
Shahibah Alyani | DETaK
Darussalam-“Kita belum menghargai apa yang kita punya, sampai yang kita punya tersebut hilang.”
Kehilangan. Sebuah kata yang kerap disimbolisasi pada sisi kesedihan. Apalagi jika dikaitkan dengan bencana. Tak bisa ditampik pula, bencana menyebabkan kehilangan akan banyak hal, seperti harta dan benda. Terutama pemakan kesedihan paling banyak, yaitu kehilangan nyawa. Harta atau benda bisa dicari penggantinya. Sedang nyawa butuh bertahun lama mengobati luka atas kehilangannya.

Dua dekade tsunami Aceh 2004 tentunya meninggalkan pengalaman baik fisik maupun psikis bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Pengalaman tersebut dapat dipetik hikmahnya untuk dijadikan pembelajaran bagi masa ke depan. Memori kala itu menjadi harapan.
Namun perlahan tanpa disadari, ingatan dan kenangan tersebut menjelma menjadi seremonial dan kerap menafikan detail penting. Fragmen peradaban mulai dibiarkan berkarat, terlupakan, dan semakin berjarak dari masyarakat Aceh membaca masa lalunya. Atas dasar ini, Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Reza Idria menginisiasikan pameran seni bernama KARAT.
Dalam kurun waktu 20 tahun ini, banyak hal yang diyakini tentang bencana perlahan mulai berkarat, keropos, bahkan pupus dan menghilang. Melalui pameran KARAT, adanya ajakan kembali untuk merefleksi ingatan, persepsi, dan pengetahuan tentang kebencanaan.
“Karena semestinya kita sadar bahwa perihal bencana adalah perkara yang meukarat,” ucap Pratitou Arafat, sang kurator utama pameran. Meukarat dalam bahasa Aceh ialah mendesak.
Cuaca Kota Banda Aceh tidak menentu akhir-akhir ini. Jika pagi mendung, maka jangan bertaruh siang akan hujan. Seyogianya pula jika sore masih terik, tak dapat berharap langit malam akan cerah. Bak membalikkan telapak tangan, cuaca bisa berubah secepat keputusanku di hari ini. Sedari pagi aku bertekad hendak menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati siaran televisi pembahasan dua dekade tsunami Aceh 2004. Namun, sahabatku menghubungi. Mengajak datang ke ICAIOS pada pameran KARAT karena akan lebih banyak hal yang tidak terlihat di layar televisi. Sekilas aku melirik jendela, hari cukup berkabung. Cuaca yang tepat untuk menghabiskan waktu di luar. Tidak berpikir dua kali, aku mengiyakannya. Bergegas bersiap sembari memikirkan kata-katanya, hal apa yang tidak ada di televisi namun ada pada pameran tersebut.
Beralamat di Kopelma Darussalam, tepatnya di samping Lapangan Tugu dan berhadapan langsung dengan Gedung AAC Dayan Dawood USK, semestinya tidak sulit menemukan kantor ICAIOS terletak. Namun siapa yang mengira bangunan berwarna putih dan hijau toska yang seperti rumah ini adalah sebuah pusat riset internasional untuk Aceh dan Samudera Hindia? Mungkin karena itu kita diajarkan untuk jangan menilai buku dari sampulnya.
Sebelum masuk, aku dipersilakan untuk mengisi buku tamu oleh seorang mahasiswa. Aku menerima pulpen darinya dan mulai menuliskan namaku.
“Mau dipandu pamerannya atau mau jalan sendiri, kak?” tawar mahasiswa tersebut sepersekian detik setelah aku meletakkan pulpen.
“Oh, nggak usah, bang. Ini teman saya, biar sama saya saja,” jawab sebuah suara dari arah dalam. Aku menoleh, kemudian tersenyum setelah mengetahui sumber sebenarnya.
Seorang peneliti muda sekaligus pengambil peran sebagai Public Relation (PR) di ICAIOS ini sudah berdiri di depanku. Tentu sebagai penjalin komunikasi ICAIOS dengan pihak luar, spesialisasinya adalah berbicara. Sebagai alumni Ilmu Komunikasi USK yang lulus tanpa skripsi, tidak perlu diragukan lagi kemampuannya dalam memandu juga patut diancungi jempol. Apalagi didorong dengan latar belakangnya sebagai Tour Guide pada komunitas KotaTanyoe yang juga mengambil andil kolaborasi dalam pameran KARAT. Namun terpenting, kali ini posisi adalah sebagai sahabatku yang lebih tahu pameran ini.
Aku menyambutnya ketika kami memasuki instalasi pertama pada pameran. “Jadi apa ini, bu?” candaku.
Intalasi pertama berjudul Ia Ada di Sini, Tidak di Sana. Terdapat sebuah kain sonket berwarna biru dengan motif ombak warna emas menghiasi sebuah kepala manekin. Di kanan kirinya terdaoat empat lukisan, masing-masing dua pada setiap sisi.
“Jadi ini motif songket yang temanya Tsunami. Salah satu cara menguatkan jejak ingatan tentang bencana itu melalui kebudayaan dan kearifan lokal seperti ini. Karena sebenarnya sering kali pendekatan kita terlalu formal, padahal dari cara terdekat, dikenalkan melalui kain yang setiap orang pasti ada, itu lebih mudah,” jelasnya.
“Terus untuk empat lukisan ini?” tanyaku kembali.
“Nah, lukisan ini adalah cara masyarakat dari nenek moyang gimana menghadapi bencana,” jawabnya.

Aku memperhatikan lamat-lamat keempat lukisan itu, lukisan pertama berisikan ilustrasi tiga orang sedang bermain gendang. Lukisan kedua adalah seorang perempuan menyerukan kalimat “Linuh-Linuh”. Lukisan ketiga menggambarkan seorang laki-laki yang mengucapkan sesuatu dalam bahasa daerahnya. Lukisan terakhir mengilustrasikan wadah papan sebagai sarana pemberitahuan dan informasi. Terlepas dari keempat media ini, masih beragam banyaknya cara yang tidak diilustrasikan dalam menghadapi bencana.
Tidak jauh dari instalasi pertama, kami sudah berada di instalasi kedua. Instalasi ini cukup unik karena memiliki unsur sarkasme. Dengan judul Bingkai Emas, instalasi ini memajang sembilan jurnal penelitian yang dicetak dalam ukuran kecil kemudian dibingkai dengan pigura emas. Di sebelah kiri, disediakan sebuah kaca pembesar. Sehingga pengunjung yang ingin membaca jurnal tersebut harus menggunakan kaca pembesar.

“Kau bayangkan, dari 2004 sampai 2024 di google ada lebih dari 27 ribu penelitian dengan kata kunci tsunami Aceh. Tapi apa? Cuma jadi pajangan, nggak sampai ke bawah. Nggak ada di masyarakat efeknya, nggak kita jumpai di lorong kampung, atau sudut warung kopi, atau pelataran masjid. Cuma jadi teori,” kali ini ia mengeluh.
Aku mengiyakan. Benar begitu banyak data, gagasan, prakarsa yang diteliti. Semua orang berlomba dalam melakukan kajian ilmiah. Siapa terbanyak, dia juara satu. Tapi apakah kompetisi itu tidak bisa diubah menjadi siapa yang paling dapat memberi efek langsung ke masyarakat? Bunyinya benar senyap dalam dunia nyata. Ia hanya bisa digapai oleh pihak tertentu laksana keemasan piguranya, menunjukkan pelindungan akan keeksklusifannya.
Memasuki bagian dalam kantor ICAIOS, kami menjumpai instalasi ketiga. Instalasi bertajuk Balung Bidai ini berisikan puisi yang ditulis oleh Direktur Eksekutif ICAIOS, Reza Idria dua tahun setelah tsunami. Dilengkapi dengan properti kain merah yang dibentuk seperti mawar, namun semakin ke bawah bagian puisi mawar tersebut juga semakin terlihat layu berwarna kecokelatan.
“Coba kau baca dulu, itu puisinya,” perintahnya. Aku patuh. Hening di antara kami lima menit lamanya.

“Gimana? Bacanya sedih, kan?” ucapnya ketika melihat warna mukaku mulai surut setelah menghabiskan sebait demi bait puisi yang tertuang dalam kain putih itu. Aku mengangguk.
“Harapan itu ada untuk orang Aceh, tapi makin lama makin padam dan hilang. Mawar ini menginterpretasikan harapan dalam puisi itu. Makin ke bawah dia makin layu dan menjadi mawar busuk,” tunjuknya pada bagian lantai yang masih berhiaskan mawar namun sudah menjadi mawar hitam. Perhatianku teralih pada kain hitam menggumpal yang membentuk seperti pusara air. Aku berjongkok mengamatinya.
“Nah, sebenarnya kata di judul Balung Bidai itu juga berarti pusaran air. Bagaimana harapan itu seperti pusaran air, berkerumun namun lama-kelamaan seperti tertarik, kemudian hilang. Padahal ada masyarakat yang bertumpu pada harapan itu, kayak karung-karung ini,” lanjutnya seraya menunjukkan lima buah karung berisikan sejumlah batok kelapa yang mengelilingi gumpalan kain hitam tersebut.
“Tapi kenapa diisi batok kelapa?” tanyaku.
“Mungkin kalau batok manusia terlalu ekstrim.”
Aku melototinya, membayangkannya saja sudah mengerikan. Sejenak, kami kompak tertawa.
Instalasi keempat mengambil lokasi pada lorong kantor. Lorong tersebut ditutupi kain hitam yang harus disibak oleh pengunjung. Mengambil judul Keramik Masa Lalu, instalasi ini mengajak menyusuri tahap kondisi pesisir Aceh lewat keberadaan pecahan keramik yang tersebar di sepanjang garis pantai. Keramik-keramik itu dipajang dalam kondisi digantung dan menghalangi lewatnya pengunjung, diibaratkan dengan bencana yang juga susah payah dilewati oleh masyarakat yang terkena imbasnya.

“Jadi sebenernya setiap keramik itu ada masanya dia datang, coba kau lihat keramik itu. Ada tahun ditemukannya,” ajaknya setelah menjelaskan. Aku memegang sebuah keramik dan mencari tulisan kecil di sisinya. Benar, tertera tahun dan kode angka lain yang sepertinya megindikasikan lokasi ditemukannya.
“Pertanda kemajuan zaman juga bisa kita lihat dari sini. Kayak keramik yang desainnya udah bagus ini, mengkilat-kilat, nah ini pasti datang dari zaman yang nggak jauh dari kita sekarang ini. Tapi kalau yang masih berbentuk sedimen lampau, kayak ini, berarti jauh pula zamannya dengan kita,” ceritanya sekali lalu memegang dua keramik. Tangan kanannya menggenggam keramik berpoles putih dengan ukiran bunga biru di sekelilingnya, sedangkan tangan kirinya mencapai sebuah keramik yang masih berbentuk batu sedimen berwarna abu kegelapan.
Instalasi berikutnya berjudul Untold Stories yang memanfaatkan saung di halaman kantor. Saung yang biasanya menjadi tempat duduk menikmati semilir sore ini disulap menjadi pojok memori dengan dikelilingi kain putih berisikan puisi, ada tulisan yang dijahit dan ada yang ditulis tangan. Seperti kelambu, pikirku. Pada instalasi ini, digantungkan sepuluh foto yang berkenaan dengan tsunami 2004 dengan diiringi suara wawancara kepada penyintas maupun pihak terkait yang mengetahui secara langsung cerita di balik foto tersebut. Instalasi ini menggunakan metode photovoice.

“Coba kau masuk, dengar,” perintahnya setelah aku hanya melihat instalasi dari luar saung dengan kain biru sebagai tudung pintunya. Aku menurut, mulai membuka sepatu dan masuk ke dalamnya.
Kesepuluh foto tersebut digantung dengan kawat yang saling tumpang tindih dalam jalinannya. Ia menjelaskan bahwa ini menggambarkan bencana yang saling memengaruhi segala aspek, bahkan hampir keseluruhan dunia ikut jungkir balik tatkala tsunami 2004 silam. Namun dengan keberadaan seutas benang merah pada jalinan semrawutan kawat tersebut, menandakan bahwa masih ada satu kesatuan di balik itu semua. Tak luput, keberadaan cermin di sela kawat tersebut menjelaskan bahwa perlunya refleksi dari semua kejadian yang ada, termasuk pula bencana.
Salah satu foto yang menyentuhku ialah seorang perempuan yang sedang menggali tanah untuk mencari sumur yang menjadi penanda rumahnya. Ketika tsunami terjadi, ia sedang berada di Malaysia. Ia kehilangan ibu, ayah, dan ketiga saudaranya. Sembari dipandang, foto yang diambil lima hari setelah tsunami ini lebih terasa emosional ketika juga mendengar wawancara di balik perempuan ini.
Ketika aku keluar saung, sahabatku lenyap. Mungkin ada urusan sebentar, pikirku. Meski tidak pamit, tapi aku tidak panik dia pergi. Toh, kesibukannya selama ini memang membuahkan hasil, salah satunya pameran KARAT ini.
Pada intalasi keenam bertajuk Rentan yang berada di halaman tengah, diperlihatkan triplek berbentuk kubus atap terbuka dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 1,5 meter. Kubus triplek ini dilindungi oleh kain putih yang melingkupi pada keempat sisinya. Pada setiap sisi triplek ditempatkan kawat tipis dan ditempatkan kain yang berisi berbagai arsitektur bangunan di Aceh. Pada kain tersebut pula, terdapat berwarna-warni benang dan kain saling terjahit. Beberapa bagian terlihat diberi tekstur kasar seperti habis dirampas. Bahkan pada bagian yang terlihat koyak, terlihat ada upaya tetap menyatukan keutuhannya dengan ditambal menggunakan peniti.

“Kalau yang ini menggambarkan berbagai kekayaan arsitektur bangunan Aceh yang rentan hilang dan rusak. Jadi pada bagian yang sobek tapi tetap coba disatukan, menggambarkan kerja dokumentasi yang dilakukan memberi harapan baru tentang upaya pelestarian sekaligus mencermati lebih dalam tentang identitas setempat. Jangan sampai hilang, deh,” tiba-tiba ia muncul di belakangku.
“Eh, dari mana, sih?” kagetku.
“Itu, tadi tiba-tiba ada tamu dari luar, mulai ramai,” ujarnya sumringah. Tentu saja sebagai pusat riset internasional, ICAIOS selalu ramai didatangi oleh tamu baik dari dalam maupun luar negeri. Apalagi dengan pengadaan pameran ini.
Memasuki instalasi terakhir dengan judul Light of Hope. Instalasi ini memvisualkan rasa peduli dan empati melalui gambar yang dibuat oleh anak-anak kelas seni Amerika dari foto-foto anak Aceh yang terdampak tsunami. Penggambaran ulang foto tersebut diwujudkan sebagai bentuk solidaritas, cinta, dan penyemangat. Kedua belas foto dihubungkan dengan utas benang putih menuju lukisan utama yang berada di tengah. Lukisan tersebut bergambar anak-anak dengan cahaya kuning yang mengilhami pertanda bahwa masih adanya kepedulian untuk anak-anak Aceh yang datang dari tempat lain bahkan belahan dunia.

“Contohnya ini, kau lihat. Orang luar cuma tau Indonesia itu, ya, Bali. Foto anak ini dibuat lukisannya jadi berlatar Bali. Karena apa? Dia nggak tahu tsunami yang kena dampaknya langsung di Aceh, Tapi lukisan ini tetap ada, dan jadi simbol harapan bahwa ada dukungan dari luar sana,” tegasnya, kali ini dia bertahan memanduku meski tamu dari luar tersebut juga menuntut penjelasan pada instalasi lain.
“Eh, bentar. Aku ke sana dulu,” kali ini dia pamit.
Melihatnya bergegas pergi, aku termenung berpikir. Apakah pamitnya kali ini akan kembali? Teringat akan bencana yang telah merenggut banyak kepamitan. Harusnya berpisah secara baik-baik, malah didorong paksaan harus ikhlas menerima takdir. Namun justru dengan kehilangan itu mendatangkan ingatan-ingatan yang berharga. Memori yang disimpan baik-baik, digali kembali karena selain dikenang, ia juga baik guna dipelajari. Karena bencana terjadi bukan untuk dapat memperbaiki masa lalu, tetapi demi mengubah masa depan.
Meski asik hilir-mudik, namun tentu kenangan ke pameran KARAT bersamanya akan kusimpan rapi dalam memoriku. Pekan depan ia akan pulang ke kampung halamannya lebih duluan. Meski nantinya kami akan melangsungkan perpisahan, tapi kunjungan kali ini menjadi favoritku. Entahlah, antara karena pameran ini memang memberi kesan tersendiri atau karena waktu perjumpaan kami yang semakin menipis sehingga aku amat menghargai momen yang ada. Kehilangan sungguh menjadikan manusia sadar bahwa apa yang dimiliki sekarang ini nyata berharga.
Ternyata benar, mendatangi pameran dengan tujuh instalasi ini mendatangkan rasa yang tidak akan didapatkan dari layar televisi. Kelima panca indra akan difungsikan, sehingga memaksimalkan sampainya perasaan dan pesan yang ingin dihaturkan.
Memori-memori yang ada, semoga tidak hilang dan lekang oleh zaman. Harusnya ia abadi sebagai pengingat, bahwa kita pernah berhasil melewatinya, sebagai saksi bisu bahwa kekuatan itu masih ada. Maka, jangan biarkan ia berkarat. Seperti dendam, memori harus dibayar tuntas. []
Editor: Masya Pratiwi