Beranda Opini Benarkah Kritik Harus Bersifat Membangun?

Benarkah Kritik Harus Bersifat Membangun?

BERBAGI
Ilustrasi. (Sumber: Pinterest)

Opini | DETaK

Kritik itu jangan asal hanya kritik aja dong harusnya bisa membangun orang yang dikritik. Sebagian dari kita kemungkinan familiar dengan lontaran kalimat tersebut. Dan pada perkembangan membentuk sebuah kelekatan pemikiran dalam diri kita ‘berarti kalau mau mengkritik harus membangun dong, berarti kalau itu sebaliknya sebaiknya tidak usah disampaikan kan ya’. Sehingga pemikiran inilah yang membetengi diri kita dalam beraspirasi terhadap kekeliruan bahkan dapat membentuk realitas baru yang sebenarnya tidak baik.

Namun, yang ingin kita kupas dan gali lebih lanjut, apakah benar sebuah kritik itu harus membangun? Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya kita mulai mengkaji dua kata pokok dalam pertanyaan tersebut yakni kritik dan membangun. Dalam KBBI, kritik ini diartikan sebagai kecaman atau tanggapan yang disertai dengan penilaian baik dan buruknya sebuah objek, kritik ini juga bersifat dekonstruktif. Sedangkan kata membangun ini dalam KBBI yakni bangkit atau berdiri, dan kata membangun ini bersifat konstruktif.

Iklan Souvenir DETaK

Dengan membedah makna dari dua kata tersebut dapat kita lihat ada ketimpangan makna yang ternyata tidak sejalan. Maka dapat dikatakan dua kata tersebut tidak memiliki hubungan dan saling berpengaruh bagi keduanya. Sehingga tidak ada suatu ketetapan yang harus disanggupi sang kritikus dalam melontarkan sebuah kritiknya, baik kritik itu diselimuti sifat membangun atau tidak.

Kritik ya kritik bahkan salah seorang cendekiawan Daniel Dhakide turut berbagi opininya terkait permasalahan ini dengan menyatakan, “Bahwa kritik itu harus tajam menghujam, menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat, menjelujur hingga jantung persoalan”. Dengan kritik tersebut, dapat memantik diskusi lebih lanjut dan memperkaya sebuah sudut pandang. Fungsi kritik adalah untuk memberi tahu hal mana yang perlu diperhatikan dan butuh untuk dirubah. Dalam hakikat kritik itu sendiri tidak ada berbagai aturan atau syarat dalam mengkritik dan hanya memerlukan kritis dalam berbagi opininya.

Terjebak dalam pemaknaan kritik harus membangun inilah yang membekukan dan keterbelakangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi ini bagi saya sangat lekat hakikatnya dalam pembebasan berpendapat, beraspirasi termasuk dalam hal mengkritik. Sudah sepatutnya kita bagi generasi muda penerus bangsa untuk semakin kritis dalam memaknai serta terhadap lingkungan sekitar kita terlebih dahulu.

Namun, yang perlu saya tekankan di sini bijaknya rasa kita dalam mengkritik walaupun mengedapankan sikap kritis tetapi perlu bagi kita semua untuk lebih bijak dalam mengolah atau memilih kalimat-kalimat yang tidak menyinggung hal-hal yang senstif seperti menjauhi isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Dan perlu kita pahami juga negara kita dilindungi oleh hukum, jadi apapun tindakan yang menyalahi aturan dapat ditindak sesuai hukum yang dalam hal ini berkaitan dengan adanya hukum UU ITE. Jadi bijaklah serta cerdas dalam mengkritik, karena secara tidak langsung dapat mencerminkan kualitas diri kita sendiri.[]

Penulis adalah Maisara Naila, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala angkatan 2020. Ia juga merupakan salah satu anggota di UKM Pers DETaK USK.

Editor: Indah Latifa