Beranda Opini Jalur Orang Dalam: Privilege, Nih!

Jalur Orang Dalam: Privilege, Nih!

BERBAGI
Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Opini | DETaK

Masa Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan masa yang paling indah. Sebuah kutipan yang rutin disombongkan oleh remaja berpakaian putih abu-abu yang sedang dilanda cinta monyet. Begitu bangganya akan pendidikan yang sudah mereka enyam, hampir 12 tahun, tidak sadar bahwa “masa yang paling indah” akan lenyap sebentar lagi. Tidak apa-apa, bukan-kah lebih baik dinikmati dulu masa yang ada? Karena jujur saja, sekarang masa tersebut adalah masa yang sangat dirindukan.

Setelah “masa yang paling indah” turut hadir masa yang harus diindahkan, yaitu seleksi menuju jenjang selanjutnya atau yang dikenal dengan tes memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN), bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke perkuliahan tentunya. Untuk yang tidak berminat, tidak perlu memikirkan “masa yang harus diindahkan” ini, cukup sampai “masa yang paling indah” dan ia boleh mengeksplorasi kehidupan dengan berbagai macam rasanya. Tidak ada jaminan pula mereka yang berkuliah lebih sukses dari yang tidak, sehingga memang diberikan kebebasan dalam menentukan pilihan jalan selanjutnya. Hanya orang tua yang gemar memaksa, atau sang anak yang sukar diatur?

Iklan Souvenir DETaK

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak jauh bedanya, hanya soal kebesaran nama. Karena yang dapat dibanggakan serta dipamerkan kepada tetangga adalah PTN, maka pembahasan akan fokus pada tes memasuki PTN.

Tes masuk PTN sering kali menjelma sebagai momok bagi para calon mahasiswa. Dengan berbagai perkembangan sistemnya pula pada beberapa tahun belakangan, menjadikan rumitnya praktik tes ini sulit dipahami oleh kaum awam. Apalagi dengan seabrek perubahan namanya. Untung saja bukan manusia, kalau tidak sudah dituduh sakit karena keberatan nama.

Mulai dari SKALU (1979), Sipenmaru (1983), UMPTN (1989), SPMB (2002), SNMPTN (2008), SBMPTN (2013), UTBK (2019), sampai sudah SNBT (2023), calon mahasiswa dijadikan kelinci percobaan. Entah apa yang dicari hingga kerap dilakukan perubahan baik pada nama maupun sistemnya. Lebih baik fokus pada metode pembelajaran di negeri tercinta ini, apakah sudah efektif atau belum.

Bahkan beberapa anak harus menjelaskan secara terperinci dahulu kepada orang tuanya agar diberi izin untuk mencoba tes masuk PTN. Ya, beberapa pihak memang harus minta izin untuk dapat mengikuti tes ini. Jika tidak, maka kemungkinan untuk tidak lulus akan lebih besar. Percaya atau tidak, tapi hal ini berlaku di saya, pun saya yakin beberapa dari kalian pernah mengalaminya. Jangan sampai terulang lagi.

Apa yang dilakukan jika tidak lulus? Masih ada beberapa pilihan tersisa, menunggu tes di tahun berikutnya yang istilah kerennya adalah gap year, atau tetap mencoba melalui jalur tes mandiri yang notabenenya membutuhkan biaya yang lebih mahal. Persamaan kedua pilihan tersebut adalah sama-sama membutuhkan kesabaran karena ini semua hanyalah permainan dunia.

Meski terdapat satu pilihan lagi yang tidak disebutkan, yang tidak pernah disebutkan, atau yang sebenarnya semua orang juga tahu pilihan tersebut ada namun lebih memilih untuk tidak menyebutkannya. Adalah jalur “orang dalam”. Pilihan terakhir yang dapat menyelamatkan harapan.

Dengan memanfaatkan keberadaan “kenalan”, mudah saja untuk masuk ke PTN. Hubungi orangnya, keluarkan unek-unek, dan akan datang lampu hijau berkedip-kedip memberikan jalan memasuki kuliah dengan red carpet.

Sebenarnya jika dimanfaatkan dengan bijak, jalur ini cukup menguntungkan. Apalagi di zaman sekarang yang semuanya serba sulit hingga diberi pertanyaan “ada punya kenalan di sini?” maka hidupmu akan baik-baik saja. Sungguh, itu adalah salah satu alasan mengapa disarankan untuk memperluas relasi. Privilege ini, bro. Kenapa tidak boleh? Iri ya, karena tidak punya kenalan?

Kurangnya, jalur orang dalam ini memberi kesan bahwa usaha yang dilakukan tampak culas, tidak menggunakan kemampuan aslinya. Masuk kampus bukan dari gerbang utama, tapi dari “jalan tikus”. Meskipun menggunakan red carpet, sayangnya red carpet yang digunakan “bernoda”. Jika dikorelasikan dengan fiqih, hukumnya bisa saja syubhat, yaitu tidak jelas antara halal dan haram. Namun masa bodoh dengan pandangan orang-orang, kadang segala cara harus dihalalkan demi tercapainya tujuan. Yang penting bisa berkuliah, dan sekali lagi, agar dapat pamer kepada tetangga.

Tidak dapat dipungkiri pula pada setiap PTN pasti ada jalur ini. Hanya kita semua pura-pura menutup mata, mendadak bisu dan tuli. Padahal sekali ketahuan, bukti-bukti dapat dikumpulkan, lalu laporkan. Namun sepertinya tidak perlu. Sudah bangsa ini yang menganut sistem nepotisme. Kembali lagi, laporan pun tidak akan diterima jika kamu tidak memiliki orang dalam.

Betul pula kebanyakan PTN memiliki jalur “orang dalam”. Acapnya, yang banyak dianggap benar. Mayoritas dijadikan acuan. Padahal ihwal itu salah. Dibenar-benarkan oleh khalayak, menjadi sesuatu yang lumrah.

Seberapa kuat penentangan akan jalur orang dalam, jalan ini tetap ada pada PTN tidak peduli bagaimana ceritanya. Ada pihak yang diuntungkan, ada yang dirugikan. Dunia juga selalu begitu. Harapan adanya tulisan ini ialah dapat mengubah pemikiran masyarakat untuk segera bertaubat. Dengan kuliah melalui jalan yang benar, maka ilmu yang diterima juga menjadi berkah. Gelar yang diperoleh tidak sia-sia. Pekerjaan yang didapat juga akan mendatangkan rezeki yang baik. Kecuali jika memang niatnya adalah pamer kepada tetangga, sudah salah sedari awal.

Penulis bernama Shahibah Alyani, mahasiswi Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota aktif UKM Pers DETaK.

Editor: Refly Nofril