Beranda Cerpen Elegi Dua Purnama

Elegi Dua Purnama

BERBAGI

Lagi. Malam mengintip di balik jubah hitamnya. Malam yang tampak bertuah bagi suatu kondisi, dingin dan penuh angin. Di balik dinding rumah, badai mengamuk. Hujan ditumpahkan dari langit begitu deras, dan untuk sekejap saja raungan senjata jadi kenangan.

Di satu sudut terpacak sebuah rumah. Aku tinggal di sini bersama orangtuaku. Sementara Ayah menghabiskan waktu demi waktu dengan teman perwira-perwiranya di ruang tamu, Aku dan Ibu mendengarkan dentuman-dentuman longsong peluru di kejauhan di dalam rumah. Aku sungguh lebih suka mendengar kicauan burung saat ini sebab kecamuk perang sangat mengganggu.

Itu dulu. Beberapa waktu lalu. Tepatnya beberapa tahun yang lalu manakala aku tengah duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu untuk terakhir kali sebelum damai berkumandang di daerah ini, aku ingat Ayah dengan langkah seribunya berjalan tanpa menjawab pertanyaanku. Esoknya baru kutahu bahwa semalam Ayah berhasil menangkap tujuh anggota pemberontak. Wajah Ayah siang itu tampak cerah kendati dalam kondisi lelah. Sebenarnya aku tak begitu paham terkait bentrok yang terjadi antara golongan Ayah dan golongan pemberontak. Aku hanya tahu bahwa mereka selalu berselisih. Berbeda dengan saat ini. Aku di usia dewasa ini. Semuanya terpaksa terungkap. Ya. Terungkap dengan sendirinya. Terungkap oleh keadaan.

Iklan Souvenir DETaK

Dan saat ini. Aku sungguh mengerti. Ternyata keindahan yang telah kualami selama beberapa bulan ini harus berhenti. Mimpi telah berakhir. Dan aku terpaksa bangun, bangkit dari pembaringan ini. Ya. Aku pun akhirnya bangun dan.. ”Khadijah, bangun!” Kukira ini panggilannya setelah beberapa panggilan sebelumnya. Ah, Ibu! Maafkan aku. ”Hoamm! Ehm!” Ibu lantas seperti biasa menarik selimutku. Seperti biasa bila aku terlambat bangun. ”Khadijah, mengapa matamu bengkak? Menangis lagi?” Tuduhnya padaku. ”Hmm. Mungkin Bu. Dijah lupa. Entah menangis dalam nyata atau mimpi. Ah. Mungkin saja mimpi.” Ia tertegun sejenak. ”Hm. Yasudah. Bangunlah, subuh hampir habis.” Aku bergegas bangun meninggalkannya yang masih termangu. Berharap ia akan bercerita tentang ini pada Ayah. Ya. Supaya Ayah tahu bahwa aku begitu menderita karena egonya.

 

***

Aku melihat awan menyebar di langit pucat Serambi Mekah. Aku terlalu lemah untuk mengakui langit itu cerah saat ini. Mungkin karena mataku yang telah memburam. Atau virus yang menggerogot hatiku telah menyebar hingga saraf otak. Dan akhirnya semua menjadi kacau. Au! Hahaha! Ahhhhh! Jeritan batin. Percuma. Tak ada labirin yang menangkap. Kecuali satu. Tuhan. ”Tidiiiitt!” Ponselku menjerit.

”Dijah, tolong angkat teleponku!” Kualihkan pandangan ke cermin mungil di jariku. Kudapati diriku tengah berharap mencintai seorang lelaki yang memujaku selama bertahun-tahun. Aku bimbang. Kenangan itu terlalu menyakitkan. Lidahnya kerap membuatku tersenyum, terkecuali hari ini. ”Kriiiing!” Ponsel itu berderit lagi. Kali ini kutolak. Lalu segera mematikan benda kecil itu. Berharap tak terusik lagi olehnya. Karena, aku selalu lemah bila sekali saja mendengar suaranya.

***

Senyumnya mengembang, lalu pupus oleh sekelebat suara yang membisik di telingaku. ”Aku ingin kau jujur sekarang. Apa yang terjadi?” Tanya Zulfan dengan sorot mata penuh.

”Aku bosan.”
”Bohong.”
”Terserah. Aku ingin kita berpisah. Mungkin hanya takdir yang dapat menyatukan kita lagi suatu saat. Mengertilah!”
”Tidak! Tak mudah aku medapatkanmu. Jadi, tak mudah pula aku melepasmu.”
”Oya? Yasudah kalau begitu. Terserah Kamu. Aku mau pulang.”
”Silahkan.”

Dan senja menjadi saksi perpisahan sepasang merpati. Sepasang merpati yang harus terpisah karena kematian salah satunya. Mati akibat ditembak oleh seorang purnawirawan. Ditembak tepat di hatinya. Au!

***

”Ayah ingin kau menjauhinya. Ayah membenci pemberontak. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mengerti?” Rangkaian kalimat yang menohok. Rangkaian kalimat yang serupa belati menancap di ulu hati. Bengis. Di satu sisi Ayahlah yang telah memberi segenap cintanya, hidupnya untukku. Anak satu-satunya. Namun, di sisi lain Zulfan. Lelaki yang dengan segenap keberaniannya mencintaiku. Memilihku sebagai penghuni hatinya. Kendati butuh banyak kendala. Kendati begitu sulit ia meluluhkan pertahananku. Dan kini, setelah aku jatuh di singgasananya, lalu merasa nyaman, bahkan “terlalu” hingga aku merasa berat untuk beranjak darinya, semua justru harus luluh lantah. Semua harus berakhir dengan keputusan yang harus kutelan sendiri. Seorang diri. Karena, meski Zulfan merasa hancur. Setidaknya tak seberapa dibanding diriku yang harus mati-matian menjaga perasaan kedua orang yang kucintai dengan mengorbankan perasaan sendiri.

Zulfan memang pernah bercerita tentang satu rahasia besar hidupnya. Tentang Ayahnya yang dahulu ialah seorang pemberontak. Sempat mengalami penahanan. Miris. Salah satu dari perwira yang menangkap tak lain adalah Ayahku. Maka, tak heran jika kali pertama Ayah dan Zulfan bersua menjadi kali terakhir pula. Mungkin semua telah terencana oleh-Nya. Namun, siapa yang dapat menerima kenyataan pahit terkait hati dalam tempo yang begitu singkat dan mendadak? Hanya waktu yang dapat menjawab. Benarkah? Entahlah. Lihat saja nanti. Aku hanya ingin menangis tiap malam. Dan berharap Zulfan berhenti mempertanyakan. Karena, selamanya aku tak mampu menjawab.

***

Pagi kembali. Kulihat Ayah begitu cekatan dari biasa. Serupa beberapa tahun silam, Ayah dengan langkah seribunya berjalan tanpa menjawab pertanyaanku. Aku tahu ia telah setahun menjadi purnawirawan. Aku tahu pula bahwa hal itu hanya sedikit mengurangi kelincahannya. ”Ayah mau pergi kemana Bu?” Bisikku. Ibu hanya menggeleng. Aku mendesah. Dan petangnya kutangkap aura lelah di wajahnya. Ah, tidak. Aku tak tahu bagaimana cara melukiskan kondisinya. Mungkin lebih dari itu. Namun, aku dan Ibu tak berani bertanya. Sepatah pun.

”Tidiiiiit” Satu sms masuk. Segera kubaca. Berharap itu Zulfan. Maklum. Sesekali rindu ini kerap mendera, tapi gengsi untuk mengadu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Benarlah ini SMS darinya. Tapi, tunggu! SMS-nya membuyarkan gejolak hati.

”Assalamu’alaikum. Aku sudah tahu semuanya. Pagi tadi aku menemui ayahmu. Ah! Mengapa kau tak katakan langsung padaku. Ini sungguh lebih mengecewakan. Tapi, yasudahlah! Aku takkan berhenti. Karena, jodoh bukan di tanganku, Kau, atau ayahmu. Tapi, di tangan Tuhan. Mungkin ayahmu membenci pemberontak. Tapi, ayahku bukan pemberontak Tuhan. Ia hanya membenci penghianat. Bagiku ia pahlawan. Ayahmu terlalu skeptis melihat semua itu. Tapi, aku maklum. Jangan takut. Aku masih dan akan selalu mencintaimu, sayang. Assalamu’alaikum.”

Jilbabku tidak terlalu tebal dan panjang, tapi terasa berat seketika. Perutku mual. Aku ingin pingsan, namun kenyataannya tidak. Dalam pada itu aku hanya dapat terduduk lemas. Masih tak percaya terhadap kenyataan yang baru saja terjadi.

***

Senja kala. Samar-samar kucium aroma kopi. Kopi. Ah, pada akhirnya aku dan Zulfan dapat saling bicara namun tanpa kata. Kami tetap dapat merindu tanpa batas waktu. Dan, itu terus terjadi. Hingga pada suatu petang. ”Dorrrr!” Sebuah tembakan terdengar keras dari arah yang tak sempat kutangkap. Kegelapan seketika mengikutiku seperti sebuah bayangan. Sebuah bunyi terdengar lagi. Ibu berteriak. Aku melompat dari tempat dudukku dan berlari menuju sumber suara. Rasanya air mataku tak mau mampat ketika aku terisak dan memeluk Ayah. Kudekap tubuhnya yang ringkih. Dengan suara serak aku menuntunnya mengucap tahlil. ”Laa ilaa ha illallaaah.” Ia menutup mata di pangkuanku. Saat itu Ibu terlambat menyusulku.

***

Dan bulan-bulan pun berganti. Suatu senja temaram, ketika aku hening menatap ke luar jendela, kutangkap langit keemasan. Awan membentuk berbagai pola. Dan salah satunya Zulfan. Zulfan yang kucintai, Zulfan yang kubenci.

Ulee Kareng, 2012, Cut Atthahirah, mahasiswa Gemasastrin, alumnus SMAN 1 Langsa