Oleh Muarrief Rahmat
Sore itu di kala hari masih begitu terik. Ibu sudah bersiap-siap hendak pergi ke sawah. Saya masih saja asyik bersepeda ditemani kucing kesayangan bernama Pelangi. Bulunya berwarna putih di perutnya, bulu hitam melingkar indah di setiap keempat kakinya. Juga wajahnya ditutupi bulu hitam, hanya sedikit bulu putih di hidung dan mulutnya. Dia kucing yang cerdik. Hampir tiap malam tikus-tikus di rumah ditangkapnya, laiknya KPK menangkap para koruptor.
Namun kucing saya ini tidak perlu bekerja sama dengan kucing lain untuk menangkap tikus yang nakal, karena terlalu keseringan mencuri ikan asin di dapur Ibu. Walaupun umurnya sudah tidak remaja lagi, tapi si Pelangi tetap bersikap bagaikan masih remaja. Dia suka sekali bermain tali, atau berkejaran dengan saya. Namun, sayang si Pelangi sekarang telah mati. Terakhir kuketahui dia mati di lumbung padi milik Bibi saya. Kala itu dia sedang mencari tikus, namun terperangkap di dalam lumbung dan akhirnya tidak bisa keluar lagi. Dan akhirnya mati. Alhamdulillah kejadian ini tidak menimpa instansi hukum di negeri kita, mungkin ya. Selamat jalan Pelangi, kau akan menjadi kucing kebanggaan keluarga saya. Karena telah menjadi penegak hukum yang baik di rumah ini. Baik siang maupun malam, kau tetap bersiaga dan terjaga, walau matamu sedang melek.
Sepeda tua peninggalan Ayah telah dikendarai Ibu tanpa sepengetahuan saya. Mungkin Ibu diam-diam pergi tanpa mengajak saya. Ya, saya tahu ini hari begitu panasnya. Sekarang sedang musim kemarau. Kekeringan terjadi di irigasi kampung saya. Namun tak berimbas pada setiap sumur warga kampung. Sekarang sedang beramai-ramai orang ke sawah untuk menanam tanaman palawija. Tidak sedang menanam padi. Saya bergegas tidak mau ketinggalan mengejar Ibu, setelah sebelumnya shalat ashar dulu, tentunya.
Sepeda saya amat mini sesuai sekali dengan porsi tubuh saya. Sepeda ini sudah turun-temurun bagi keluarga kami. Warnya merah, sama dengan warna sepeda Ibu. Separuh perjalanan saya melihat ke samping kanan saya. Di bawah pohon beringin besar. Dimensi batangnya yang besar membutuhkan beberapa orang dewasa untuk dapat memegang lingkaran batangnya. Katanya di pohon tersebut dihuni oleh para makhluk gaib. Ah, ngeri rasanya kalau cerita ini!
Tepat di bawahnya berjejeran kuburan-kuburan yang sudah berumur lama juga ada yang baru, termasuk kuburan Ayah saya. Tepatnya di samping batang pohon beringin tersebut. Saya sedikit termenung melihat batu nisan Aya. Mengenang masa-masa bersama beliau walaupun hanya sebentar, sebelum kembali pada Sang Ilahi. Selanjutnya saya dayung kembali sepeda keren ini. Menembus setiap jalan yang berjejeran pohon rumbia, ada yang besar ada juga yang sudah siap untuk ditebang. Dan dijual. Isi batang pohon rumbia ini dijadikan tepung untuk membuat timphan (makanan khas orang Aceh), atau juga berbagai macam penganan lainnya. Di kampung sebelah ini memang terkenal dengan pohon rumbianya dan juga areal persawahan yang terhampar luas. Saya telah sampai di sawah. Menggunakan baju kemeja lengan pendek dengan celana pendek juga. “Hehehe, tidak apa-apa ya ‘kan masih anak-anak. Kalau sudah dewasa ya tak boleh lagi.”
Di sawah sudah ada Ibu dan Bibi. Mereka tersenyum manis melihat kedatangan saya. Keduanya sedang asyik menanam kacang hijau bersama-sama. Kebetulan sawahnya berdekatan, jadi dapat saling bantu-membantu. Di sawah ini kebanyakan masyarakatnya semua menanam kacang hijau. Hanya sedikit yang menanam mentimun, semangka, juga beberapa petak ditanami jagung dan kedelai.
“Ooo… sudak datang anak saya rupanya,” sapa Ibu.
“Ya Bu, di rumah sendiri, nggak enak, ke sawah ‘kan bisa bantu Ibu sambilan menangkap belalang dan capung, boleh ‘kan?”
“Boleh, boleh.”
Biasanya kalau sedang musim menanam padi, saya tidak ketinggalan membawa pancingan. Namun sekarang irigasinya sedang kering jadi tidak ada ikan. Pegangannya saya buat dari batang pohon rumbia yang masih kecil. Cukup tahanlah untuk jenis ikan-ikan di sawah. Namun bila hal ini diketahui oleh Ibu, bisa dimarahi. Katanya saya hanya menghabiskan waktu saja untuk berleha-leha. Sebab ikan yang saya dapat itu tidak saya makan. Dan biasanya ikan hasil tangkapan saya kasih buat teman atau kadang-kadang saya bawa pulang ke rumah Bibi. Memang ya hanya capek saja yang kita dapat, tapi kita sudah melatih diri kita untuk bersikap sabar. Ibu tidak melihat sisi ini.
Sudah beberapa lubang saya isi dengan biji kacang hijau. Setiap lobang diisi tiga biji atau juga empat biji, begitu kata Ibu.
“Satu, dua, tiga, empat,” saya menghitung takutnya kelebihan atau kekurangan. Ibu hanya tersenyum.
“Hmm… sudah pandai yang anak bungsu Ibu,” saya hanya tersenyum sumringah, dapat pujian dari Ibu, membatin.
Lima baris sudah saya tanam biji kacang hijau. Namun itu belum cukup. Setelah ditanam semuanya, nanti baru ditutupi dengan tanah atau boleh juga dengan jerami yang sebelumnya telah dibakar hingga hangus. Dari kejauhan seolah-olah terdengar seperti ada orang yang sedang memukul bedug. Tapi tak mungkin. Karena suaranya begitu memekik. Dan ternyata itu adalah suara letupan senjata. Dari suaranya dapat dipastikan menggunakan senjata laras panjang. Bisa jadi AK-47 atau M-16.
Saya, Ibu dan Bibi hanya mampu menunduk di jerami-jerami bekas padi yan sudah dipanen. Suara letupan pelurunya semakin menjadi-jadi dan hampir mendekati saja. Saya sudah ketakutan. Tapi tak sampai kencing di celana. Memang sekarang sedang gencarnya konflik di daerah ini. Tak siang juga malam, suara pekikan peluru bagai tak henti-hentinya menyerang telinga ini. Ibu hanya bisa berdoa.
“Ya Allah jadikanlah hasil tanaman kacang hijau ini sebanyak peluru-peluru yang keluar dan bersuara tadi yang keluar dari inangnya, berikanlah hasil yang melimpah dan berkah bagi kami.”
Doa Ibu penuh harap. Saya terkagum-kagum. Mudah-mudahan saja doa Ibu dikabulkan. Saya memang tergolong sangat penakut dengan namanya suara letupan senjata. Pernah saya sekeluarga terpaksa tidur di lantai dapur beralas tikar pandan. Padahal suara letupan senjata tersebut jaraknya terlampau jauh dari rumah saya. Bisa kita katakan tidak akan mungkin sampai ke kampung saya.
Setelah suara letupan peluru telah mulai reda. Dan orang-orang mulai beraktivitas kembali. Walau tak banyak yang sudah pulang, karena saking takutnya. Saya melihat beberapa gerombolan orang-orang dengan memegang senjata pergi ke arah utara. Mungkin mereka baru saja baku tembak tadi. Senjata yang digunakan lumayan berkualitas. Semisal AK-47 atau sejenisnya. Saya hanya sepintas melihat mereka, dan kemudian mereka hilang jejak menuju arah entah-berantah.
“Ayo kita pulang,” kata Ibu sambil menanam bijii kacang hijau yang terakhir di hari itu. Padahal masih banyak yang belum ditanami. Besok sore dilanjutkan lagi. Karena kalau paginya tidak bisa berhubung hari Jumat. Jadi segala aktivitas di sawah dihentikan sementara. Itu sudah menjadi perturan di desa kami.
***
Beberapa bulan berselang, panen perdana kacang hijau yang kami tanam telah siap untuk dipanen. Kacang hijau dapat dipanen sampai tiga kali bila kualitasnya masih bagus. Berbeda dengan kacang kedelai yang langsung dibabat habis batangnya ketika dipanen. Dan sesuai doa Ibu, panen kacang hijau kami begitu banyak. Sebanyak peluru yang keluar dari selonsong senjata ketika kontak senjata beberapa waktu yang lalu.
Bijinya besar-besar dan berisi. Teman-teman Ibu pun meminta untuk dijadikan benih untuk ditanam musim depan, dan Ibu juga tidak lupa menyisakan untuk kami. Selebihnya kami konsumsi sendiri dan dibagikan kepada tetangga. Juga ada yang dijual ke pasar. Harganya lumayan tinggi kala itu. Cukuplah untuk kebutuhan kami sehari-hari dan juga uang keperluan saya untuk bersekolah.
Ibu tak akan segan dalam mencari nafkah. Asalkan halal. Setiap Ibu tidak akan memberikan sesuatu yang buruk bagi anaknya, beliau akan selalu memberikan setiap ketulusan dan kemurnian dalam hidup anaknya. Walau terkadang anak sering lupa akan kebaikannya. “Meuri-ri manoek karom boh kleung, meuri-ri ureung ek balah guna Ma (Hanya ayam-ayam tertentu yang mampu mengerami telur elang, hanya orang-orang tertentu yang mampu membalas budi Ibu).” Begitulah kata pepatah. Tapi, saya yakin kalau kita mampu untuk membalas kebaikan kepada Ibu juga Ayah. Walau masih dalam tahapan sederhana. Tapi, kita punya motivasi untuk membanggakan Ibu kita. Semoga…
***
Tepukan di bahu mengagetkan saya dari lamunan siang itu. Ternyata kawan saya. Untung tidak saya libas dia. Aha.. cuma bercanda saja. Sebelumnya saya terlampau lelah dengan aktivitas di kampus, terlebih saya dipercayakan menjadi komisaris letting (komting) oleh teman-teman, jadinya termenung sampai terbawa kenangan saya ketika masih imu-imut dulu, ketika masih di kampung. Bermain petak umpet, memancing dan bertani bersama Ibu.
Lantas saya ke kasir bersama teman membayar secangkir cappucino dingin pesanan tadi dan beberapa potongan kue. Kemudian masuk kuliah lagi. Kampus tercinta di Universitas Sekitar Kita. Ibu, kau akan selalu terkenang di hati ini. Walau saya tak pernah Ibu pukul. Hanya Ibu memarahi saya ketika saya salah. Ibu, kaulah penerang di kala kegelapan. Kau telah menjadi inspirasi buat saya. Kehidupan ini memang sangat pelik, Ibu. Ibu, terima kasih atas kasih dan sayangmu selama ini terhadapku. Terima kasihku takkan pernah bisa membalas kebaikanmu. “Ayo kita masuk kelas,”, ajak kawan saya. Sejahteralah untukmu, Ibu… []
Lamgapang, Kamis, 11 Agustus 2011
Penulis adalah mahasiswa Bimbingan Konseling FKIP Unsyiah