Nurul Hasanah, Missanur Refasesa, Cut Siti Raihan | DETaK
Darussalam– 62 tahun lalu sejak peletakan batu pertama pembangunan perkampungan pelajar dan mahasiswa Darussalam. Sejak saat itu pula 3 lembaga pendidikan yaitu Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry dan Dayah Teungku Chik Pantee Kulu berada dalam lingkungan yang sama dengan tujuan memajukan pendidikan Aceh.
Tak hanya pendirian lembaga pendidikan, kawasan ini juga dihuni oleh tenaga pengajar dan dosen yang tinggal di perumahan dosen sejak Kopelma Darussalam didirikan. Namun, pada September 2020 beberapa dosen dan keluarga yang menempati perumahan tersebut diminta untuk segera mengosongkan rumah.
Tim DETaK mendatangi salah satu keluarga dosen yang tergusur, dan bertanya perihal penggusuran ke Keuchik Kopelma Darussalam yang baru berganti pada tanggal 21 November 2020, serta Juru Bicara Forum Warga Kopelma Darussalam.
Pernah Diimingi Dana Pengganti Sebelum Mengosongkan Rumah
Kepada kami, J yang tidak mau namanya disebutkan mengatakan saat pertemuan pihak Unsyiah dengan perwakilan warga dari 4 rumah pada 2019 lalu, mereka diimingi biaya kompensasi penggusuran.
“Sebelum itu, udah diadain rapat yang empat rumah ini (sektor Timur) sama yang di sektor Utara. Tapi, di situ di dalamnya, dibilang oo.. tenang aja, bakal ada kompensasi. Karena kami tinggal di situ kan juga ada melakukan perawatan, bahkan bayar pajak perumahan juga, terus kami banyak perbaikilah, banyak yang kami tambahin, banyak yang kami kurangin juga gitu. Habistu dibilang, bakal diini, tenang aja, aman tu, bakal dikasih lah uang sedikit untuk membiaya ganti rugi,” ujanya saat kami temui di kediaman barunya.
J mengaku pihak rektorat bahkan memberikan nomor kontak yang dapat dihubungi terkait proses ganti rugi tersebut.
“Waktu itu kan, rapat sama WR, ntah orang biro. Pokoknya, dia gendut-gendut gitu. Terus, pokoknya ada disuruh hubungin sih. Hubungi ke ibu-ibu gitu. Tapi, pas dihubungi enggak bisa gitu,” sambungnya.
Sebelum digusur, ia menyebutkan bahwa rumah mereka pernah didatangi oleh KPKNL (Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Namun, pihak KPKNL membantah adanya ganti rugi dalam proses penggusuran ini.
“Terus pas datang KPKNL ini, yang ngukur-ngukur ini, mereka justru bilang, apa? nggak ada. Itu, coba aja tanya ke bironya langsung. Coba aja, karena kami nggak ada ganti rugi. Unsyiah enggak mau ganti rugi,” ujar J menirukan ulang apa yang didengarnya saat itu.
Sebelum itu, pada bulan September 2020, mereka juga didatangi oleh beberapa tukang dari Medan yang membawa truk-truk. Tukang-tukang tersebut meminta agar segera mengosongkan rumah yang ia huni.
“Aneh kali, kenapa kayak gitu kan, padahal kami udah tinggal di situ dari tahun 1994 kan. Dan kakek termasuk pendiri fakultas FKH. Tapi, ya digusur juga kayak gitu. Bahkan yang di sebelah kami dulu WR, tetapi tetap tergusur gitu. Terus ya udah, sampek akhirnya September kemarin didatangin tukang-tukang gitu dari Medan. Kami kagetlah kan. Mereka bilang tolong kosongin. Mereka datang tu rame-rame dengan truk sekitar jumlahnya dua puluh-an orang gitu, masih muda-muda. Jadi kan, kami panik. Kami langsung pindah dari situ,” ungkap J.
Terkait penggusuran, ia mengatakan pihak Unsyiah sudah melayangkan surat pada akhir tahun 2019. Dalam surat itu, Unsyiah memberikan tempo waktu tiga bulan untuk mengosongkan rumah dinas yang akan digusur tersebut. Hingga beberapa bulan kemudian, pihak KPNKL datang ke rumah-rumah yang akan digusur untuk menghitung biaya penghancuran.
“Terus tiba-tiba tahun 2019 kemarin, didatangin surat. Sektor Timurnya empat, tapi di sektor Utara dan lainnya tu ada empat, empat, semuanya. Terus, itu dikasi tiga bulan dari akhir 2019 sampek awal Januari itu kan. Terus, enggak ada realisasi apa-apa gitu. Sampek akhirnya, bulan enam ntah bulan berapa, datang KPKNL, tugasnya ngitungin biaya penghancuran. Jadi, KPKNL ini yang bakal ngurus itu. Lelangnya, mereka yang lakuin. Mereka datang ke rumah, tanya-tanya, foto-foto gitu, segala macam, “ ujarnya.
Menurut J kabar penggusuran sudah terdengar oleh masyarakat Kopelma Darussalam sejak tahun 2018. Namun karena mendapat penolakan dari beberapa warga, penggusuran urung dilakukan.
“Jadi pertamanya bukan cuma empat rumah tapi lebih ke enam belas rumah. Lorong kami sama lorong sebelahnya lagi memang enam belas. Tapi, tiba-tiba ada yang demo dari beberapa rumah gitu yang pergi ke, kalau enggak salah ya, perginya ke biro. Nah, disitu, mereka demo nggak mau pindah nggak mau pindah. Habis tu dikabulin kan, yang jadinya 16 tu enggak jadi digusurin. Oh, berarti kami kira udah aman, enggak jadi digusurin,” katanya.
J juga mengatakan ia sempat mendengar kabar burung bahwa akan ada banyak lagi rumah dinas dosen yang akan digusur.
“Tapi, ada rumor lagi kalau yang lainnya juga mau digusur, semuanya mau diberesin, enggak boleh ada lagi,” pungkas J.
Menolak Penggusuran Hal yang Wajar
Kami bertanya kepada Muhammad Ihsanuddin, Plt. Keuchik Gampong Kopelma yang baru menjabat 21 November 2020 menggantikan Keucik sebelumnya yang meninggl dunia. Karena baru ditunjuk untuk menggantikan posisi yang kosong, ia mengaku tidak terlalu paham dengan proses penggusuran yang terjadi di Kopelma Darussalam. Meski tahu ada penolakan dari warga yang digusur, menurutnya hal tersebut adalah sesuatu yang wajar.
“Mengajukan mungkin ada, protes gitu kan. Tetapi yang namanya kampus itu kan otoritas kampus. Kepemilikan Gampong Kopelma juga di wilayah kampus. Minimal segala sesuatu yang direncanakan oleh kampus, dalam hal ini rektor, itu sah-sah saja. Dan warga yang berdomisili di Gampong Kopelma itu harus mengikuti aturan yang berlaku di kampus. Kebijakan yang diambil rektor gak ada salahnya, udah benar, gitu,” ujarnya.
Menurutnya, pengajuan protes dari warga yang rumahnya digusur karena mereka meminta penundaan waktu penggusuran, mengingat proses perpindahan tempat tinggal memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Mungkin orang itu kan perlu persiapan, persiapan untuk mencari tempat tinggal yang baru,” lanjutnya.
Penolakan diajukan warga dengan berbagai cara mulai dari spanduk hingga surat penolakan yang langsung ditujukan ke rektorat. Sebelumnya sudah ada diskusi antara warga dengan pihak rektorat yang diwakili oleh Wakil Rektor II Unsyiah, Agussabti. Tetapi, Muhammad Ihsanuddin, selaku Plt. Keuchik tidak mengikuti rapat tersebut. Terkait dana kompensasi untuk warga yang tergusur, Ihsanuddin juga tidak tahu pasti.
“Gak ikut dalam diskusi. Tapi kan kalau yang namanya kampus, biasa tidak ada bangunan-bangunan warganya di situ ya, namanya kampus,” kata Ihsanuddin.
Berdasarkan keterangan Ihsanuddin, warga yang tempat tinggalnya digusur belum mengurus surat pemindahan. Juga ada beberapa warga yang sudah mengangkat barang-barang untuk pemindahan tempat tinggal.
“Yang kena lahan parkirnya udah ngangkat–ngangkat barang. Lahan parkir Fakultas Hukum ya. Ada yang udah kosong rumahnya. Itu bertahap mungkin. Bertahap kapan orang itu diperlukan harus siap,” ujarnya.
Penggusuran Dapat Merusak Nilai Sejarah
Fuad Mardhatillah, Juru Bicara Forum Warga Kopelma Darussalam merasa kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Rektor Unsyiah. Fuad, mewakili sejawatnya, menganggap keputusan tersebut terkesan arogan dan tidak peduli dengan sejarah terbentuknya Kopelma Darussalam. Padahal dulunya orang tua mereka diundang untuk menghuni perkampungan yang saat itu belum banyak ditinggali penduduk, bahkan masih seperti hutan. Meski sudah berkali-kali melakukan penolakan, penggusuran tetap berjalan.
Senada dengan yang diungakpakn J, meski pertemuan sudah diadakan sebelumnya namun tidak ada ruang diskusi yang diberikan rektorat melainkan penegasan bahwa penggusuran tetap akan dilakukan.
“Kita datang untuk bernego dengan Pak Agus (Wakil Rektor II) agar rencananya tidak jadi. Pak Samsurizal diwakili Pak Agus, tidak ada tanggapan hanya mendengar keluhan. Dia kan perantara,” ungkap Fuad.
Kepada kami Fuad juga mengatakan sekitar 5 tahun yang lalu pemuda Darussalam pernah melakukan pertemuan dengan Rektor dan dikatakan mereka tidak akan dipindahkan sebelum diberikan tanah pengganti.
“Ketika pertemuan antara pemuda Darussalam dengan Pak Rektor katanya kita mau dikasih tanah 1000 meter di lahan sana, nggak tau, cuma bilang gitu saja yang kemudian dibangun atau tidak juga tidak ada kejelasan,”tuturnya.
Menurut Fuad, bangunan yang berada dalam wilayah Kopelma Darussalam adalah bukti sejarah yang tak seharusnya dihancurkan. Tak hanya sebagai bagian dari resolusi konflik saat DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) namun juga bukti fisik sejarah perkembangan pendidkan di Aceh.
“Jangan dirobohkan. Terutama bangunan bangunan tua tempat jejak-jejak sejarah pendahulu terpatri di sini. Tempat merenung, bukti sejarah, museum, berpikir bagaimana orang tua Aceh dulu membangun dengan mendidik generasi Aceh ke depan agar bisa berpikir produktif, damai, sejahtera,” kata Fuad.
Rumah yang mereka tinggali adalah hibah dari saudagar Aceh jaman dahulu, namun kini mereka diminta menyerahkan rumah tersebut untuk diserahkan ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Fuad mengatakan meski mereka tidak memiliki kekuatan hukum mereka akan tetap melakukan penolakan penggusuran tersebut.
“Yang terlibat semua terutama anak-anak muda, anak-anak yang lahir di sini, umumnya yang bergerak yang menjadikan Kampong Kopelma ini kampong halamannya, tanah kelahirannya, jadi digusurkan kan sedih. Kopelma ini harusnya dirawat walaupun mungkin kami nggak boleh lagi tinggal di situ, yang jelas wilayahnya harus dirawat, ada sejarah tentang pendidikan Aceh, kampong didirikan, Presiden Soekarno meresmikan tugu, dan kemudian membangun kampus. Cara berpikir ini yang kami tolak, yang tidak peduli pada realitas sejarah masa lalu.”
Dari kabar yang didapat Fuad, ada sekitar 20 rumah yang berada di Sektor Timur harus dikosongkan paling lambat 21 Maret 2021.
Dalam pesan melalui WhatsApp Rektor Unsyiah, Samsul Rizal mengatakan “Tidak perlu wawancara, lihat saja SK yang tempati rumah dan peraturan pemerintah,” sedangkan Wakil Rektor II, Agussabti menuliskan “Mohon maaf, karna itu terkait kebijakan, tidak ada wewenang saya menanggapinya.” []
Editor: Indah Latifa