kenakalan. Karena aku remaja lelaki. Dimanakah aku ketika itu?
Jawabannya, aku berada dalam kungkungan tembok rumah daddy yang tinggi. Yang membuat kita harus mendongak hingga leher sakit untuk melihat puncak temboknya. Aku di kastil ayah-ku. Berkubang dengan buku dan doktrin yang dijejalkan ke otakku sepanjang masa remaja. Kuhabiskan banyak hari bersama perpustakaan dengan orang-orang berkaca mata rantai, master-master yang kata daddy adalah jembatanku menuju ke kursi kehormatannya, ke puncak tahtanya.
Layaknya seorang bangsawan, hidupku terstruktur dan terpetakan. Aku… dipersiapkan untuk menggantikan daddy. Dan kini sedang kujalani, dengan amat terpaksa sebenarnya namun lambat-laun menjadi darah dan nadiku. Menjadi pewaris tunggal seluruh harta yang melimpah ruah memang membuat hidup bak surga dunia. Aku, pria muda kaya raya yang punya hidup laksana putera mahkota. Begitu anggapan orang. Akan tetapi, andai mereka tahu bagaimana aku tertekan di sini, sungguh, mereka akan mengasihani hidupku. Aku terkurung dengan aturan serta kekuasaan yang kupegang, membelenggu gerak dan ruangku. Aku dituntut untuk sempurna. Aku hanya hidup untuk seluruh aset itu, berpikir bagaimana cara menjaga dan membuatnya kokoh, jika bisa malah harus semakin bertumbuh, menumpuk dan diagungkan. Aku menjadi budak harta orang tuaku.
Kebebasanku, keinginanku, hidupku sendiri, semua kesenangan yang kuimpikan saat usiaku remaja, apa yang terjadi dengan hal-hal itu? aku lupa itu semua ketika aku dewasa. Didikan diktator daddy berhasil membuatku seperti dirinya, menjadi gila kerja. Aku harus turun tangan sendiri seperti daddy yang selalu terlibat dalam setiap agenda perusahaannya. Aku benci liburan seperti daddy membencinya dulu. Benci mempercayakan pimpinan pada orang lain. ‘Kita harus jadi satu-satunya raja di kerajaan kita sendiri, son.. one king, for one kingdom. Tak ada rakyat yang menyembah dua raja sekaligus. Kelak kau akan menyampaikannya pada puteramu. ’ Kalimat daddy mendarah daging hingga kini.
Aku mulai rindu hidup tanpa aturan, berprilaku semauku, pergi kemana aku ingin, tidak mengikuti aturan yang mengikat. Salahkah bila aku membayar masa remajaku yang dulu terlewati, menggantinya saat ini? Pertanyaannya, bisakah aku…
***
FABIAN baru saja turun dari mobilnya ketika pelayan memberi tahu kalau dia punya tamu yang sedang menunggu di dalam. Pria itu mengangguk lalu menyerahkan tas jinjingnya pada si pelayan sebelum berjalan masuk.
Tiba di kamar dia langsung menanggalkan setelan kerjanya –yang mulai membuatnya depresi ke kantor sejak setahun terakhir, semenjak gadis-gadis di perusahaannya berlomba mengincar posisi sebagai istri pemilik perusahaan. Bagaimana jika mereka merasakan apa yang kurasakan dulu? Akankah perusahaan itu ikut hancur seiring kehancuranku? Fabian membatin kembali kalimat tanya serupa ketika membuka dasinya di depan cermin. Selanjutnya dia ke bathroom. Dia sadar bahwa di ruang tamu ada seseorang yang mungkin sudah menunggu sejak pagi tadi. Tamu selalu menunggu. Itu yang diyakini Fabian, sejauh ini dia tak pernah berhadapan dengan tamu yang pulang karena lelah menunggu.
Fabian berpakaian seraya menatap bayangannya di depan cermin dan meyadari kalau dia kurang tidur belakangan ini. Lingkar matanya nyaris menyerupai Panda. Ah… haruskah aku mencari orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan itu? Daddy pasti akan bangkit dari tidurnya jika itu terjadi.
Dia turun dan menuju ruang makan, siap menyendok menu makan malam saat sisi kemanusiaannya terusik. Hilangkan sifat buruk ini Fabian, tidak selamanya kamu kedatangan tamu yang mau duduk manis sembari menunggumu selesai memberi makan cacing-cacing di perutmu. Diletakkannya sendok dan garpunya lagi pada sisi piring, lalu melirik pelayannya.
“Dimana tamu itu menunggu, Amos?” Tanyanya.
“Saya mempersilahkannya menunggu di perpustakaan.” Si Ketua Pelayan, Amos–yang sudah bekerja sejak Fabian kehilangan masa remajanya- bersuara.
“Sudah berapa lama?”
“Dari jam enam tadi…” Jawab Amos.
Fabian melirik arlojinya, 17 menit bergeser dari angka delapan. Tidak lama, tamunya baru menunggu dua jam lebih.
“Pria, wanita?” Tanyanya lagi.
“Wanita, Pak…”
Fabian bangun dari kursinya dan meninggalkan ruang makan. Kini, dia sudah di depan pintu ruang perpustakaannya. Perlahan Fabian menguak daun pintu tanpa suara. Seingatnya, semua pintu di rumahnya memang tak pernah berdecit ketika ditutup mau pun dibuka. Di balik pintu dia menemukan seorang wanita sedang ‘mengusik’ koleksi buku di perpustakaannya yang semuanya berhalaman tebal. Wanita itu bergerak dari satu rak ke rak lain. Mencomot satu buku, melihat sampul depan dan belakangnya lalu menyimpannya kembali sebelum menarik buku berikutnya dari rak. Cukup lama Fabian memperhatikan tingkah wanita yang belum menyadari kehadiran sang tuan rumah. Fabian mulai beralih memperhatikan fisik wanita tersebut –tak lagi tingkahnya yang masih terus mengeluar-masukkan buku dari rak ke rak. Fabian menaksir wanita tersebut minimal berusia sama dengannya, paling tidak berselisih satu atau dua tahun. Dan mungkin juga sama tinggi dengannya –lebih tinggi bisa jadi, rambutnya gelap bergelombang, dan dari tempatnya berdiri Fabian bisa melihat bahwa wanita itu jangkung atletis,mempunyai leher jenjang, pinggang yang ramping, dan tungkai berbalut jeans yang indah.
“Ehemm…” Fabian berdehem. “Tidak menemukan buku bagus di sana?”
Si wanita kaget hingga menjatuhkan buku yang baru saja ditariknya dari rak. Dia menatap ke pintu, Fabian mulai berjalan menujunya.
“Oh… I am sorry, saya tidak menyadari kehadiran anda Pak Fabian…” Ujar si wanita.
Fabian tersenyum, lalu merunduk mengambil buku yang baru saja dijatuhkan tamunya. Devil Inside Me, judul di sampul depannya.
“Maaf karena –”Si wanita menatap buku di tangan Fabian.
“Karena menjatuhkan bukuku?”
“Karena melihat-lihat buku anda tanpa permisi.” Jawab si wanita.
Sebelah alis Fabian naik, sedetik setelahnya dia tersenyum seraya mengulurkan tangannya melewati bahu si wanita untuk menyimpan buku yang jatuh itu kembali ke rak. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Nyonya…”
“Nora, Dzakiyya Nora…” Si wanita mengulurkan tangannya pada Fabian. “Panggil saya, Rara”
Fabian menikmati suara lembut itu, menikmati wajah anggun tamunya ketika berhadapan sedekat itu, terhipnotis sepersekian detik hingga mengabaikan lengan sang tamu yang menggantung dari tadi. Siapa tadi dia menyebutkan namanya? Nora? Ya, Nora.
“Pak Fabian…” Fabian tersadar. “Ohh… Fabian Kusuma.” Ujarnya sambil menjabat tangan si wanita bersuara lembut.
“Yah, saya tahu anda…” Kening Fabian terangkat sebelah, lalu ingat bahwa wanita yang tangannya masih digenggamnya itu sudah menyebut nama belakangnya dua kali, ketika dia bersuara untuk pertama kalinya dan barusan saja ketika menyadarkan dia dari ke-takjub-an-nya.
“Anda mengenalku, Nyonya… Nora?”
Si wanita tersenyum, oh tuhan, Fabian sudah terhipnotis dua kali karena wanita ini. “Panggil saya Rara, jika anda tidak keberatan tentunya.” Nora menatap tangannya yang masih digenggam Fabian. Tersadar, Fabian buru-buru melerai jabatannya. Sial, mengapa aku bisa se-memalukan ini?
“Sangat sulit untuk tidak mengenal anda, Pak Fabian.” Kata Nora. “Saya yakin, hampir semua pasti mengenal nama anda. Kusuma Industry… semua orang pasti pernah mendengarnya.”
Fabian menatap wanita di depannya, dan yakin kalau ini adalah kali pertama dia bertemu dengannya. “Siapakah anda Nyonya Nora?”
“Saya tetangga baru anda…” Jawab Nora datar.
Fabian melongo. Tetangga baru?
“Kediaman anda adalah rumah kesembilan yang saya kunjungi hari ini…” Lanjut Nora.
Fabian tambah melongo. Di masa sekarang? Masih ada tetangga baru yang mengunjungi rumah-rumah di sekitar tempat tinggal barunya untuk memperkenalkan diri? Di pelosok mungkin bisa jadi. Tapi, ini Jakarta? Di tengah hiruk pikuk kota dimana orang-orang terbiasa mengangkat dagunya bila berpapasan dengan tetangganya saat lari pagi? Sulit dipercaya.
“Dan anda orang pertama dari pemilik rumah yang berhasil saya temui sepanjang hari ini.”
Fabian patut senang, secara inplisit Nora mengatakan bahwa dirinya adalah tetangga sekaligus pemilik rumah yang baik. Fabian tersenyum canggung. “Well, anda akan jadi tetangga yang baik Nyonya Nora…”
Nora tersenyum, lagi. “Dan anda benar-benar tuan rumah yang manis, Pak Fabian.”
Pasti Fabian merona kini. “Rumah mana yang anda tinggali?”
“Di ujung jalan ini. Rumah mungil milik Nyonya Margaret, dulunya.”
Tentu saja. Rumah mungil itu yang satu-satunya tidak lagi ditinggali dikawasan elit ini. Nyonya Margaret pindah dua bulan lalu, kembali ke asal buyut mereka, itu rumor yang sempat dipahami Fabian dari percakapan para pelayan. Dan juga rumah mungil itu yang satu-satunya pantas dikatakan sebagai tetangga, jaraknya hanya 50 meter dari rumah Fabian –sangat dekat. Sepertinya agen penjualan rumah sudah berhasil membuat Nora menulis cek untuk menebus rumah mungil tapi berkelas itu.
“Rumah itu cocok untuk anda Nyonya Nora.” Kata Fabian. “Anda berkeluarga?” sedetik setelahnya, Fabian menyesali kalimat tanyanya barusan. Sunguh tidak sopan dan terkesan melewati garis. Ditambah lagi, dia sangat tidak siap mendengar tamunya menjawab ‘ya’ untuk pertanyaannya.
Tapi Nora malah tersenyum. Sepertinya dia sadar akan pesona yang dimilikinya sehingga tak ada keraguan padanya untuk memamerkan senyum itu lebih sering.“Jika saya punya, mereka akan ikut mengerayangi rak buku anda tadi.”
Fabian tertawa, gembira tanpa sedikitpun sisa rasa menyesal karena telah bertanya begitu tadinya.
“Anda pandai melucu Nyonya Nora.”
“Keberatan jika Rara saja?” Untuk ketiga kalinya dia minta dipanggil Rara saja.
Sama sekali tidak. Fabian lebih dari sangat berniat untuk akrab dengan wanita yang mengusik pikrannya sedari tadi. “Okey… berarti juga Fabian saja untukku.” Katanya, lalu kalimat selanjutnya benar-benar meruntuhkan rangka formalitas antara dia dengan Nora.
Fabian berdehem. “Aku baru saja meninggalkan piring-piring yang masih terisi penuh di ruang makan, akan sedikit kesulitan bila aku menghabiskannya sendiri…”
Nora tahu kemana arah pembicaraan Fabian. “Kamu tahu Fabian, menunggu dua jam di sini membuatku lapar.”
Fabian tertawa. “Sorry… berarti sama sekali tidak keberatan kan untuk makan bersamaku?”
“Absolutely, not…”
Fabian menggerakkan kepalanya ke arah pintu, mempersilakan Nora keluar terlebih dulu. Ladies first, right?. Sang tamu menurut, Fabian sekali lagi bisa menikmati ke-anggunan dari sosok tetangga barunya dengan mengekor di belakang.
***
Nora gelisah di ranjangnya. Sudah empat hari sejak dia bertemu Fabian serta makan malamnya bersama pria kaya itu. Dia sama sekali tidak menyangka dirinya nyaris bisa tampil seperti wanita terhormat saat di sana. Latihannya tak percuma, dia tampak selayaknya seorang bangsawan di rumah Fabian. Nora mengerang bangun, meninggalkan ranjangnya yang berantakan karena gerak gelisah tubuhnya tadi. Dia melangkah ke rak botol-botolnya yang baru saja ditata pagi tadi, mengambil acak salah satu botol di sana kemudian menuangkan isinya dalam cawan. Habis dalam sekali teguk. Lalu dia kembali mengingat detil pertemuannya dengan Fabian. Tidak, bagaimana aku bisa menipu orang selembut itu? ah, haruskah aku mundur?
Nora menarik tirai kamarnya, memperhatikan rumah megah di seberang sana. Rumah Fabian. Kembali dia terbayang saat makan malamnya di rumah pria itu. Terpesona dengan cara makan Fabian yang elegan, khas bangsawan –gaya makan berkelas. Menikmati obrolan mereka setelahnya. Terpukau kerap kali pria itu tersenyum. Dan tutur bahasanya? Fabian terlalu ramah untuk ukuran seorang pria kaya. Nora pamit pada Fabian menjelang mid night. Sejak itulah malam-malamnya berubah gelisah. Dia sulit terlelap, sama seperti malam ini. Lalu dia akan berakhir bersama botol-botolnya, berakhir pada kebiasaannya sebelum melangkah gontai ke ranjang dan terlelap saat menjelang pagi.
***
MARTAKA NUGRAHA, pria hujung 40-an adik bungsu ibu Fabian tiba di ruang kerja keponakannya. Dan dia ternyata sudah ditunggu Fabian yang terlebih dulu diberitahu sekretarisnya.
“Kau tampak tertekan, Fabian…” Kalimat pertama Martaka setelah menutup pintu. Sepertinya kalimat sapaan terlalu mahal bagi Martaka.
Fabian mengangkat bahunya. “Aku rasa tak ada pimpinan perusahaan yang hidup nyaman selamanya tanpa merasa tertekan…” Responnya santai. “Apalagi bila dibayang-bayangi orang yang menginginkan kursi direkturnya.” Paras Martaka berubah.
“Kau datang ke sini untuk kembali membicarakan itu kan?” Fabian berkata tepat.
Martaka mendesah. “Aku tak bermaksud buruk, hanya ingin meringankan bebanmu. Kau masih muda Fabian…”
“Aku dua puluh tujuh tahun, tidak semuda yang kau kira.” Tukas Fabian.
Martaka menghembuskan nafasnya. “Itulah yang aku maksud, kau dua puluh tujuh tahun, carilah pendamping dan bersenang-senanglah…”
“Apa hak-mu atasku?” Fabian meradang, dia tidak suka didikte. Apalagi menyangkut pribadinya, bahkan oleh adik ibunya sendiri. Fabian mengakui, Martaka hebat serta memiliki ide cerdik yang didapatkannya dari pengalaman di perusahaan-perusahaan lain.
“Aku tidak bermaksud demikian, Fabian. Aku hanya ingin membantu. Waktumu habis untuk memikirkan perusahaan ini, kau juga perlu masa untuk memikirkan kehidupan pribadimu. Kau bisa memberikan beberapa tanggung jawab padaku, dengan begitu kau dapat sedikit menikmati hidupmu. Cobalah merenung kembali…”
Fabian diam. Ditatapnya Martaka, dia sering datang kemari membicarakan perihal ini. Tapi ucapannya kali ini beda. Kau dapat sedikit menikmati hidupmu… begitu kalimatnya. Apakah aku sudah menikmati hidupku? Fabian membatin. Kapan terakhir kali aku mendahulukan diriku? Fabian tak ingat, karena dia memang tak pernah mendahulukan dirinya di atas pekerjaannya.
Martaka berdehem. “Aku pamanmu, Fabian. Aku juga sesayang Mita padamu.” Fabian menatap pria di depannya, dia menemukan raut ibunya di sana. “Aku bersedia kapan saja untuk membantumu, nak. Kau tahu siapa yang harus dihubungi bila pikiranmu berubah…” Martaka keluar. Sebelum menutup pintu pria itu masih sempat berucap pada Fabian. “Mita pasti ingin kau bahagia dan menikmati hidupmu… seperti itu juga yang kuinginkan….” Lalu pintu ditutup.
Fabian mengelesoh di kursinya. Kenangan akan mom melintas, semuanya. Dari sejak dia mampu mengingat sampai kematian orang tuanya. Ingatannya mengembara ke masa lima tahun lalu…
Hari itu Jakarta gelap. Awan hitam bergulung menutup langit. Fabian sedang bersama master-nya saat Amos mengabarkan kalau mom and dad kritis di Rumah Sakit. Mobil mereka terjungkir di jalan. Tak ada tangis dari Fabian saat mendapat kepastian bahwa orang tuanya tak terselamatkan. Dia hanya terpaku di lorong lobi tunggu.Pun demikian saat upacara pemakaman, dia diam tanpa ekspresi. Namun hatinya terus berucap, tahta itu baru saja diwariskan padaku, tali-tali itu baru saja disimpulkan untukku. Dia sayang ibunya, Mita, satu-satunya sosok wanita yang dicintai Fabian. Dia tak menangis saat berhadapan dengan kematian orang tuanya, karena dia dididik untuk itu. Untuk jadi penerus yang kuat dan siap dalam keadaan apapun.
Tapi sekarang, Fabian menangis di kursinya. Sangat lama dia sudah tak menangis. Dia tak ingat kapan terakhir kali matanya basah. Lalu dia bangkit menuju pintu ruang kerjanya. Pulang.
***
“Berdoa??”
Fabian mendongak. Nora sedang tersenyum padanya. Sadar matanya berkabut, Fabian buru-buru mengerjap dan mengucek matanya. Kemudian dia bangkit berdiri. “Maaf…”
“Karena melihatmu menangis?” Fabian Mendesah, dia tak mampu menatap Nora.
“Itu wajar.” Sahut Nora. “Tak ada anak yang tak ingat orang tuanya. Jika si anak berhati lembut tentunya…” Nora memandang Fabian. “Sepertimu, Fabian..”
Fabian tertawa. “Kau belum mengenalku, Rara.” Ujarnya sembari menarik tangkai mawar putih dari saku jas lantas meletakkannya di atas makam di depannya.
“Memang belum, tapi aku yakin akan segera mengenalmu. Aku punya banyak kesempatan. Kita tetangga kan, ingat?” Nora tertawa bisu.
Fabian membalasnya dengan senyum. Dia menyukai sosok Nora dengan segala pesonanya. “Makam siapa yang kau kunjungi?”
Nora mendesah. “Aku sedikit beruntung darimu, orang tuaku masih hidup. Itu makam saudaraku, di sana…” Nora menunjuk. “Sangat jelas melihatmu dari sana.”
“Ohh…” Fabian mendesah. “Aku sudah selesai –”
“Aku juga..”
Lalu mereka berjalan meninggalkan tanah pemakaman yang penuh tembok-tembok berjejer, tembok orang-orang yang sudah mati. Begitulah, kita pergi dan tembok-tembok itu mengantikan sosok kita, menjelaskan identitas kita pada dunia.
“Bicara tentang kesempatan…” Ujar Fabian ketika mereka sudah berada di luar pagar tanah pemakaman. “Aku akan mempermudahmu…”
Nora sempat berkerut, kemudian ingat kalimatnya ketika di depan makam tadi. Dia tersenyum. “Seperti?”
“Mengajakmu makan siang misalnya,” Jawab Fabian.
“Anda baik baik sekali, Tuan Kusuma..” Nora terkekeh.
“Aku hanya berusaha sepertimu, menjadi tetangga yang ramah,” Balas Fabian.
“Bagaimana kalau, berusaha jadi teman yang akrab? Kita sekarang tidak berada di jalan perumahan ‘kan?”
“Yah, aku setuju. Kita tetangga saat berada di rumah dan teman ketika berada di pemakaman…”
Nora terbahak. “Aku tidak tiap hari ke makam, okey! Kita teman bila berjumpa di luar rumah.”
Fabian ikut tertawa. “Kau pakai mobil?”
“Aku akan mengikuti jalanmu. Ingat, kau yang mengajakku lunch. Pilihlah tempat yang meninggalkan kesan…”
Fabian sempat tercenung mendengar kalimat Nora sebelum masuk ke mobilnya. Pilihlah tempat yang meninggalkan kesan. Well, sepertinya Fabian mulai menaruh harapan pada wanita cantik ini.
***
NORA baru saja menutup teleponnya. Dia telah selesai menjawab beberapa pertanyaan, memberikan laporan kerjanya pada si penelepon. Nora mendesah, entah apa yang membuatnya yakin untuk menerima tawaran ini lebih sebulan lalu. Materi, ya. Tapi sekarang dia meragu, apakah hanya materi? Bagaimana dengan kenyataan bahwa dia penasaran, bukan… lebih tepatnya tertarik mengenal objek kerjanya, bahkan sudah sejak beberapa lembar foto ditunjukkan padanya. Ketertarikan, adalah alasan lain dia mau menerima tawaran itu.
Nora menatap tempat tidurnya, dering telepon membangunkannya tadi. Mempersingkat waktu tidurnya, seharusnya dia tidak terbangun sepagi ini. Yah, semenjak menempati rumah ini dia mulai terbiasa baru terlelap menjelang pagi. Nora keluar dari kamar, masih mengenakan piyama menuju halamannya.
Sekarang dia berada di bawah simbahan matahari jam delapan pagi, bergerak-gerak merenggangkan ototnya. Sejenak kemudian dia mulai berlari mengitari rumah. Entah sudah berapa putaran sampai dia menyadari kalau sekarang Minggu. Nora sontak berhenti, menyeka keringat di wajahnya. Dengan badan berkilat dia segera masuk rumah, harus segera mandi dan merapikan diri.
***
FABIAN diberitahu pelayannya kalau tamunya beberapa malam lalu sedang menungu di beranda.
“Sudah kau suruh pelayan membuatkan minum, Amos?” Tanya Fabian pada kepala pelayannya.
“Nyonya Nora menolak disuguhkan minum,”
“Apa dia juga bersikeras untuk tidak mau masuk?”
Amos mengangguk. “Baik, pak.” Ucapnya kemudian saat sadar sang majikan tidak sedang memandangnya.
Fabian mendesah pelan dan mendongak dari kertas kerjanya memandang Amos. “Aku akan menemuinya.”
Si Kepala Pelayan mengangguk sopan lalu keluar dari ruang kerja majikannya setelah menutup pintu terlebih dulu. Fabian merapikan file kerjanya, menutup monitor dan beranjak keluar dari balik meja.
Nora kembali tak menyadari kalau dia sedang diperhatikan pemilik rumah. Sudah beberapa menit Fabian mematung di dekat pintu. Nora bersandar di pilar beranda membelakangi pintu utama, seakan memberikan kesempatan bagi Fabian untuk mengagumi sosoknya dari belakang.
“Amos memberitahu kau tidak suka minuman di rumahku…”
Nora sontak berbalik. Memandang takjub pada sosok di depannya, dengan rambut kecoklatan sedikit berantakan -tak disisir klimis seperti saat dia bertemu pertama kali malam lalu juga saat bertemu di pemakaman- Fabian tampak lebih manis, dan muda. “Aku hanya tidak mau membuat repot.” Jawab Nora seraya tersenyum setelah sadar dari mengagumi sosok Fabian di hari libur.
“Tapi aku yakin, bukan begitu tepatnya kalimat penolakan yang aku katakan pada Amos-mu tadi.”
Giliran Fabian yang tersenyum cerah. “Kenapa tidak masuk?”
“Aku takut bila aku masuk, maka aku akan berakhir di meja makanmu siang ini. Dan itu pasti lebih akan merepotkan ketimbang membuat segelas minuman.”
Fabian tertawa. Dia semakin menyukai Nora. Wanita ini istimewa, dan dia jelas pintar mengakrabkan diri. “Aku sedang mengoreksi pekerjaanku.” Kata Fabian.
Kening Nora bertaut. “Di hari minggu?”
Fabian menyadari kalau Nora mulai menangkap keanehan pada pola kerjanya. “I… iya…” Fabian tak pernah merasa segugup ini saat berbicara dengan siapapun sebelumnya.
Nora tersenyum. “Kau pekerja keras ya… seorang bos berdedikasi tentunya. Aku suka orang seperti itu.”
“Terima kasih…”
“Tapi bisakah kamu benar-benar ‘berhari minggu’ hari ini?” Nora berhenti sebentar. “Denganku…”
Fabian mekar. Dengannya, Fabian akan dengan senang hati menghabiskan sepanjang hari. Tapi… file-file itu???
“Nikmati hari liburmu sesekali, Fabian.” Nora mendekat. “Aku yakin akan menyenangkan.”
Tatapan itu, Fabian luluh. “Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan mobil.” Fabian siap masuk.
“Jangan… bukan hari ini.” Nora menangkap pergelangan Fabian, membuat langkah pria itu terhenti dan berbalik menatap lengannya dalam genggaman Nora. “Maaf…” Nora melepaskan genggamannya.
“Ehemm, kita akan berjalan-jalan, membuat beberapa keributan di taman jika sempat, naik angkutan umum, atau berperahu bebek di danau. Kau pasti belum pernah mencobanya kan? Pinggiran pantai kabarnya menarik di hari minggu. Pasti menyenangkan bila kita ke sana…”
Beberapa detik lamanya Fabian seperti tersihir. Ucapan Nora mengusik hasrat terdalamnya, hasrat untuk mencoba hal-hal baru dalam hidupnya. Hasrat masa remaja yang tak pernah disalurkannya. Sedetik kemudian tangan Fabian sudah berada dalam genggaman Nora untuk dibawa berjalan meninggalkan kastilnya.
Fabian menjadi liar. Dia lepas dan gembira di sisi Nora yang selalu menggamit lengannya bila berjalan. Turun dari angkutan umum di pusat kota Jakarta dekat Monas, selanjutnya mereka menyusuri jalanan kota yang ramai di hari minggu. Fabian tak suka anak-anak. Tapi bersama Nora, hari ini dia berlarian bersama banyak anak di taman dengan kembang gula di tangan, makan es krim murahan di pinggir jalan, berfoto ria bersama wisatawan entah dari mana, memborong balon dan membaginya pada setiap orang di sana –yang diterima dengan kening berlipat heran.
Nora membuat Fabian tanpa aturan. Mereka makan siang di kafé pinggiran, yang punya meja bundar berkanopi umbrella dengan dua kursi kecil. Memesan menu-menu kelas bawah dan makan lahap tanpa harus menjaga sikap seperti yang biasa dilakukannya saat makan. Fabian bahkan memegang langsung potongan dagingnya dan menggigitnya dengan brutal, dia sangat ingin makan dengan cara begini sejak dulu. Nora tertawa melihat Fabian.
Selesai dengan potongan kecil, Fabian mengambil potongan yang lebih besar. “Hey…! Itu bagianku.” Seru Nora sambil berusaha ikut menggigit daging yang tengah digigit Fabian.
Mereka tertawa, makan ala bocah yang berebut makanan. Wajah mereka berlengketan saus dan lemak. Jari-jari mereka tak ada yang bersih, garpu dan pisau tergantikan.
“Aku kenyang…” Bahkan Fabian mengeluarkan angin dengan suara nyaring dari mulutnya, hal yang pasti akan sangat dikutuk bila dia melakukannya ketika di ruang makannya, daddy tak akan senang melihatnya sekarang.
Nora tertawa. Mengambil serbet dan tanpa sungkan mengelap mulut Fabian yang kontan membuat pria itu diam dengan mata berkedip-kedip. Nora tak peduli biarpun Fabian memandangnya aneh, dia terus menggerakkan tangannya di wajah Fabian. Ketika merasa cukup, Nora menarik diri kembali bersandar di kursi.
“Ehemm, terima –”
“Sama-sama..” Potong Nora, kemudian memanggil pelayan dan membayar bil mereka. Setelahnya dia bangun dan kembali menggamit lengan Fabian. “Ayo, Pinggiran laut menunggu kita…”
Dan sekarang mereka sudah di dalam boat yang disewa dengan harga murah karena mereka berpasangan. Berbaur dengan para wisatawan yang berperahu sembari memfoto pemadangan disekitar. Pasangan pengantin baru, pasangan yang baru meresmikan status pacaran mereka, yang baru memberi dan mendapatkan cincin, yang sedang dimabuk cinta ala Romeo Julliet, mungkin juga pasangan-pasangan selingkuhan.
Fabian terkapar di bagian belakang boat dengan tangan di atas matanya – berupaya menyusutkan lelah. Fabian merasakan haluan boat membelok dan lajunya melambat, Nora sepertinya masuk ke salah satu cabang sungai. Fabian tak peduli, tapi tak urung dia memindahkan tangan dan membuka mata saat menyadari kalau matahari tak lagi menyorotnya.
Dan Fabian kaget mendapati Nora telah condong ke atasnya. Wanita itu tersenyum, sama sekali tidak terganggu dengan wajah kaget Fabian.
“Untuk sementara kita sembunyi di sini ya!” Ucap Nora.
Fabian memandang berkeliling. Perahu mereka masuk ke bawah jembatan kecil yang dibangun hanya dengan satu cincin beton dibawahnya. Disekitarnya adalah bangunan-bangunan bermenara tinggi, seperti gereja. Sunyi. Tempat yang tepat untuk ‘sembunyi.’ Fabian kembali menatap Nora yang masih belum beranjak dari meneduhi atas tubuhnya. Nora bertumpu dengan kedua lengan di sisi tubuh Fabian. Kenapa dia tidak lebih condong lagi?
“Kamu lelah?” Tanya Nora.
Fabian menggeleng. “Aku bahagia…” Jawabnya.
Nora bergerak ke samping Fabian, ikut menyandarkan punggungnya di bagian belakang boat. Mereka rebah berdampingan. Fabian mendesah kecewa, seharusnya Nora menjatuhkan diri diatasnya, bukan di sampingnya.
“Kau harus lebih sering menikmati hari liburmu, Fabian. Satu hari saja dalam satu minggu. Seperti sekarang… Pangkas sedikit waktu kerjamu, dan bersenang-senanglah.”
Fabian terdiam, membuat Nora menoleh padanya, membuat sisi wajahnya hampir bersentuhan dengan puncak hidung Nora.
“Terkadang.. aku membayangkan bila aku masih remaja.” Fabian menutup matanya. “Tapi aku tak melihat apa-apa dalam bayanganku itu selain dari tumpukan buku di ruang didikku. Aku tak melihat hal-hal seperti yang kita lakukan hari ini, Ra. Aku tahu hal itu ada, tapi aku tak mempunyai gambarannya dalam memoriku. Aku… kesepian…” Mata Fabian mengerjap. “Tapi denganmu hari ini… sepertinya duniaku baru saja dimulai. My life begins…”
Nora tersenyum, memalingkan wajahnya lurus kembali. “Aku juga tak punya masa remaja yang meledak-ledak dan menyenangkan. Aku melewati masa itu sewajarnya. Tapi aku senang melihatmu menikmati hari ini. Semoga ini bukan hari liburmu yang terakhir denganku…”
“Jika kau mengajakku untuk membagi balon lagi minggu depan, aku akan ikut dengan senang hati.”
Nora tertawa. Sesaat kemudian menoleh lagi pada Fabian, justru di saat itulah Fabian juga sedang berpaling ke arahnya. Tak terelakkan, puncak hidung mereka bersentuhan, tapi tak ada yang berusaha berpaling menghindar. Mereka saling menatap, dalam dan lama. Fabian celaka. Dia tak mampu menahan diri dengan pesona Nora, dia bertekuk lutut di depan wajah manis yang dimiliki Nora. Bahkan sejak pertama kali melihat Nora dulu, Fabian yakin dirinya akan terbakar sendiri. Nora berpaling membuang wajah.
“A..a.. ku–” Nora tak hanya kikuk, belum ada pria yang membuat Nora kehilangan kata-kata sampai Fabian melakukannya. Fabian menautkan jarinya dengan jemari Nora.
“Don’t say anything… biarkan ini berjalan sendiri.” Kata Fabian nyaris berbisik.
Nora menurut, dia diam. Lagipula, dia telah kehilangan kata-katanya barusan saja.
“Sepertinya kita harus pulang Ra, sungai sudah penuh siluet gedung-gedung. Matahari sudah menghilang.”
Fabian melerai pautan jarinya pada Nora lalu bangun dari samping wanita itu. Fabian takut dan menyadari sepenuhnya, jika dia tidak menarik diri sekarang maka dia bisa hangus terbakar tak bersisa di atas Nora.
Nora ikut bangun. “Ya, aku tidak mau disangka membawamu lari.” Ujarnya berkelakar, lalu bergerak ke haluan boat.
Fabian ikut berdiri di samping Nora di dekat kemudi. Boat kecil itu kembali bergerak tenang di permukaan sungai.
***
DAN minggu-minggu selanjutnya mereka semakin intim. Fabian dan Nora menghabiskan sepanjang hari libur bersama. Mengunjungi tempat-tempat wisata, berbaur dengan turis dan berdebat-kusir di tama kota, serta di Ancol pada hari libur lain. Ikut histeris di Trans Studio Bandung ketika mencoba wahana seru di sana. Fabian juga sempat bermanja-manja bersama Nora ketika bus mereka dalam perjalanan ke Bandung. Mereka menjelajah kota berdua dalam keadaan mabuk cinta.
Fabian lepas bersama Nora. Dia sadar telah menempatkan kepentingan dirinya di atas pekerjaan dan tetek bengek mempertahankan tahtanya. Fabian seperti memperoleh masa remaja di masa dewasanya. Rumus hidupnya berubah menjadi formula baru, kecil dewasa lalu remaja. Banyak hal gila dilakukannya dengan Nora. Dan dia menyukai setiap kegilaan itu. Fabian mulai melupakan statusnya sebagai raja di kerajaan. Dia mulai membebaskan diri dari jam-jam kerja.
***
NORA menutup telepon. Menatap benda itu lama. Lagi, dia baru saja melaporkan perkembangan kinerjanya. Sekarang jam dua dini hari. Itu telepon terlarut yang pernah diterimanya dari sang atasan. Seperti biasa, Nora melangkah ke rak botol setelahnya. Saat mendekatkan mulut gelas ke bibirnya, pandangannya menangkap lembar foto pada dinding di depannya, hanya tiga lembar foto. Fotonya bersama Fabian ketika berada di taman, bersama balon-balon mereka. Fabian memaksa Nora mengambil foto itu untuk dibawa pulang. Nora meletakkan gelasnya yang masih penuh lalu melangkah ke dinding. Disentuhnya foto itu. Aku mencintainya, sungguh. Aku tidak akan pernah siap menjadi orang yang paling dia benci…
Nora menghempaskan tubuhnya ke ranjang, malam ini dia mengacuhkan isi gelasnya. Nora mengerang, detik selanjutnya dia bangun dari ranjang. Bergerak cepat mengambil sepotong kaus lalu segera keluar. Aku harus mengatakannya sekarang.
Nora mematung di depan pintu samping rumah Fabian. Tak menyangka dirinya nekat menyelinap kemari, mengendap-ngendap tanpa memicu alarm. Nora melangkah ke arah kamar Fabian. Dia tahu persis dimana letaknya, kunjungan-kunjungannya ke sini membuatnya hafal betul.
Nora memanjat. Ya, dia memanjat. Bukan hal baru lagi untuknya. Itu sudah menjadi salah satu kemampuan dari pekerjaanya. Pilar dan pipa membantunya memanjat di dinding untuk menjangkau rangka balkon kamar Fabian. Nora cukup terlatih melakukan hal tersebut. Dan sekarang dia sudah berada di depan jendela lebar kamar Fabian. Di dalam sana gelap. Fabian pasti tengah terlelap di ranjangnya. Nora mengetuk kaca, dua ketukan pelan. Menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi. Nora kini berbisik memanggil Fabian di sela bunyi yang ditimbulkannya di kaca Fabian.
Nora berhenti saat mendengar suara rangka ranjang berderit di dalam sana. Fabian terbangun. Lalu tirai putih jendela itu tersibak, saat bangun Fabian tidak menyalakan lampu utama di dalam kamarnya. Tampang Fabian penuh kejut. Lalu dia segera membuka pengait jendela dan menggesernya ke samping.
“Hi…” Bisik Nora saat dia sudah berhadapan dengan Fabian.
Fabian tak membalas. Sebaliknya langsung menarik Nora dan memeluknya erat. Dia mendadak cemas. Bahkan Fabian tak mau repot-repot mencari tahu bagaimana Nora bisa tegak di depan jendelanya. Fabian hanya ingin tenggelam bersama wanita ini, rela jikalau harus mati lemas sekalipun.
Nora menarik tubuhnya begitu sadar apa tujuan awalnya menyelinap kemari. “Ada hal yang ingin kubicarakan…” Ucapnya sambil menatap mata Fabian. “Aku…”
“Ssshhh…” Fabian menaruh jarinya di bibir Nora. “Aku tahu…” Lirihnya.
Nora menggeleng. “Tidak… kau tak tahu Fabian…”
Tapi Fabian tak mau mendengar apa-apa, dia kembali memeluk Nora. Bersama Fabian, Nora lupa kalau dirinya juga bisa membuat pria yang dicintainya ini akan meradang terluka. Cepat atau lambat.
***
FABIAN terbagi, dia tak lagi semata-mata fokus pada perusahaannya. Tujuh puluh lima persen pikirannya sekarang tertuju untuk Nora, waktunya lebih banyak dihabiskan bersama wanita itu. Tidak terbatas pada hari minggu saja. Fabian merasakan hidupnya penuh cinta. Pikiran untuk menyerahkan beberapa tanggung jawab pada pamannya –Martaka- mulai melintas akhir-akhir ini. Tidak, bukan beberapa tanggung jawab, Fabian mulai memikirkan kemungkinan menjadikan Martaka wakil direktur. Dengan begitu, segala urusan akan ditangani sang paman dan dia bisa lebih banyak lagi menikmati cintanya dengan Nora.
Fabian baru turun dari Mobil bersama Nora di depan beranda, mereka baru pulang dari candle light dinner yang entah ke berapa kali. Fabian buru-buru melepaskan tautan jemarinya dan Nora ketika mendapati Martaka sudah duduk di sofa ruang depan rumahnya. Mengapa Amos tak memberitahu kalau Martaka datang? Fabian mendumel dalam hati, nasib baik dia tak masuk rumah sembari berganyut di bahu Nora seperti kebiasaannya belakangan ini. Lalu Fabian ingat, bukan salah Amos yang tak mengabarinya, tapi dia sendiri yang meminta Martaka datang malam ini, untuk membicarakan pelimpahan wewenang. Terbayang di fikiran Fabian ketika Martaka datang dan memberitahu Amos kalau dia sudah membuat janji dengan keponakannya malam ini, jadi tak perlu repot-repot bagi kepala pelayan untuk mengabari tuannya kalau Martaka sudah datang.
Mengapa Fabian sampai lupa diri begini? Jawabannya Nora, wanita manis di sisinya yang berdiri diam saat melewati ruang depan.
Martaka berdehem. “Amos sudah membawa minum tambahan untukku beberapa menit lalu…”
“Maaf membuatmu menunggu, Mar.” Balas Fabian.
Martaka menyeringai. “Kau terlihat bahagia, Son…” Martaka melirik Nora. “Aku gembira melihatmu bisa sedikit menikmati hidupmu selain bersama kertas-kertas di ruang kerjamu.”
Fabian memaksa sebuah senyum. Apa pamannya ini mulai mencium bahwa dia dan wanita di sampingnya sekarang ini terlihat tak wajar? Fabian jadi ingat saat Martaka menyarankannya mencari pendamping saat ke kantor kali terakhir dulu. “Ehemm…” Dia berdehem canggung. “Ra, kenalkan, ini Martaka Nugraha, pamanku.” Ucap Fabian memperkenalkan sang paman pada sang kekasih. “Mar, ini Dzakiyya Nora…” Ada jeda. “Dia tinggal di ujung jalan sana…”
Martaka menyeringai lalu bangun dan mengulurkan tangannya pada Nora. “Senang bertemu anda Nyonya Nora” Mereka berjabatan. “Anda tetangga pertama yang dikenalkan Fabian padaku.”
Nora diam. Tak merespon, raut wajahnya tak seperti biasa. Dia melepaskan jabatannya dengan Martaka. Fabian menatap dua sosok di depannya dengan alis berkerut. Nora kaku di depan Martaka.
“Senang mengenal anda juga, Tuan Martaka.” Keluar juga satu kalimat dari mulut Nora, walau sesudah jeda yang cukup lama dari jabatan tangannya dengan Martaka. Paman Fabian itu hanya menyeringai. Nora lalu berbalik menatap Fabian. “Aku ingat harus membeli beberapa barang untuk di rumah…” Ucapnya pada Fabian.
Fabian mengangguk mengerti. “Okey… terima kasih sudah menemaniku malam ini.”
Nora tersenyum untuk Fabian, senyum yang dianggap Fabian sedikit berbeda, tidak lepas seperti yang biasa dilihatnya pada Nora.
“Permis, Tuan Martaka…” Lalu Nora keluar.
“Tetangga yang manis.” Ujar Martaka setelah Nora menghilang di balik pintu. “Kau tampak begitu akrab dengannya, Fabian…” Martaka memandang keponakannya.
Fabian tidak merespon. Dia berjalan duduk di sofa yang bersebrangan dengan sofa dimana Martaka duduk tadi. Menghempaskan bokongnya dan duduk selayaknya pemilik rumah, dengan kaki bersilang tinggi dan punggung menyandar rileks. Menegaskan bahwa dialah penguasa di sini. “Aku ingin membicarakan kemungkinan kau akan menjadi wakil pertamaku di Kusuma Industry…”
Dan Martaka tersenyum, janggal dan tak ter-artikan.
***
FABIAN terbangun jam empat pagi. Ponselnya berkelip-kelip, Nora menelepon. Dia memberikan nomor private-nya pada Nora di hari ketika dia cemas akan Nora yang tiba-tiba berada di balkon kamarnya. Fabian mengeliat dan bersuara serak di corong ponselnya. “Yeah, Ra… Mimpi buruk?” Fabian menguap, dia disambut hening sejenak. Nafas Nora terdengar berat. Perlahan Fabian bangkit dan duduk di ranjangnya. “Ra, kau baik-baik saja?
Fabian mendengar desahan Nora. “Aku mencoba mengatakan ini padamu setiap ada kesempatan. Tapi aku pengecut, aku terlalu takut. Takut dengan reaksimu, terlebih lagi takut dengan diriku sendiri, ambisiku, keegoisanku. Aku terjebak dalam dilema Fabian, dilema antara diriku sendiri dan dirimu…”
Fabian tak mengerti satupun kalimat Nora. “Sayang, kau tidak tidur sejak pulang dari rumahku tadi?” Pertanyaannya dijawab gumam tak jelas dari Nora. “Ra, aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, kau lelah. Aku membuatmu lelah, sepanjang waktu kau berada bersamaku… itu menguras energi dan pikiranmu…”
“Fabian, aku…”
“Sayang…” Fabian memotong ucapan Nora. “Aku sudah mengikuti saranmu untuk lebih mengutamakan kebahagianku dan apa yang aku inginkan. Aku ingin bahagia denganmu Ra, jangan bikin aku cemas dengan ucapanmu. Kau bukan pengecut, tidak ada dilema antara kita, okey…!”
“Aku tak seperti yang kau fikirkan, Fabian…”
“Aku tak peduli.” Fabian nyaris berteriak. “Aku mencintaimu, cukup alasan itu yang aku butuhkan untuk menerimamu, apapun dirimu, bahkan jika kau monster sekalipun.”
Diam, hening merajai antara mereka berdua. Hanya desah nafas yang terdengar. “Sayangnya aku benar-benar monster.” Ucap Nora kemudian.
“Dan sayangnya lagi, aku telah jatuh cinta mati-matian pada monster itu.” Sahut Fabian mantap. “Istirahatlah Ra, gud nite, love you…” Fabian menunggu Nora mengatakan kalimat balasan untuk membuat tidurnya kembali indah.
“Apapun yang terjadi nanti…” Nora menggantung kalimatnya. “Aku ingin kamu ingat satu hal, aku tak pernah bohong tentang perasaanku padamu. Aku tak menipumu dengan cintaku, ini benar-benar tulus, Fabian. Aku tak menipu untuk perasaanku padamu. Aku teramat sangat mencintaimu dan tak bisa untuk kehilanganmu…”
Itu cukup. Fabian tersenyum sambil merebahkan dirinya di ranjang kembali. Walaupun dia tak mengerti pembicaraan Nora yang dirasanya aneh, tapi satu kepastian bahwa Nora tak bisa kehilangannya membuat segala ke-tak mengertian-nya pupus. Fabian kembali terlelap.
Sementara di kamarnya, Nora membanting ponsel hingga beserakan begitu menghantam dinding. Aku tak sanggup, aku tak mungkin sanggup memberitahunya, dia pasti akan pergi dariku. Aku tak bisa kehilangannya. Tapi sampai kapan aku harus membohonginya? Dan botol-botol itu pun berpecahan. Nora menghancurkan rak minumannya.
***
FABIAN berseri memegang tiket dan brosur liburannya ke Bali. Ini akan jadi kejutan indah untuk Nora. Sebulan penuh dia dan Nora akan menikmati keeksotisan pulau yang kabarnya surga Asia Tenggara, surga cinta baginya dan Nora. Pantai berpasir putih di Bali akan menjadi saksi kehebatan cintanya bersama Nora. Fabian tak sabar untuk segera sampai di sana, untuk menghabiskan hari-harinya dalam asmaraloka Nora, tanpa diganggu urusan kerja. Ya, Fabian telah mempercayakan segalanya pada Martaka. Dia sukses menjadi pria yang bebas, selama dia ingin. Martaka –sang paman akan menguruskan segala urusan menyangkut tahtanya. Ucapan daddy tentang satu raja untuk satu kerajaan tak lebih dari ngiang tak berarti di telinga Fabian sekarang.
Seminggu penuh dihabiskan Fabian untuk mencari tahu tempat liburan paling menarik sampai dia menemukan Bali. Jadi sangat wajar jika sekarang dia berlari menuju rumah Nora, membawa kejutan yang pasti akan membuat Nora senang. Tangan Fabian penuh brosur tentang Bali. Juga satu paket lengkap pelayanan yang telah dibayarnya, dia dan Nora hanya perlu datang dan bersenang-senang. Fabian tak sabar untuk memuntahkan kalimat-kalimat luapan kegembirannya di depan Nora.
Nora tak punya pelayan. Fabian langsung masuk, dia sudah terbiasa masuk rumah Nora. Bahkan sampai ke kamarnya kapan hari dulu. Tapi kali ini langkah Fabian tertahan, Nora tak sendirian di rumahnya.
“Kau hebat. Dan perkiraanku benar. Anak itu terbujuk wanita. Rencanaku dengan menghadirkanmu dalam kehidupannya sukses besar. Tak sia-sia kau tingal di sini. Kusuma Industry tak lama lagi akan jadi kekuasaanku. Aku sudah menunggu saat ini sangat lama sejak Randi dan Mita tewas…”
Fabian kenal suara itu. Itu Martaka, pamannya yang sudah terlibat di perusahannya hampir 1 minggu ini. Fabian bagaikan dihantam godam ketika mendengar ucapan Martaka selanjutnya.
“Kau berhak atas bayaran itu, Nora.” Martaka tertawa. “Kau berhasil menipunya, membuatnya lupa diri dan rela mengikuti sugesti-sugestimu untuk meninggalkan pekerjaannya. Aku tak salah memilihmu untuk menjalankan rencana ini. Kita sukses besar. Teruslah membuatnya lena, sementara aku akan menguasai perusahaannya perlahan-lahan. Dan ketika Kusuma Idustry sudah dalam genggamanku, kau akan mendapatkan bagianmu sendiri.”
Fabian melihat Martaka tertawa, mereka sedang di ruang tengah. Nora berdiri membelakangi Martaka dengan kedua tangan dalam saku jeans-nya. Dia diam. Fabian merasa sesak, perih. Matanya berkabut. Nora tidak benar-benar mencintainya. Semua itu sandiwara, kunjungannya ke rumah sebagai tetangga baru, pertemuan di pemakaman, hari-hari libur mereka dan juga momen indah di kamarnya, semua itu telah diatur. Tak ada yang sungguh-sungguh dari Nora untuknya, selain kebohongan yang menyakitkan. Semua kebohongan itu, hanya untuk sesuatu yang disebut dengan materi. Ya tuhan, Fabian merasa tak berharga kini.
“Kusumaku sayang, Fabianku malang…” Martaka masih bernyanyi, tawa tak lepas dari mulutnya. “Hey, Nora, tidakkah kamu menganggap bahwa Fabian adalah anak yatim piatu malang yang bodoh…” Martaka terbahak keras.
Nora berbalik cepat begitu Martaka selesai dengan kalimat itu, tampangnya mengeras. Dan saat itulah matanya bertentangan dengan mata Fabian. Nora melengak bergetar. Mata Fabian sarat duka, perih berjelaga di dalamnya. “Fabian…” Hanya itu yang keluar dari mulut Nora.
Martaka berhenti tertawa. Ikut mengarahkan pandangan ke arah Nora menatap. Martaka langsung pucat.
Fabian berusaha sekuat tenaga agar tak terlihat hancur, dia berusaha dermawan. “Kau dipecat, Mar…” Ujar Fabian pada Martaka. Berusaha setegar mungkin agar suaranya tak bergetar.
Mulut Martaka menganga. Tak ada kalimat yang dapat keluar, kontras dengan sikapnya barusan saja. Rencananya untuk jadi big boss di Kusuma Industry gagal sudah. Dia merutuki kebodohannya datang kemari, seharusnya dia membuat janji dengan Nora untuk bertemu di tempat lain. Martaka bagai penjudi yang kalah di permainan pertamanya saat semua uang sudah dipertaruhkan, membuatnya harus keluar dari cassino dengan kepala tertunduk.
Fabian memandang Nora kini. “Aku adalah manusia paling bodoh yang rela menyerahkan hati dan jiwanya pada bastard sepertimu.” Kali ini Fabian tak bisa menghilangkan getar dalam suaranya. “Aku begitu bodoh menganggap semuanya sungguh-sungguh. Kau benar, dirimu tak seperti yang kufikirkan…”
Nora melihat luka itu, sangat jelas. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa jujur dari awal. Kau jahat Nora, kau wanita iblis. Apa yang telah kau perbuat? Kau menghancurkan hati pria lembut itu. Kau telah membunuhnya secara tak langsung. Nora sangat pantas mengutuk dirinya lebih kejam lagi.
“Terima kasih untuk cinta pura-pura-mu…” Fabian melempar brosur-brosur itu ke lantai dan berjalan cepat meninggalkan bajingan-bajingan di belakangnya.
Nora tak mengejar. Dia merasa tak pantas. Dia tak pantas menyentuh Fabian lagi dan memelas-melas mengatakan bahwa dia tidak pernah berbohong untuk perasaan cintanya. Bahwa dia sungguh-sungguh mencintai dengan segenap jiwanya. Dia tak pantas. Satu-satunya kepantasan buatnya adalah disakiti balik, disakiti seperti dia menyakiti Fabian, langsung ke jantung hatinya. Tapi kemudian Nora merasakan sakit itu, dia telah kehilangan Fabian. Hal yang paling ditakutinya, dia tak bisa lagi memeluk Fabian, menjangkaunya pun tak sampai lagi. Tak ada yang lebih sakit daripada kehilangan hati yang dicintai. Bulir-bulir air mengalir dari matanya. Nora mengerang kesakitan.
***
FABIAN mengamuk. Dia menghancurkan apapun di rumahnya. Puas menerjang benda-benda di ruang depan, Fabian beralih ke ruang berikutnya, menghantam apa saja yang dilihatnya. Porselen-porselen megah hancur berderai, jambangan-jambangan berpecahan, meja kaca patah berkepingan. Tidak itu saja, Fabian menerjang LCD tv-nya, menghancurkan home theater-nya di ruang tengah, memecahkan akuarium besar di sudut ruang, menghantam semua kaca jendela dengan vas bunga atau benda apa saja yang sanggup dilontarkannya, termasuk kursi kayu cantik mengkilap. Rumahnya porak-poranda. Tak ada pelayan yang berani bersuara, mereka diam selayaknya pelayan. Mengintip takut-takut sang majikan yang sedang menggila. Bahkan Amos yang sudah bagai ayah bagi Fabian pun tak bisa berkata apa-apa.
Fabian berhasil menumbangkan lemari pajangannya yang keseluruhannya adalah kaca, itu benda terakhir yang dilihatnya. Sebelumnya, dua lemari serupa telah lebih dulu remuk. Lalu pandangannya menyapu seluruh penjuru. Kehancuran di seluruh rumah. Tapi hatinya lebih hancur dari ini. Lalu dia menangis, sesengukan dan jatuh bersujud di lantai penuh beling. Tangannya sudah berdarah sejak pertama masuk tadi, dia sudah lebih dulu meninju jendela depannya sebelum melanjutkan merusak di dalam rumah.
Amos memberanikan diri mendekat, dirangkulnya pundak Fabian. Amos diam, tak bertanya tak bersuara. Fabian meraung di riba Amos.
“Dia menyakitiku… dia menyakitiku…” Rintih Fabian pilu sambil berurai air mata di pangkuan Amos. “Rasanya sakit sekali… sakit sekali…” Fabian terisak. “Dia menyakitiku…”
Amos tak merespon, dia sangat memahami Fabian. perlahan dia membelai kepala Fabian di pangkuannya. Sejenak kemudian segera sadar akan tangan Fabian yang penuh merah. Amos membelalak pada anak buahnya. “APA YANG KALIAN TUNGGU, HAH!” Dia menghardik semua bawahannya yang berdiri mematung di sekitar dirinya dan sang majikan. “DASAR DUNGU!!! Ambilkan kotak medis, BODOH!!!” Dan pelayan-pelayan itu berhamburan ke segala penjuru.
***
SAKIT dikhianati paman sendiri tak dirasa oleh Fabian. Tapi dengan Nora? Kian hari rasa sakit itu kian melemahkannya. Dan yang lebih membuatnya perih adalah, kenyataan bahwa Nora melakukan itu demi materi. Perasaannya sama sekali tak berarti bagi Nora. Fabian hancur bersama perasaannya.
Dua minggu sudah dia terpuruk bersama luka yang tak kunjung mengering. Fabian benci dirinya sendiri saat hari-hari sepinya mengusik kesadaran bahwa dia masih teramat mencintai Nora. Masih berharap kalau Nora serius dengan ucapannya di telepon awal pagi itu. Tapi mustahil, Nora adalah iblis. Iblis tak punya apa yang dikatakan cinta. Nora tak sungguh-sungguh dengan ucapannya di telepon, Fabian sangat yakin itu.
Lalu Fabian dimamah sepi, nelangsa tak kunjung menjauh, dia terpuruk. Namun perasaannya pada Nora tak pernah berubah, masih tetap sama. Fabian kerap mencari-cari bayang Nora di biliknya saat malam-malam menjelang, menggapai-gapai berusaha menemukan bayang itu. Namun nihil. Fabian mengerang pedih di ranjang sepinya. Sungguh kasihan, sepi dan pedih itu terus berlanjut berhari-hari ke depan.
***
SATU sore di tepian sungai tempat hati mereka pertama kali menyatu…
Angin membelai perlahan di kulit Fabian, dia duduk menyendiri di pinggiran, di sebuah bangku kayu panjang di bawah pokok cemara yang berjejer tumbuh di pinggir sungai bagian ini. Fabian memejamkan mata meresapi hembus angin di helai-helai rambutnya, merasa nyaman. Lebih tiga bulan sejak hatinya dijungkir-balikkan oleh sesuatu bernama cinta. Ternyata cinta tidak seindah yang diketahuinya.
Dan masa lebih tiga bulan belum cukup bagi Fabian untuk membunuh perasaan cintanya. Dia masih sering mengingatnya bersama kursi kayu tempat dia menghabiskan hujung harinya sepanjang bulan ini, masih sering berbisik sendiri bersama desau angin di bawah pohon tua ini, pun masih sering mengerjap membuat bulir bening meluncur di sisi wajahnya untuk kemudian disambut rumput hijau di bawah sana. Fabian hanya cukup mendesiskan satu nama saja untuk membiarkan semua itu menderanya, satu nama saja semisal ‘Nora.’
Fabian membuka matanya dan menoleh ke samping saat dalam pejamnya dia menyadari bahwa ada sosok lain yang duduk di bangku yang sama, di sampingnya. Dia membuka mata karena serasa mengenal harum segar yang masuk indera penciumannya, merangsang saraf di sana untuk kemudian mengirimkan pesan ke hati dan pikirannya bahwa sudah sangat lama dia merindukan harum itu. Harum Nora.
Fabian terpana lama ketika sudah menoleh. Sosok itu bergeming di sampingnya, duduk tegak menatap lurus ke depan, ke perahu-perahu kecil penuh berisi pasangan-pasangan yang sedang diamuk cinta di atas sungai sana. Kedua tangan dalam kantong jaketnya. Tak bersuara, juga tak menoleh.
Fabian masih menatap sisi wajah sosok kokoh di sampingnya. Menatap penuh rindu dan cinta. Matanya pun lupa untuk berkedip. Ini bukan mimpi, Fabian tahu ini nyata. Wanita di sisi kanannya benar-benar ada di samping. Fabian bergetar dan nyaris menggelepar saat gelombang rasa rindu itu menghantam pilar-pilar hatinya. Dia rindu berganyut pada wanita ini, rindu untuk kembali bisa menyentuhnya. Meski sakit pernah diciptakan untuknya, Fabian tak pernah benar-benar membuang cintanya pada wanita ini. Tak pernah berhenti berharap kalau suatu saat dia akan menemukannya. Dan sekarang lah saat itu.
“Aku ingin kamu tahu satu hal, aku tak pernah bohong tentang perasaanku padamu. Aku tak menipumu dengan cintaku, ini benar-benar tulus… Aku teramat sangat mencintaimu dan tak bisa untuk kehilanganmu…” Wajah itu tak menoleh.
Fabian dapat melihat dengan jelas gerak bibir itu saat kalimat yang pernah di dengarnya dulu diulang kembali, begitu lirih. Beberapa detik setelah berucap demikian, sosok itu menoleh. Fabian menemukan luka dan kesakitan yang sama pada bola mata yang sekarang tampak berkabut itu. kesakitan serupa yang ada pada dirinya. Nora sakit karena kehilangan. Lalu Fabian yakin, dia telah mengharapkan wanita yang tepat.
“Aku tak sanggup menahan derita lebih lama lagi karena kehilanganmu… aku tak sanggup, Fabian…”
Itu saja yang diperlukan Fabian, kepastian bahwa yang didengarnya dulu adalah kesungguhan tak terbantahkan. Dia rela ditipu berkali-kali asalkan dia tak ditipu tentang cinta, Fabian rela kehilangan segala tahtanya demi menemukan satu cinta. Cukup satu cinta saja. Lalu dia melabuhkan kepalanya di bahu wanita ini. Mereka seakan tak akan terlepaskan kembali.
“Aku tak tahu bagaimana caranya hidup ketika tak lagi menemukanmu di sisiku, Ra. Aku tak tahu caranya hidup tanpa cintamu… sungguh aku tak tahu bagaimana caranya…” Bisik Fabian seakan mengurai segala perih yang sempat tercipta untuknya dan Nora.
Nora membawa satu lengannya merangkul pinggang Fabian dan tangan yang lain mendekap kepala Fabian di bahunya. Cairan bening menggenang di sudut matanya. “Aku rela menukar apapun yang kumiliki demi bisa mendekapmu seperti sekarang, aku rela mati untuk ini, Fabian…”
Fabian menoleh dari bahu Nora. Dibingkainya wajah Nora dengan dua tangannya. Jarinya menyeka sudut mata Nora, sedangkan matanya sendiri tidak kering. “Kau tak perlu menukar apapun, Ra. Kau hanya perlu memberiku cinta setulus ini, dan aku akan dengan rela menempatkan hatiku selamanya berdampingan dengan hatimu. Aku akan rela berada dalam dekapanmu hingga maut memisahkan…”
Nora tersenyum lalu membalas menyeka mata Fabian.
“Kau satu-satunya wanita tempat aku bersandar Ra…” Bisik Fabian penuh rasa. “Please, never let me go…”
“Aku tidak mau jadi manusia bodoh dengan melepaskanmu untuk kedua kalinya…”
Nora bangkit berdiri. Fabian berganyut di leher Nora sementara tetangganya itu. Mereka tersenyum, lalu bergandengan tangan berjalan menyusuri tepian Sungai. Keduanya bergerak bahagia di bawah guguran pohon cemara dengan jemari bertaut erat. Angin sore berhembus damai mengikuti langkah mereka. []
EPILOG
*Halaman terakhir dari buku catatan Fabian Kusuma*
Aku menemukannya
Dengannya aku menemukan duniaku
Dengannya aku menemukan senyumku
Dengannya aku menemukan kebebasanku
Dengannya aku menemukan jalanku
Dengannya aku menemukan rumahku
Dengannya aku menemukan nyawaku
Dengannya aku menemukan hidup dan matiku
Karena hanya bersamanya,
Aku menemukan cintaku…
Cinta itu bernama Nora…
[HABIS]