Indah Latifa | DETaK
“Itu di sebelah sana ada banyak!!”
Teriak seorang pria paruh baya berbaju biru oranye lusuh. Pria yang kesehariannya bertugas mengangkut sampah di kawasan Darussalam tersebut menghampiri seorang pria yang umurnya jauh lebih muda darinya. Pemuda yang dipanggil dan dihampirinya itu mendongak, ia bermasker hitam dan mengenakan celana jeans pendek.
Sekilas, kata “itu” yang diteriakan pria yang bernama lengkap Bobby Setiawan itu seakan-akan bermakna sampah-sampah bernilai yang biasanya dipungut pemulung. Namun, siapa yang tau kalau yang dimaksudnya adalah anak-anak kucing yang tertidur di tempat-tempat tersembunyi salah satu tempat pengumpulan sampai di pinggiran Kota Banda Aceh.
Pemuda yang dipanggil itu berjalan berlahan, membawa seplastik yang isinya entah apa. Setelah dibuka, barulah diketahui isinya adalah karung-karung beras yang dilipat rapi dan sekantung panganan berbentuk bulat coklat.
Angin kencang bertiup dari arah barat laut membawa tumpukan mega berwarna gelap. Titik-titik air hujan mulai jatuh perlahan, namun tak deras. Pemuda itu bergegas memungut anak-anak kucing berbulu putih oren itu. Pertama ia dapat satu, kemudian seekor lagi. Yang ketiga lumayan sulit karna bersembunyi di sudut terdalam antara tong sampah besar dan dinding pembatas.
Panganan berbentuk bulat kecoklatan itu dituangnya segenggam di atas kursi yang tak layak pakai lagi. Ketiga makhluk itu dengan rakus merampas semuanya ke dalam mulut-mulut kecilnya meski mata mereka sulit terbuka akibat debu yang menempel.
Setelah beberapa pendekatan akhirnya mau berbincang. Ia tak ingin namanya disebutkan dengan jelas, inisialnya HK. Ia dengan tabah memberi makan kucing-kucing kecil yang sudah tak berinduk dan dibuang pemiliknya yang sangat tak bertanggung jawab itu. Betapa tidak, anak-anak berbulu yang masih menyusu itu dipisahkan secara paksa dari sang induk dan dengan teganya dibuang ke tempat pembuangan sampah itu. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Bertahan atau mati. Seleksi alam yang amat kejam.
“Nggak tega, kasihan, dari pada di sini kelindas sama mesin-mesin besar di jalan-jalan kek gini. Mending saya ambil,” ujar HK sembari menggendong salah satu bayi kucing berwarna putih oranye. Suara pemuda itu terdengar bergetar, mungkin tak sanggup membayangkan anak-anak kucing tak berdaya bila berhadapan dengan mesin-mesin raksasa pengangkut sampah atau mesin beroda yang melintas di jalanan.
HK kembali menyusuri bak-bak sampah raksasa di tempat pembuangan itu. Dilihatnya satu per satu, mulai dari depan, samping, hingga ke belakang. Tak ia temui lagi bayi-bayi mungil itu.
Mentari mulai terlihat, hujan tak jadi turun ternyata. Baunya tumpukan sampah yang bercampur jadi satu tak menghalangi niat Hendri untuk terus mencari makhluk kecil yang senang bersembunyi dari orang-orang itu.
Satu lagi, berwarna abu-abu ia temukan di dalam kardus berisi botol minuman isotonik. Warnanya indah seperti kucing ras. “Ini campuran ini. Cantik kan warnanya, tapi tega juga orang buang ke sini,” ungkapnya membawa makhluk kecil abu itu bersama teman-temannya yang lain. Tentu saja diberi makan terlebih dahulu.
Tampaknya meski ditinggalkan di tempat sampah dengan harapan ada sisa-sisa makanan yang dapat mereka makan, nyatanya sesulit apapun bayi-bayi itu mengais, tak banyak yang mampu masuk ke perut mungil mereka. Binatang itu kebanyakan hanya tertunduk, menanti kematian jika tak ada yang menyelamatkan.
Namun, HK mengaku niatnya menyelamatkan ratusan kucing-kucing terlantar murni karena rasa iba dan kasihan. Tak ada sedikitpun niat untuk mencari keuntungan dari aksi mulianya ini.
“Bermula dari karna sering lewat aja jadi iba, gak ada dasarnya karna memang punya, enggak. Biasanya orang karna punya ya kan, atau pun ambil dijadiin penghasilan, dijual. Saya enggak. Justru ada yang minta beli nggak saya jual. Kalau pun ada yang minta nggak saya kasih,” ungkap HK memandangi empat ekor kucing yang sudah ia temukan. Tiga ekor sudah ia masukkan ke dalam karung agar tak lari dan tertidur.
Anak-anak kucing yang didapat HK dari tempat pembuangan sampah yang disinggahinya ia bawa pulang dan dirawat seorang diri. Ia belum mampu mempercayakan kepada orang lain. Meski keluarga terus memberi dukungan, namun materil ia usahakan sendiri.
Aksi ini rupanya sudah dilakukan Hendri setelah ia menyelesaikan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampusnya. Tepatnya pada awal tahun 2019, lulusan Universitas Muhammadiyah Kota Banda Aceh ini sudah mulai menyelamatkan bayi-bayi kucing di dua lokasi berbeda.
Hingga kini, ada ratusan kucing yang telah berhasil ia selamatkan. Namun karna hanya anak-anaknya saja yang ia bawa, peluang hidup kucing pada masa itu sangat rendah. Di rumahnya, ada lebih kurang 90 ekor kucing yang dirawatnya. Semuanya adalah anak-anak kucing yang mampu bertahan hidup, sementara sisanya mati sebelum tumbuh dewasa.
HK mengungkapkan ia menghabiskan sekitar tujuh karung makanan kucing dalam sebulan. Meski bukan membutuhkan biaya yang murah dalam perawatannya, ia tetap bertekad menyelamatkan kucing-kucing anakan karena mereka tak punya pelindung.
“Lega aja. Yang penting udah selamat, udah tenang. Malah kalau nggak mampir, nggak sempat ambil, teringat-ingat. Terbayang-bayang lah. Memang harus mampir, tiga hari sekali harus,” ungkapnya.
HK berpesan, tak seharusnya anak-anak kucing ini dibuang dan dipisahkan dari induknya ketika masih menyusu. Apalagi ia menyangkan lokasi pembuangan yang amat kejam, yakni di tengah jalan. Binatang-binatang kecil tak berdosa itu seakan-akan memang dibuang untuk diharapkan mati.
“Pesan saya, kalau bisa janganlah buang induk sama anaknya apalagi dipisahin kan, masih kecil-kecil kan kek gini mata sakit. Kalau bisa jangan, mending lagi bunting, lagi hamil, itu kalau mau buang boleh, tapi ke pasar jangan ke jalan, apalagi ke tengah jalan. Sering banget ke tengah jalan, itu kan berarti memang dibuang untuk mati,” pesan Hendri, ia pamit ketika hari mulai gelap dengan membawa lima ekor anak kucing. Yang terakhir berwarna hitam putih ia dapatkan di bawah bak mobil sampah.[]
Editor: Sahida Purnama