Beranda Cerpen Aku Masih dalam Perjalanan

Aku Masih dalam Perjalanan

BERBAGI
Ilustrasi. (Yaumil Farah Alyssa/DETaK)

Cerpen | DETaK

Perjalanan pulang menuju kampung halaman adalah hal yang dirindukan semua orang. Alhamdulillah, kali ini aku bisa pulang, lebih tepatnya aku memilih pulang melakukan mudik Lebaran seperti halnya banyak orang. Tentu saja menuju kota tercintaku yang cukup jauh jaraknya dengan tempatku menimba ilmu. Setidaknya membutuhkan waktu 12 jam.

Oh iya, Aku lupa. Namaku Keusuma. Aku sekarang merupakan seorang mahasiswi yang masih menempuh pendidikan semester 6 di salah satu perguruan tinggi yang ada di ibu kota provinsi. Aku mengambil Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga yang berfokus di Bidang Tata Boga. Iya, kalian pasti bisa menebaknya, aku sangat suka memasak. Memasak adalah segalanya bagiku. Saat penat dengan hiruk pikuk dunia, saat sedih dan ingin menangis, saat senang, bahkan saat aku memiliki banyak tekanan, memasak jadi solusi yang terbaik bagiku.

Iklan Souvenir DETaK

Selain menjadi mahasiswa, aku juga melakukan pekerjaan paruh waktu di sebuah restoran ternama di dekat kampus sebagai koki masak. Awalnya, pemilik restoran menyampaikan bahwa restoran akan tetap dibuka selama Lebaran seperti biasa. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak pulang. Kalian pasti sedang mengira bahwa aku berasal dari keluarga yang cukup sederhana, bukan? Nyatanya, aku adalah anak tunggal dari keluarga dengan ekonomi kelas atas.

Orang tuaku selalu sibuk bekerja. Bahkan, selama aku berkuliah, selalu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal saat Lebaran. Kali ini juga sama, kemarin malam, mama menelpon, katanya lebaran kali ini mereka juga tidak bisa pulang dan baru bisa pulang di hari Lebaran keempat. Kesalku, aku pun menyampaikan hal yang sama, aku juga tidak pulang karena restoran tempatku bekerja tetap buka selama Lebaran. Hal ini selalu terjadi selama 3 tahun belakangan, artinya, aku sudah selama itu juga tidak pulang ke rumah.

Hari meugang, seperti biasa, kami akan menyiapkan keperluan nanti malam ketika restoran dibuka. Belum juga kami memulainya, pemilik restoran tiba-tiba membuat pengumuman kecil bahwa restoran tidak dibuka sampai sebulan ke depan. Nenek mereka baru saja dikabarkan telah meninggal dunia dan mereka akan pulang ke negeri asalnya untuk beberapa waktu ke depan. Aku yang mendengarnya ikut berduka cita. Sekaligus sedikit kesal karena restoran tidak dibuka. Terpaksa, aku pun mulai bersiap-siap untuk pulang. Tentu saja, aku tidak perlu mengkhawatirkan ada atau tidaknya transportasi umum yang menuju ke kotaku. Aku punya mobil yang memiliki kemudi otomatis. Jadi meskipun harus menempuh 12 jam perjalanan sendiri tidak akan menjadi masalah yang besar buatku.

Sebenarnya bisa saja aku bertekad tidak pulang meskipun restoran tidak dibuka dan memilih berlebaran di kota sahabatku yang hanya berjarak 2 jam dari ibu kota provinsi. Tetapi, berita yang dikabarkan pemilik restoran membuatku teringat dengan nenek. Aku pun tiba-tiba menjadi sangat rindu dengan nenek.

Pukul 10.00 WIB tepat mobil yang aku kemudikan melaju sedang menuju jalan raya. Sepanjang perjalanan, jalan dipadati arus hilir mudik. Sampai akhirnya, jelang berbuka puasa dan melewati sebuah perkampungan, aku membaca spanduk di desa tersebut bertuliskan “Selamat datang di desa kami tercinta, hari ini kami mengadakan kenduri nasi kuning di meunasah, bagi siapa saja yang ingin berbuka puasa, kami sangat senang menyambutnya”.

Tanpa pikir panjang, aku yang sudah sangat lama ingin makan nasi kuning langsung menuju meunasah desa tersebut. Luar biasa, setiap orang yang datang disambut dengan hangat seolah keluarga mereka yang baru bisa pulang setelah sekian lama. Aku merasa sudah menjadi keluarga mereka. Setelah berbuka puasa dan salat magrib berjamaah, gema takbiran pun dimulai. Terdengar sahutan takbiran dari toa mesjid, anak-anak kecil, bahkan ibu-ibu yang sedang beres-beres selepas kenduri juga ikut sahut-menyahut, tentu saja ibu-ibu ini tidak menggunakan toa. Anak-anak kecil berlarian di luasnya halaman meunasah, tidak ada terdengar bunyi petasan atau sekedar kembang api. Seolah semua hal yang berlalu di desa tersebut sangat aman dan sentosa, dipenuhi kemakmuran dan kebijaksanaan masyarakatnya.

Aku tidak pernah menyadari ada desa yang senyaman ini untuk ditinggali, sempat berpikir dan berdoa semoga kampung halamanku dan desa lainnya bisa sebaik desa yang sedang kusinggahi ini.

Kebijaksanaan masyarakatnya membuat aku semakin rindu dengan nenek yang juga sangat bijaksana. Takbiran masih bergema membahana di desa ini, dan aku masih dalam perjalanan menuju kampung halaman.

Lantas, aku melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, terdengar sahutan gema takbir. Kadang terdengar dari toa-toa mesjid, kadang juga terdengar dari suara takbiran orang-orang yang memenuhi jalan sambil membunyikan beduk atau membawa obor, kadang juga diselingi dengan bunyi petasan dan kembang api yang terlihat indah menghiasi ketinggian malam Lebaran, sementara aku masih dalam perjalanan.

Pukul 22.00 WIB harusnya aku sudah sampai di rumah, tapi karena tadi singgah terlalu lama ketika berbuka puasa, dan jalanan juga dipadati banyak orang, jadinya aku masih harus menempuh 2 jam perjalanan. Dari kejauhan terlihat ada minimarket yang sepertinya buka 24 jam. Tiba-tiba saja aku lapar dan aku pun singgah sebentar untuk membeli minuman dan roti kesukaanku. Tetapi anehnya, di tempat persinggahanku ini tidak ada gema takbiran yang terdengar sahut-menyahut. Sepertinya kasir minimarket tersebut bisa menangkap wajahku yang dipenuhi tanda tanya mengenai suara takbiran.

“Di sini tidak ada takbiran Lebaran, ada keluarga politisi non muslim yang besar pengaruhnya dan melarang takbiran melalui toa mesjid dan berkeliling kampung,”  jelasnya tiba-tiba.

Aku lantas lamat dengan penjelasan kasir tersebut. Takbiran merupakan hal yang sangat disemarakkan oleh setiap umat Muslim di seluruh dunia. Semua umat Islam dipenuhi dengan kegembiraan dan kegirangan saat melafazkan takbir di malam lebaran. Dan bahkan mempunyai pahala yang sangat besar bagi yang mau membacanya. Gema takbiran melalui toa menjadikan umat Islam lebih semangat dalam membaca takbir. Begitu juga, dengan berkeliling ramai-ramai juga menambah semangat dalam melantunkan takbir untuk memeriahkan malam Lebaran. Aku tiba-tiba menjadi sangat rindu dengan gema takbiran dari toa masjid di kotaku. Dan aku, masih juga dalam perjalanan.

Aku pun masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke kotaku. Belum juga aku melajukan mobil, handphone-ku berbunyi. Nenek menelpon.

“Nak, kata mamamu, kamu tidak pulang lagi Lebaran ini? Nenek kangen sama kamu, kamu pulang ya. Besok pagi, kamu siap-siap pulang ke sini ya, nenek tunggu di rumah. Pokoknya harus pulang, nenek gak mau dengar alasan kamu,” pinta nenek dari seberang telepon.

“Nenek, Keusuma kangen juga sama Nenek, Nenek jangan terkejut ya, dua jam lagi Keusuma bisa memeluk Nenek,” sampaiku pada nenek sambil tertawa.

Nenek yang mendengarnya ikut tertawa dan sembari terkejut mungkin saja.

Dua jam berlalu dan sekarang mobil menuju halaman rumah. Akhirnya aku sampai di rumahku.

Pukul 00.07 WIB, aku persis memasuki rumah, pintu tidak dikunci seperti biasanya. Juga tidak ada tanda-tanda nenek dan bibi ada di rumah. Aku pun menuju ruang keluarga dan menghidupkan lampu. Belum sempat aku menekan, tiba-tiba sudah ada yang terlebih dahulu menyalakan lampu. Dan wow, ini sangat luar biasa, kue ulang tahun, nenek dan semua keluarga besar ikut berkumpul menyambut kedatanganku. Senangnya, bahkan ayah dan mama berdiri tersenyum di samping nenek. Di dinding ruang keluarga sudah ada hiasan bertuliskan “Selamat hari Raya Idul Fitri dan Selamat ulang tahun putri kami tercinta, ‘Puteri Keusuma Meulati'”.

Aku menangis, meminta maaf kepada ayah dan mama, juga nenek dan memeluk mereka, juga menyalami semua saudaraku.

Malam itu, kami membaca takbir Lebaran bersama-sama. Gema takbiran terdengar dari rumah kami sampai menjelang subuh hari.[]

Penulis bernama Rinatul Mauzirah, mahasiswi Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Ia juga aktif sebagai anggota di UKM Pers DETaK.

Editor: Indah Latifa