Opini | DETaK
Politik kampus merupakan salah satu lahan pembelajaran dan pengamalan Tri Darma Perguruan Tinggi, dalam praktiknya politik yang dilakoni mahasiswa tidak terlepas dari sebuah sifat manusia yang bernama “Ku’eh”. Dalam bahasa Aceh Ku’eh ini merupakan suatu ungkapan dalam bahasa Aceh yang berkonotasi negatif dan menjurus kepada gambaran akhlak tercela. Ku’eh diamaknai sebagai sifat dengki, iri, khianat, tamak. Dalam hal ini Ku’eh merupakan tabiat bagi mahasiswa dalam berpolitik.
Frasa Ku’eh adalah tamsilan dalam bahasa Aceh yang ditujukan kepada orang yang dengki atau iri terhadap kesuksesan orang lain. Sifat Ku’eh bukan hal baru yang ‘mengidap’ pada manusia. Penyakit batin ini sering muncul tatkala ada kesuksesan atau kemajuan yang berhasil dicapai oleh seseorang. Baik itu berupa ide, gagasan, pendapatan ekonomi, karier, pendidikan, bahkan termasuk hal kecil, seperti penampilan yang memikat.
Ku’eh itu penyakit batin yang ada di hampir setiap manusia, secara sederhana Ku’eh digambarkan dengan kalimat “susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah”. Sungguh ini menjadi sifat yang akan membahayakan diri sendiri dan bagi orang lain, Karena dia selalu berharap agar orang lain tidak merasakan kenikmatan atau kebahagian bahkan dia selalu berharap nikmat orang lain itu dicabut darinya. Dalam hal ini penulis tidak menggunakan metafora untuk menggambarkan sesuatu apa yang cocok disandingkan dengan mahasiswa.
Mahasiswa tidak bisa terlepas dari semua belenggu itu, dalam perpolitikan kampus, baik itu dalam merebut sebuah jabatan atau berkompetisi dalam bidang akademik. Orang yang berperilaku Ku’eh sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat karena dia selalu membuat resah dan gelisah orang lain yang tidak disenanginya. Sehingga, dalam pikirannya selalu muncul ide-ide negatif untuk membuat orang lain sengsara atau celaka.
Jika melihat fenomena tentang salah satu sifat hipokritnya mahasiswa di atas, politik sangat jauh dari kata kemanusiaan yang beradab. Kita melihat dimana manusia memakan saudaranya sendiri. Padahal politik itu adalah alat untuk mengabdi kepada manusia, bukan malah menghamba pada kekuasaan. Aristoteles dalam kesehariannya menyebutkan “Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana”. Namun apa lacur, kita semua jauh dari semua itu.
Mahasiswa dan kekuaasan memang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam kehidupan perpolitikan kampus. Kekuasaan itu adalah Anugerah, karena kita masih diberi waktu dan kesempatan untuk berkarya dan melayani orang lain. Kekuasaan itu sebuah anugerah jika kekuasaan itu berjalan seiring dengan kebaikan dan keberpihakan kita kepada mahasiswa dan masyarakat serta dengan berkeadilan. Abraham Linchon (1809-1865) Mantan Presiden Ke-16 Amerika Serikat melihat kekuasaan itu sebagai suatu medium untuk menguji watak seseorang. Beliau berpendapat bahwa hampir semua orang bisa kuat dalam penderitaan. Namun jika untuk menguji watak seseorang itu berilah dia sebuah kekuasaan.
Dalam menguji watak mahasiswa maka dapat dibuktikan dengan tindakan yang dilakukan dalam perpolitikan kampus, manifestasi dirinya akan terlihat langsung bahkan sebelum kekuasaan itu diberikan. Dunia perpolitikan diibaratkan seperti “ring latihan” menuju ke dunia perpolitikan yang sesungguhnya, dunia kampus hanyalah tempat belajar sebelum melangkah lebih jauh. Oleh karena itu dalam tindakannya, mahasiswa dituntut untuk berpolitik secara santun
Muncul sebuah pertanyaan “Adakah Politik Santun dan Beretika?”, kelihatannya mahasiswa terlalu sulit menjawab pertanyaan ini. Para politisi mahasiswa biasanya siap melakukan kompromi politik apa saja, dengan siapa pun, dan melalui langkah apa pun, tak peduli apa pun hingga akhirnya harus mengorbankan nilai-nilai agama, etika dan nilai-nilai dasar mahasiswa”.
Kembali lagi kepada sikap Ku’eh yang sudah mendarah daging dalam tubuh perpolitikan mahasiswa, badai kekuasaan cenderung senantiasa membalut semua hal itu. Perilaku Ku’eh atau meuKu’eh biasanya muncul dari orang-orang yang jahil atau bodoh yang punya kepentingan tertentu untuk diri sendiri seperti tamak yang berlebihan dengan tujuan menghancurkan orang lain sembari menutup kebodohannya sendiri.
Sikap Ku’eh bermuara pada ketidakdewasaan dalam melakukan komunikasi politik, dan berimplikasi pada buruknya citra politik mahasiswa, serta terus menggemborkan narasi negatif dalam setiap tindakannya, dan ini pun seakan mengaburkan nilai esensial dalam politik. Karena sejatinya esensi politik adalah bagaimana mengelola seni keserbamungkinan dalam menyikapi realitas kehidupan menuju ke arah yang lebih baik.
Perpolitikan mahasiswa haruslah menganut konsep ideal, pertama kita akan mengetahui apa itu arti politik, politik yaitu suatu cara yang dibangun demi tercapainya suatu tujuan atau cita. Aristoteles dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata “politik” dan beliau menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik. Aristoteles memandang politik sebagai kecenderungan dalam kehidupan manusia dan itu tidak dapat dipisahkan dari diri seorang manusia.
Namun, dewasa ini seiring hancurnya budaya politik yang ideal, banyak orang memahami bahwa politik itu hanya sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Padahal pengertian politik tidak hanya sebatas dan sesempit itu. Mahasiswa yang semacam inilah yang membuat politik tidak ideal. Contohnya dalam praktik politik, acap disalahgunakan oleh elite politik mahasiswa sehingga tujuan dari politik menjadi tidak jelas, dan jauh dari cita yang diharapkan. Politik yang sebenarnya dirancang untuk melahirkan kemaslahatan bersama malah menjadi bias. Maka pada titik inilah makna politik menjadi berubah.
Selanjutnya, dalam memutuskan mata rantai Ku’eh-isme ini tentulah harus dilakukan upaya revitalisasi sifat mahasiswa yang senantiasa menjunjung tinggi konsep integritas. Perubahan dimulai dari tindakan sekecil apapun yang bernuansa positif. Kata-kata “memanusiakan manusia” kerap ditujukan kepada pemerintah dalam melayani rakyatnya. Artinya, pelayanan publik yang memanusiakan harus dirasakan oleh masyarakat. Konsep “memanusiakan manusia” bukan hanya terbatas di bidang pelayanan tetapi juga menyentuh seluruh dimensi kehidupan.
Anti-tesis Ku’ehisme yaitu konsep memanusiakan manusia. Politik harus dipandang sebagai jalan tol terbaik dalam memanusiakan manusia, untuk itu maka perlunya integritas dan moralitas dalam berpolitik. Gus Dur, Mahatma Gandhi, Nelson Mandel merupakan contoh figur yang berhasil memadukan dua kutub yang bersebrangan, yaitu politik dan kemanusiaan. Mahasiswa yang dianggap kaum terpelajar yang bisa memimpin tentunya harus belajar banyak dari tokoh tersebut.
Ruang politik dipandang sebagai ruang yang besar untuk bersama-sama membangun nilai dan makna kehidupan dan yang terpenting untuk mencapai tujuan besar nan mulia. Idealisme, Iman, Keyakinan, Kemanusiaan dan Ketuhanan akan diuji saat kita sedang dalam kekuasaan. Oleh karena konsep politik santun dan memanusiakan manusia merupakah keniscayaan apabila mahasiswa itu sendiri masih memiliki moralitas yang tinggi, dan pada akhirnya “Ku’ehisme adalah kehinaan terakhir yang dimiliki mahasiswa”.[]
Penulis bernama T. Muhammad Shandoya, Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Syiah Kuala.
Editor: Cut Siti Raihan