Beranda Opini Nilai Bukan Sembarang Nilai

Nilai Bukan Sembarang Nilai

BERBAGI
Ilustrasi. (Nisa Makhufa/DETaK)

Opini | DETaK

Habis UAS terbitlah nilai. Nilai selalu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa, baik mahasiswa ambis yang mengharap nilainya semakin meningkat serta merasa  bahwa nilai adalah salah satu komponen penting dalam hidup, ataupun mahasiswa nonambis yang berdoa nilainya aman-aman saja bahkan beranggapan bahwa nilai hanya sekadar formalitas belaka. Polemik tentang nilai tidak akan pernah kunjung usai, kecuali jika tiba-tiba Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghapus sistem ini.

Selamat datang di negara yang huruf A, B, C, D, E, pun sangat mempengaruhi masa depan. Bohong jika bilang nilai tidak menjamin kesuksesan. Buktinya setiap lowongan pekerjaan selalu menyertakan syarat IPK minimal. Memang, orang pintar nomor satu. Eh, salah, orang dalam dulu. Orang pintar nomor dua, atau satu setengah, deh.

Iklan Souvenir DETaK

Hal ini mendorong para aset bangsa yang tengah mengeyam pendidikan di bangku perkuliahan menjadi was-was akan nilainya. Berbagai usaha dilakukan demi mendapatkan nilai yang bagus. Belajar, mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu, belajar lagi, aktif bertanya di kelas, belajar lagi, mengikuti ujian dengan sungguh-sungguh, tidak lupa stres dan depresi turut menyemarakkan siklus ini. Pikirkan pula mahasiswa kura-kura, kuliah rapat kuliah rapat alias mahasiswa yang aktif dalam organisasi, harus bisa membagi perhatiannya agar tidak ada yang cemburu. Apalagi mahasiswa yang mengambil kerja sampingan, mari doakan ia baik-baik saja.

Setelah semua ke­-hectic-an tersebut dapat dilalui, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri melihat nilai akademik memuaskan. Setidaknya selain kantung mata, ada hal lain yang bisa dipamerkan. Mengabarkan ke keluarga di rumah bahwa kita sanggup bertahan di perantauan. Tapi tidak perlu pamer ke teman-teman karena tentu ada yang tidak suka dengan keberhasilan kita.

Namun lain ceritanya jika yang kita dapatkan justru sangat berbeda dengan ekspetasi. Nilai yang keluar bukan nilai yang digadang-gadang. Jika sudah begini, mau bagaimana pun bingung. Semakin begini semakin begitu, semakin ke sini semakin ke sana.

Sebenarnya jika keadaan ini terjadi, akan ada suatu masa yang disebut dengan masa sanggah. Di waktu ini, kita dapat menyanggah nilai yang diberikan oleh dosen pengampu terkait. Tentu dengan mempersiapkan segala bukti yang kuat seperti tugas-tugas ataupun pembuktian lainnya hingga mampu membuat dosen tersebut luluh dan tersentuh hatinya. Nilai pun dapat bertukar di tangan dosen, yang baik. Iya, terlupa satu fakta penting. Penyanggahan nilai hanya berlaku untuk dosen-dosen yang murah hatinya.

Dosen kamu terkenal killer, sudah umur lanjut, dan kamu tidak begitu dekat dengan beliau? Saran saya tidak perlu sibuk menyanggah karena yang ada nantinya hanya sakit hati serta dendam berkepanjangan yang penyebabnya adalah nilai rendah yang malah semakin diturunkan. Lebih baik belajar untuk mengulang di tahun berikutnya.

Tapi jika sedari awal nilai yang kita peroleh memang setara dengan usaha kita selama ini, kita tidak perlu ambil pusing. Jadi salah satu titik penting dalam masalah ini adalah permberian nilai oleh dosen pengampu mata kuliah.

Saya tidak katakan semua dosen berlaku tidak adil, tidak. Opini ini juga bukan hanya untuk kampus saya. Seluruh Indonesia. Lewat cerita teman-teman yang berasal dari universitas lain pula, saya tahu bahwa tipe dosen yang seperti dijelaskan di atas tidak hanya ada di kampus saya.

Jadi, surat terbuka untuk dosen-dosen kami: Lihat jerih payah mahasiswa. Bukankah sering terdengar pula kasus mahasiswa yang meninggal karena kesehatannya yang kian memburuk disebabkan oleh terlalu larut mengerjakan tugas, atau akibat tekanan batin karena nilai yang didapat tidak pantas, sudah sering dengar kasus demikian, ‘kan?

Jangan sampai peristiwa itu harus kejadian di kita. Kami masih ingin hidup sehat dan hanya mengharapkan nilai yang sebenar-benarnya nilai yang sesuai dengan usaha kami selama ini dapat dikeluarkan oleh Bapak Ibu dosen yang terhormat.

Ini semua kami lakukan demi senyum orang tua, demi sebuah tempat indah di bumi yang harus didatangi, demi beli baju tanpa lihat harganya, demi bisa traktir sahabat selama satu minggu, demi menciptakan ruang baca untuk anak-anak, demi gelar magister dan doktor yang diimpikan, demi kibarkan bendera Indonesia di mancanegara.

Tentu Bapak Ibu dosen senang melihat kami sukses, bukan? Atau seperti teman-teman yang tidak suka dengan keberhasilan kami?.

Penulis bernama Shahibah Alyani, mahasiswi Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota aktif UKM Pers DETaK.

Editor: Aisya Syahira