Beranda Opini Sekolah Unggulan Garuda, Upaya Meningkatkan Pendidikan atau Bentuk Baru Diskriminasi?

Sekolah Unggulan Garuda, Upaya Meningkatkan Pendidikan atau Bentuk Baru Diskriminasi?

BERBAGI
Dua anak dengan kondisi berbeda, memperlihatkan adanya kesenjangan sosial antara keduanya. (Rizki Mauliza Yanti/DETaK)

Opini | DETaK

Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto dikabarkan akan melaksanakan program Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat pada awal tahun 2025. Program ini menjadi salah satu agenda besar di sektor pendidikan, di mana Sekolah Rakyat dijadwalkan mulai beroperasi pada Juli 2025, dengan proses pendaftaran siswa yang akan dimulai pada April 2025.

Namun, meskipun program ini bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi berbagai lapisan masyarakat, muncul banyak sekali kritik dari publik yang mempertanyakan keadilan dalam pelaksanaannya. Jika melihat visi dan tujuan yang diusung, kebijakan ini tampak menjanjikan. Namun, apakah Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat justru menjadi bentuk baru dari diskriminasi dalam sistem pendidikan Indonesia?

Iklan Souvenir DETaK

Ketimpangan Akses Pendidikan
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah perbedaan sistem pendidikan antara kedua sekolah tersebut. Sekolah Unggulan Garuda dirancang dengan standar internasional dan memberikan jalur istimewa bagi siswanya untuk melanjutkan studi ke luar negeri melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sementara itu, Sekolah Rakyat lebih difokuskan untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu, khususnya dari kategori desil 1 (keluarga miskin ekstrem yang tinggal di sekitar sekolah) dan desil 2 (keluarga miskin yang masuk dalam 11–20 persen populasi termiskin secara nasional).

Meskipun tujuan Sekolah Rakyat untuk memutus rantai kemiskinan terdengar mulia, tetapi, apakah semua anak Indonesia tidak seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas? Mengapa hanya mereka yang berada di Sekolah Unggulan Garuda yang mendapatkan fasilitas pendidikan terbaik, sementara mereka yang berasal dari keluarga miskin mendapatkan sistem pendidikan yang berbeda?

Mengulang Sejarah Pendidikan di Masa Kolonial?

Perbedaan sistem ini mengingatkan kita pada masa kolonial, di mana akses pendidikan ditentukan berdasarkan status sosial dan ekonomi. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat pribumi dibedakan berdasarkan kelas sosialnya—kaum bangsawan mendapat pendidikan lebih baik dibandingkan rakyat biasa, bahkan perempuan pribumi hanya bisa mengenyam pendidikan dasar.

Kini, dalam konteks yang berbeda, ketimpangan akses pendidikan ini tampak kembali terulang. Anak-anak dari keluarga berada akan lebih mudah mendapatkan pendidikan berkualitas dan kesempatan untuk belajar ke luar negeri, sementara anak-anak dari keluarga miskin tetap menghadapi keterbatasan dalam mengembangkan potensinya. Padahal, tidak sedikit anak dari keluarga kurang mampu yang memiliki bakat luar biasa, namun terhalang oleh faktor ekonomi.

Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia

Kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia bukanlah hal baru. Salah satu akademisi dan aktivis pendidikan, Guru Gembul, pernah mempertanyakan esensi pendidikan dalam sebuah podcast di kanal Suara Berkelas. Ia mengajukan pertanyaan reflektif: “Jika pendidikan itu untuk masyarakat, mengapa kurikulumnya ditentukan oleh pemerintah? Jika untuk pemerintah, mengapa masyarakat harus membayar?”

Pernyataan ini menyoroti bagaimana sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk mengembangkan minat dan bakat mereka. Banyak siswa yang dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai, sehingga kehilangan motivasi dalam belajar.

Selain itu, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh sebelum menjalankan program pendidikan baru. Sebelum membangun sekolah unggulan, tidakkah sebaiknya pemerataan pendidikan menjadi prioritas? Mengapa pemerintah tidak terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan dasar, seperti akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu atau ketimpangan fasilitas pendidikan di berbagai daerah?

Pendidikan Seharusnya Menyatukan, Bukan Membeda-bedakan

Salah satu tujuan utama negara, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Namun, kebijakan pendidikan yang bersifat selektif justru berpotensi menciptakan kesenjangan baru di masyarakat. Alih-alih memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak bangsa, sistem ini malah memperkuat stratifikasi sosial dalam dunia pendidikan.

Membangun sekolah dengan sistem yang berbeda untuk kelompok masyarakat yang berbeda dapat menimbulkan konflik sosial di masa depan. Padahal, di dalam pendidikan sendiri kita diajarkan untuk tidak mendiskriminasi, tetapi justru kebijakan ini tampaknya mengarah ke arah sebaliknya.

Seperti yang pernah diungkapkan dalam salah satu buku Tere Liye, “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar,” masyarakat seakan-akan diarahkan untuk tidak terlalu kritis terhadap sistem yang ada. Banyak anak Indonesia yang cerdas dan berpotensi, namun mereka terhalang oleh faktor ekonomi dan sistem pendidikan yang belum sepenuhnya inklusif.

Jika kita ingin memastikan bahwa sejarah diskriminasi pendidikan di masa lalu tidak terulang, maka pemerataan pendidikan harus menjadi fokus utama pemerintah. Bukankah di era modern ini seharusnya semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk meraih impian mereka? Jika tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa, mengapa harus ada perbedaan dalam akses dan fasilitasnya?

Penulis bernama Rizki Mauliza Yanti, Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Cut Irene Nabilah