Beranda Opini Menilik Kebijakan Penanganan Covid-19 di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Aksiologi

Menilik Kebijakan Penanganan Covid-19 di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Aksiologi

BERBAGI
(Dok. Pribadi)

Opini | DETaK

Akhir tahun 2019 lalu, dunia dikejutkan dengan kemunculan sebuah virus baru yang kemudian menjadi pandemi global saat ini. Virus Corona atau yang lebih dikenal dengan Covid-19 merupakan sebuah virus baru yang menyerang pernapasan manusia dan tingkat penyebarannya yang begitu cepat. Sudah lebih dari 100 negara terkena virus ini dan lebih dari jutaan jiwa meninggal dunia akibat terjangkit virus ini. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak cukup parah akibat virus Covid-19 ini.

Di Indonesia sendiri, Covid-19 pertama kali terdeteksi pada awal Maret 2020 yang saat itu terdapat dua orang terjangkiti virus Covid-19. Seiring berkembangnya waktu, saat ini Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di dunia. Per 24 April 2021 Indonesia telah mencatat sekitar 1,63 juta kasus positif Covid-19 di Indonesia. Tingginya angka tersebut membuat pemerintah harus bisa mengambil keputusan serta kebijakan yang memiliki nilai atau manfaat dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Sejak kasus positif pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah kebijakan dalam hal pencegahan serta penanganan Covid-19. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan ragam kebijakan lainnya.

Iklan Souvenir DETaK

Ragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam pencegahan dan penangann Covid-19 tentunya mendapat respon yang beragam oleh semua pihak. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut sejatinya dapat dilihat dari sudut pandang Filsafat Aksiologis. Aksiologi merupakan salah satu dari tiga cabang filsafat umum yang membahas mengenai manfaat serta nilai sebuah ilmu pengetahuan. Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “axios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Dari arti tersebut, aksiologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai atau dengan kata lain diartikan sebagai teori mengenai nilai.

Adanya kajian aksiologi kemudian membantu manusia dalam melihat segala sesuatu yang dilakukan dari segi manfaat atau nilainya, termasuk dalam hal kebijakan penanganan Covid-19 ini. Ketika melihat kebijakan penanganan Covid-19 dari dimensi aksiologi, berarti kita melihat apakah kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut memiliki manfaat atau nilai yang sekiranya berguna terhadap penanganan Covid-19. Dimensi aksiologis ini kemudian mengkaji sejauh mana “nilai” sebuah kebijakan yang dikeluarkan serta kebermanfaatan apa yang bisa diberikan dalam sebuah kebijakan tersebut. Selain itu, dimensi aksiologis ini juga menyangkut unsur etika dan estetika. Dimana kedua unsur tersebut dapat melihat apakah sebuah kebijakan telah dibuat secara rasional, beretika, serta memiliki sisi keindahan dalam implementasinya.

Ragam kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah pasti memiliki dampak baik maupun buruknya. Di satu sisi banyak pihak yang merasa senang dan mendukung kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, disisi lain terdapat sejumlah pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka penanganan Covid-19 ini. Salah satu kebijakan yang dapat kita lihat adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan utama yang diberlakukan oleh Pemerintah terkait penanganan Covid-19.

Ditinjau dari dimensi aksiologis, secara umum kebijakan PSBB ini memiliki manfaat atau “nilai” yang berguna dalam penanganan Covid-19. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19 dengan membatasi beberapa kegiatan yang memiliki potensi penularan tinggi. Namun, manfaat yang diberikan dari penerapan PSBB ini dinilai belum terasa secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya penerapan PSBB dalam menurunkan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia. Penerapan PSBB jika dilihat dari dimensi aksiologi, belum mencapai “nilai” yang diinginkan atau dalam kata lain tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Awalnya kebijakan PSBB dipilih dalam rangka untuk dapat mencegah penyebaran Covid-19 serta sekaligus dapat menolong ekonomi Indonesia yang sedang jatuh. Namun, dalam implementasinya dua nilai tersebut tidak dapat dicapai secara maksimal.

Selain hal tersebut, penerapan PSBB dinilai juga tidak mengamalkan sifat-sifat filsafat secara menyeluruh. Sebagai contoh, seringkali peraturan-peraturan pembatasan dalam PSBB dijalankan dengan tidak konsisten. Terdapat sejumlah kerumunan yang ditindak dan disisi lain juga terdapat sejumlah kerumunan yang dibiarkan begitu saja. Padahal, dalam filsafat mencintai kebijaksanaan adalah hal utama yang perlu dicapai. Pemerintah dinilai belum bijaksana dalam mengimplementasikan penerapan PSBB ini, terutama terkait implementasi sanksi peraturannya.

Selain itu, ketika berbicara mengenai aksiologi kembali, ada kajian etika dan estetika yang menjadi bagian dari aksologi. Dari sisi etika, penerapan PSBB masih didapati sejumlah permasalahan, salah satunya ialah mengenai inkonsistensi pemerintah dalam menindak pelaku kerumunan seperti yang dijelaskan tadi. Sedangkan dari segi estetika, dapat dilihat dari bagaimana kesatuan koordinasi yang terjadi antara seluruh stakeholder terkait penanganan Covid-19 ini. Pada awal penanganan Covid-19 di Indonesia, seringkali terjadi tumpang tindih kebijakan antar pihak terkait. Dimana terdapat ragam tindakan serta ucapan pemangku kebijakan yang tidak sinkron satu sama lainnya. Pada saat itu pula, sering terjadi pula mis-komunikasi serta mis-koordinasi antar pihak, terutama antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun, lama kelaman hal tersebut dapat diperbaiki oleh keduanya dengan harapan agar tak terjadi lagi ketimpangan koordinasi dalam penanganan Covid-19 ini.

Selain kebijakan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), juga terdapat sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan Covid-19 ini, salah satunya ialah kebijakan pelarangan mudik. Kebijakan ini jika ditinjau dari dimensi aksiologi tentu memiliki manfaat dalam hal pencegahan penyebaran Covid-19. Dimana pada hari-hari libur panjang, penyebaran Covid-19 dikatakan cenderung naik secara massif. Oleh karena itu, pemerintah belajar dari pengalaman kebijakan mudik pada tahun lalu yang dikatakan dapat menekan laju penyebaran Covid-19 pada libur panjang. Namun, kebijakan larangan mudik pada tahun ini diprediksi tidak mampu mencapai “nilai” yang diharapkan secara maksimal. Banyak pihak yang kemudian menyoroti dan menentang kebijakan larangan mudik pda tahun 2021 ini.

Hal tersebut terjadi karena tidak sinkronnya antara kebijakan larangan mudik dengan beberapa kebijakan lain, seperti pembukaan wisata serta Pemerintah Indonesia yang sangat “welcome” terhadap warga negara asing. Ketika satu kebijakan tidak didukung oleh kebijakan lainnya, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut tidak berjalan secara maksimal. Manfaat atau “nilai” yang terdapat pada kebijakan larangan mudik ini kemudian dinilai menjadi sia-sia akibat adanya kebijakan lain yang tidak mendukung. Esensi kebijakan ini kemudian dinilai hilang begitu saja dan tidak memiliki kebermanfaatan yang pasti jika ditinjau dari sisi aksiologinya. Selain itu, ragam kebijakan yang kontradiktif tadi juga menandakan pemerintah tidak mengamalkan sifat “estetika” dalam filsafat, dimana tidak terjadinya koordinasi kebijakan yang terintegrasi secara baik.

Ragam kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia tentunya memiliki niat yang baik dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Berbagai kebijakan yang telah disebutkan diatas sejatinya memiliki “nilai” nya masing-masing, baik itu positif maupun negatif. Melihat kebijakan dari sisi filsafat aksiologi berarti kita melihat manfaat serta nilai yang terkandung dalam sebuah kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik memiliki manfaat dan nilai yang baik pula, sedangkan kebijakan yang buruk mengandung manfaat atau nilai yang dapat merugikan banyak pihak.

Melihat sebuah kebijakan memang sangat diperlukan dari sisi aksiologisnya. Di mana dengan melihat sisi aksiologis dari sebuah kebijakan, kita dapat melihat apakah kebijakan yang dibuat mengandung nilai yang positif atau negatif. Selain itu, dengan mengikutsertakan dimensi aksiologi dalam melihat sebuah kebijakan, akan memberikan manfaat bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan lain di masa mendatang. Kedepan, pemerintah dapat belajar dari pengalaman dengan melihat kebijakan harus disertai manfaat serta “nilai” yang dianggap baik oleh seluruh pihak, termasuk masyarakat yang secara langsung merasakan dampaknya.[]

Penulis bernama Alfi Risky Rahmanda, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Syiah Kuala.

Editor: Cut Siti Raihan