Opini | DETaK
Pernikahan dini di kalangan influencer menjadi topik yang semakin relevan dengan tingginya pengaruh media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini memunculkan berbagai perdebatan, mulai dari persoalan legalitas, hingga dampak psikologis dan sosial terhadap generasi muda yang sering kali meniru atau terinspirasi oleh tindakan tokoh-tokoh publik yang mereka kagumi. Dalam opini ini, kita akan membahas secara mendalam isu pernikahan dini di kalangan influencer, faktor-faktor yang melatarbelakanginya, serta dampaknya terhadap masyarakat, terutama para pengikut mereka yang cenderung masih muda dan rentan sekali terpengaruh oleh hal demikian.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari fenomena pernikahan dini influencer adalah adanya potensi eksploitasi sosial dan komersial. Banyak influencer yang menikah pada usia sangat muda kerap menjadikan momen pernikahan mereka sebagai konten utama di media sosial. Foto-foto pre-wedding yang megah, video pernikahan yang dikemas secara profesional, hingga berbagai endorsement produk terkait pernikahan kerap mendominasi konten yang dipublikasikan. Dari sudut pandang bisnis, hal ini menguntungkan bagi influencer tersebut karena mereka dapat menarik lebih banyak perhatian dan menghasilkan pendapatan dari sponsor. Namun, di sisi lain, hal ini menciptakan narasi bahwa pernikahan dini adalah hal yang normal dan bahkan glamor, merupakan sebuah tren, memberikan Gambaran yang membahagiakan tanpa memperlihatkan risiko yang mungkin terjadi.
Narasi ini sangat berbahaya bagi pengikut influencer tersebut, terutama remaja yang masih berada dalam tahap perkembangan psikologis dan cenderung belum memiliki pemahaman yang matang tentang komitmen jangka panjang seperti pernikahan. Belum lagi belum ada kematangan emosional rentan membawa mereka pada pengaruh yang kian berkembang disekitarnya, seperti konten nikah muda seorang ustad. Mereka bisa terjebak dalam pemikiran bahwa menikah muda adalah tren yang keren, mengesampingkan pertimbangan penting seperti kematangan emosional, kesiapan finansial, Pendidikan yang lebih penting mengenai terutama mengenai parenting dan tanggung jawab rumah tangga yang nyata.
Kematangan emosional menjadi salah satu poin krusial dalam pernikahan, terutama pada usia muda. Sebagian besar influencer yang menikah dini belum mencapai kematangan emosional yang cukup untuk menghadapi dinamika kehidupan rumah tangga. Semua itu dibalut dalam sampul kehidupan agamis yang seolah-olah menjanjikan pernikahan tersebut dikatakan layak bagi mereka yang bahkan belum mencapai kematangan usia ideal menikah. Hubungan pernikahan tidak hanya soal cinta, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, mengatasi konflik, dan menghadapi tekanan hidup bersama.
Banyak influencer yang memperlihatkan sisi glamor dari pernikahan mereka, tetapi tidak memberikan gambaran yang realistis tentang tantangan-tantangan yang muncul dalam pernikahan, seperti tekanan finansial, perbedaan pandangan, atau bahkan konflik pribadi. Alhasil, banyak pengikut mereka yang mungkin memiliki harapan yang tidak realistis tentang mahligai pernikahan.
Pada kenyataannya, pernikahan dini sering kali berakhir dengan perceraian atau masalah rumah tangga yang berat, terutama jika dilakukan tanpa persiapan yang matang. Hal ini tentu saja menambah beban psikologis bagi mereka yang terlibat. Dalam kasus influencer, bisa berdampak buruk pada citra publik mereka, hal ini disebabkan karena apa yang dia tampilkan dipublik dengan kehidupan nyata tidak sesuai, belum lagi yg awalnya dipuja-puja oleh fans dengan sapaan couple goals berakhir menjadi sebuah hujatan.
Pernikahan dini di kalangan influencer sering kali mendapat legitimasi sosial yang salah kaprah. Dengan pengaruh besar mereka, para influencer memiliki kemampuan untuk mengubah persepsi publik tentang apa yang dianggap “normal” atau “benar”. Pernikahan dini, yang secara tradisional sering kali dipandang sebagai keputusan yang terburu-buru atau bahkan kurang bijaksana, bisa berubah menjadi tren yang diterima luas hanya karena dilakukan oleh seorang tokoh yang popular, pernikahan mewah, suami tampan dan istri yang cantik menjadi pasangan serasi dan membuat penggemar memimpikan pernikahan yang serupa. Sayangnya, hal tersebut malah berdampak pada mereka yang masih menempuh Pendidikan sekolah menengah, yang hanya melihat dari cuplikan pernikahan indah balutan religius, membawa mereka pada sugesti espektasi pernikahan dini.
Konten-konten seperti ini dapat menimbulkan masalah besar, karena mengabaikan berbagai risiko yang muncul akibat pernikahan dini. Pada usia muda, seseorang biasanya belum sepenuhnya siap dari segi finansial maupun emosional. Banyak pernikahan dini yang berujung pada kesulitan finansial, terutama jika salah satu atau kedua pasangan belum memiliki pekerjaan yang stabil. Selain itu, ketidaksiapan emosional dapat menimbulkan masalah rumah tangga, seperti kecemburuan yang berlebihan, kurangnya komunikasi yang efektif, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Faktor-faktor ini sering kali diabaikan dalam narasi yang dibangun oleh para influencer. Alih-alih memberikan edukasi yang benar tentang kesiapan menikah, para influencer justru memperlihatkan pernikahan sebagai sesuatu yang serba indah, tanpa memperhitungkan konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi.
Seperti baru-baru ini, tokoh influencer yang baru genap 20 tahun menikahi gadis yang bahkan belum cukup dikatakan dewasa, remaja putri yang baru saja menyelesaikan sekolah tahfidznya, dinikahi oleh salah satu anak pemilik ponpes terkenal. seolah pernikahan seperti inilah yang sangat didamba-dambakan terutama oleh kaum hawa. suami sholeh dan istri yang cantik sama-sama penghafal al-qur’an, anak yang dijaga dari pergaulan bebas. Padahal nyatanya, public sudah mengetahui perilaku dari masing-masing kedua influemcer yang melaksanakan pernikahan dini itu. ditambah pernikahan yang begitu syahdu dan hanya dihadiri pihak keluarga. Tetapi yang menjadi permasalahn disini adalah, mempelai Perempuan yang dianggap masih dibawah umur, 17 tahun tidak bisa dikatakan usia yang layak menikah ditahun 2024 ini, kita tidak bisa menyamaratakan kehidupan zaman Rasulullah dengan kehidupan zaman jahiliyah pada saat ini.
Perlu diingat bahwa pernikahan adalah keputusan besar yang memerlukan kesiapan dari banyak aspek. Baik usia 17 maupun 20 masih dianggap usia muda, dan ada banyak hal yang mungkin belum sepenuhnya dipahami tentang kehidupan pernikahan dan tanggung jawab yang menyertainya. Kesiapan emosional, kematangan mental, dan stabilitas finansial adalah faktor penting yang harus dipertimbangkan sebelum seseorang menikah, terutama pada usia yang masih sangat muda.
Padahal dalam peraturan sudah dikatakan, seperti di Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga memberikan perlindungan bagi anak-anak dari praktik pernikahan dini.
Dalam Pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa orang tua atau wali berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan dini dan memberikan kesempatan kepada anak untuk memperoleh pendidikan, tumbuh, dan berkembang sesuai usianya. Dengan demikian, pernikahan dini dianggap melanggar hak-hak dasar anak untuk mendapatkan perlindungan dan pendidikan yang layak.
Pasal 1 ayat 1 dalam undang-undang ini juga menyatakan bahwa setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun masih tergolong anak dan harus dilindungi hak-haknya, termasuk perlindungan dari pernikahan dini yang dapat merusak masa depan mereka.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, yang mengakui bahwa anak-anak berhak mendapatkan perlindungan khusus dari segala bentuk eksploitasi, termasuk eksploitasi yang terkait dengan pernikahan dini.
Konvensi ini mengamanatkan bahwa negara-negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia, harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk yang terjadi akibat pernikahan pada usia anak.
Tetapi influencer yang mempengaruhi penggemarnya dalam konteks ‘nikah muda’ itu banyak dianugerahi privilege dari kedua belah pihak keluarga, lantas apa yang mereka khwatirkan tentang finasnsial. Yang perlu diberikan pandangan dan kesadaran adalah mereka yang bahkan ingin langsung menikah dan mnegurus rumah tangga tanpa perlu menempuh Pendidikan sekolah, padahal pernikahan yang tidak dilandasi dengan ilmu hanya akan menjadi pernikahan yang tabu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial memiliki pengaruh besar terhadap persepsi remaja tentang kehidupan. Mereka cenderung meniru gaya hidup, perilaku, dan keputusan-keputusan hidup dari tokoh-tokoh yang mereka kagumi, termasuk influencer. Ketika seorang influencer menikah muda, para pengikut mereka, terutama yang masih remaja, bisa terdorong untuk mengikuti jejak tersebut tanpa pemahaman yang matang tentang konsekuensi pernikahan dini.
Dampak psikologis yang ditimbulkan bisa sangat besar. Remaja yang terburu-buru menikah karena terinspirasi oleh influencer dapat mengalami berbagai tekanan, mulai dari tekanan emosional hingga tekanan sosial. Mereka mungkin merasa terbebani dengan tanggung jawab yang terlalu besar di usia yang seharusnya masih dipenuhi dengan eksplorasi diri dan pengembangan karier atau pendidikan.
Selain itu, remaja yang tidak mampu mencapai “standar” pernikahan glamor yang dipertontonkan oleh influencer bisa merasa rendah diri. Mereka mungkin merasa gagal karena tidak bisa memiliki kehidupan pernikahan yang sempurna seperti yang ditampilkan di media sosial. Padahal, kehidupan nyata jauh lebih kompleks daripada apa yang terlihat di layar.
Dalam menghadapi fenomena pernikahan dini di kalangan influencer, peran pendidikan dan regulasi menjadi sangat penting. Remaja perlu diberikan pemahaman yang benar tentang apa itu pernikahan dan bagaimana kesiapan untuk menikah tidak hanya diukur dari segi usia, tetapi juga dari segi emosional, finansial, reproduksi dan komitmen jangka panjang Untuk mengurangi resiko yang sudah terjadi akibat pernikahan dini.
Selain itu, regulasi terkait pernikahan dini juga harus ditegakkan dengan lebih ketat. Meskipun beberapa negara memiliki batasan usia minimal untuk menikah, sering kali ada celah hukum yang memungkinkan pernikahan dini terjadi dengan persetujuan orang tua. Regulasi ini harus diperkuat untuk melindungi generasi muda dari keputusan-keputusan yang dapat merugikan masa depan mereka.
Di sisi lain, platform media sosial juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa konten yang disebarkan oleh influencer tidak mempromosikan hal-hal yang dapat merugikan pengikut mereka, seperti pernikahan dini. Ini bisa dilakukan melalui regulasi internal platform, seperti pelabelan konten atau bahkan pembatasan promosi pernikahan bagi influencer di bawah usia tertentu.
Pernikahan dini di kalangan influencer adalah fenomena yang kompleks, dengan berbagai faktor yang mempengaruhi dan dampak yang ditimbulkan, terutama dikalangan penggemarnya yang juga masih dikatakan dibawah umur. Meskipun pernikahan adalah hak setiap individu, penting untuk memahami bahwa pernikahan dini, terutama yang dipromosikan di media sosial oleh tokoh publik, memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar momen indah yang dipertontonkan.
Dampaknya pada generasi muda sangat nyata, terutama dalam hal persepsi mereka tentang kesiapan untuk menikah. Oleh karena itu, peran pendidikan, regulasi, dan tanggung jawab sosial dari influencer serta platform media sosial sangat penting dalam mengatasi fenomena ini. Tanpa langkah-langkah pencegahan yang tepat, pernikahan dini dapat menjadi tren yang merusak, bukan hanya bagi para influencer itu sendiri, tetapi juga bagi pengikut mereka yang masih dalam tahap pencarian jati diri.[]
Penulis bernama Amanda Tasya, mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota magang UKM Pers DETaK USK.
Editor: Masya Pratiwi