Beranda Opini Ketika Sebuah Seni dan Kebebasan Berpendapat Dipersekusi

Ketika Sebuah Seni dan Kebebasan Berpendapat Dipersekusi

BERBAGI
Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Opini | DETaK

Sampai hari ini, pandemi Covid-19 masih terus menyebar di seluruh dunia. Dampak yang dirasakan karena pandemi ini cukup membuat beberapa negara di dunia terpukul karena mengalami perubahan di berbagai aspek, terutama dari aspek ekonomi, termasuk juga Indonesia yang ikut merasakan dampak ekonomi yang sangat memprihatinkan dari pandemi ini. Negara-negara di dunia yang terdampak pandemi harus mencari cara untuk memperbaiki perekonomiannya supaya tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Begitu pun dengan negara kita, Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga mencari solusi yang efektif untuk permasalahan pandemi ini untuk menstabilkan kembali kehidupan masyarakat dan perekonomian yang terdampak pandemi. Berbagai upaya yang dilakukan seperti percepatan vaksinasi untuk masyarakat, pemberian bantuan sosial (bansos), bantuan sosial tunai, dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun apakah hal itu cukup untuk menangulangi perekonomian Indonesia ? Tidak juga, justru bagi sebagian orang, kebijakan PPKM dirasa sangat merugikan ekonomi masyarakat sehingga mau tak mau mereka harus menerima penghasilan yang sangat kurang dibanding biasanya, bahkan ada yang harus gulung tikar akibat dampak kebijakan PPKM tersebut.

Oleh demikian, muncul stigma negatif dari masyarakat terhadap pemerintah yang dirasa tidak serius menangulangi perekonomian dalam masa pandemi saat ini, kebijakan PPKM yang terus berlanjut tanpa adanya solusi yang serius untuk nasib perekonomian masyarakat yang terdampak membuat masyarakat mulai resah dan geram. Maka itulah mulai bermunculan suara dan aspirasi masyarakat melalui berbagai media.

Akhir-akhir ini, mural, poster atau selembaran yang berisi kritikan dari masyarakat untuk pemerintah mulai eksis di kalangan masyarakat Indonesia, seperti mural ‘Wabah sesungguhnya adalah kelaparan’, ‘Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit’, dan mural ‘Jokowi 404: Not Found’ semakin dikenal dan mejadikan si pembuat muralnya sempat diburu oleh kepolisian, namun tindakan tersebut tidak dilanjutkan perkaranya karena tak ada unsur pidana. Semua mural, poster atau selembaran yang berisi kritikan kepada pemerintah tersebut akhirnya dihapus dan ditertibkan oleh aparat.

Tak hanya masyarakat umum, mahasiswa pun mulai merasakan dampak ekonomi karena penanggulangan pandemi yang dirasa belum tepat. Pembayaran UKT yang terkadang tidak ada bantuan keringanan biaya oleh beberapa universitas membuat mahasiswa merasa keberatan dan mulai mengeluarkan kritikan serta tuntutan kepada universitas mereka, namun yang terjadi mereka malah mendapatkan tindakat represif dari kampus mereka sendiri.

Seperti kejadian tindakan represif Dekanat Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Sriwijaya (Unsri) kepada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) LIMAS FISIP Unsri (Universitas Sriwijaya) yang berupa ancaman sanksi akademik kepada para pengurusnya karena perkara karya jurnalistik karikatur yang diterbitkan LPM LIMAS. Seperti yang diketahui, mahasiswa Unsri sedang berjuang meminta keringanan UKT di masa pandemi. Karikatur itu dipublikasikan pada fitur instastory akun resmi Instagram LPM LIMAS pada 3 Agustus 2021 lalu.

Lalu dari kasus tersebut, apakah ini menjadi sebuah persoalan baru mengenai kebebasan berpendapat di masyarakat?

Untuk kasus mural sendiri, kita bisa melihat dari beberapa faktor, seperti perbedaan mural atau vandalism. Mural bisa diartikan sebagai sebuah seni jalanan yang berisi nilai pesan dari masyarakat seperti harapan atau sebuah kritikan tertentu kepada pemerintah serta memiliki makna yang begitu dalam. Sedangkan vandalisme bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang cenderung merusak dan berbahaya bagi ruang publik, untuk masalah etika ruang publik dan semacamnya bisa dilihat dari sudut pandang seni.

Jadi, wajar jika mural digunakan sebagai simbol perlawanan atau sebuah kritik dan harapan, dan boleh saja mural tersebut ditempatkan di ruang publik agar dilihat banyak orang. Salah satu alasan masyarakat menggunakan ruang publik sebagai mural adalah karena tidak tersedianya privilege yang tepat.

Kemudian dalam kasus LPM LIMAS, sebenarnya karikatur yang dipublikasikan adalah sebuah karya jurnalistik. Penerbitan karikatur itu merujuk pada permasalahan yang sedang terjadi di Universitas Sriwijaya. Selain itu, LPM LIMAS juga sedang melakukan salah satu perannya sebagai sebuah lembaga pers yakni kontrol sosial. Sehingga pemberian tindakan represif tersebut menunjukkan bahwa tidak menghargai sebuah kebebasan pers di Indonesia yang dijamin lewat undang-undang.

Iklan Souvenir DETaK

Dari kedua kasus tersebut, kebebasan berpendapat perhatian utama karena untuk saat ini berekspresi dan menyuarakan pendapat seolah-seolah “dikekang” oleh pihak tertentu. Oleh karena itu, baik elemen masyarakat atau mahasiswa semestinya berhak dan memiliki kebebasan memberikan pendapat mereka untuk menuntut hak-hak mereka kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab. []

Penulis adalah Teuku Ichlas Arifin, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota aktif UKM Pers DETaK.

Editor: Feti Mulia Sukma