Beranda Feature Setengah Abad Stasiun Penelitian Ketambe: Dari Leuser, Aceh untuk Ilmu Pengetahuan...

[Kilasan] Setengah Abad Stasiun Penelitian Ketambe: Dari Leuser, Aceh untuk Ilmu Pengetahuan Dunia

BERBAGI
Stasiun Penelitian Ketambe. 16/07/2021. (Nada Ariqah/DETaK)

Nada Ariqah | DETaK

Aceh Tenggara- Dalam syair Asai Nanggroe gubahan Rafly Kande, kita pasti tidak asing dengan penggalan awal syair yang berbunyi; ‘Asai nanggroe bak rimba tuhan, uteun peulareun hana manusia. Teuka endatu meususah payah. Rimba lheu geuchah geu ilah-ilah daya!’ yang kurang lebih berarti, “Asal negeri adalah dari rimba ciptaan Tuhan. Hutan belantara yang dulu tidak ada manusia. Indatu lalu tiba, membangun (negeri) dengan susah payah. Rimba dibuka, dan dimanfaatkan sumber dayanya”. Menunjukkan betapa alam Aceh, merupakan anugerah Tuhan yang berharga dan telah dimanfaatkan sejak dulu oleh nenek moyang dalam banyak hal di dalam kehidupan.

Dengan beragam kelebihan yang dimiliki alam Aceh, maka tak ayal banyak peneliti lokal dan mancanegara yang datang untuk meneliti dan mempublikasikan kekayaan hutan Aceh. Seiring berkembangnya waktu, beberapa stasiun penelitian juga turut dibangun, termasuk di antaranya Stasiun Penelitian Ketambe yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh.

Iklan Souvenir DETaK

Stasiun Penelitian Ketambe adalah stasiun penelitian orang utan pertama di dunia dan dibangun oleh Herman D. Rikjsen, seorang peneliti Belanda, pada tahun 1971. Diperkirakan tidak kurang dari 300 penelitian telah dilakukan di stasiun ini pada berbagai spesies fauna dan flora. Stasiun Penelitian Ketambe telah menjadi tempat dalam melakukan studi terpadu dan menyeluruh tentang flora dan fauna Taman Nasional Gunung Leuser selama sekitar empat dekade, dan kini Stasiun Penelitian Ketambe telah memasuki setengah abad kehadirannya di tengah masyarakat.

Di balik 50 tahun berdirinya Stasiun Penelitian Ketambe, ada banyak orang-orang di balik layar yang mati-matian mempertahankan keberadaan stasiun penelitian ini. Menurut Arwin yang merupakan Manajer Stasiun Penelitian Ketambe, di tahun 2011, stasiun tersebut pernah sempat ditutup karena konflik pengelolaan antara Aceh dan pemerintah pusat dan berakhir dengan pembakaran stasiun oleh penjahat. Setelah melalui proses yang panjang, beberapa pihak akhirnya membangun kembali Stasiun penelitian ini di bawah kolaborasi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah. Sehingga pada 2015 stasiun penelitian kembali dibuka untuk menerima peneliti nasional dan internasional.

“Waktu pascakebakaran, saya malah sempat ga kepikiran bahwa stasiun penelitian ini bisa jalan lagi kegiatan-kegiatannya. Tapi karena semangat bersama teman-teman aktivis lingkungan. Tadinya stasiun yang hancur, alhamdulillah bisa kembali aktif, bahkan sebelum pandemi ini juga cukup banyak pengunjung baik peneliti lokal, luar negri, dan beberapa media juga ada yang meliput Ketambe ini,” ungkap Arwin yang telah aktif berkegiatan di Stasiun Riset Ketambe sejak tahun 1997.

Semua pengunjung dan peneliti pasti mempunyai cerita tersendiri di sini. Faisal Selian, Manajer Lapangan Regional II dari Forum Konservasi Leuser (FKL) turut menceritakan, bahwa dirinya dan teman-teman menganggap Ketambe sebagai stasiun riset yang sangat progresif nan lestari serta mempunyai pesona tersendiri.

“Kami sebut Ketambe ini seperti hotel bintang lima menuju tujuh. Karena kalau kita di sini selain dapat udara segar dan air yang senantiasa bersih, fasilitas yang sudah ada juga sangat bagus. Kalo kita mau tracking penelitian ke hutan, mungkin jarang kita bisa dapat fasilitas sekeren stasiun riset ini,” ujar Faisal.

Keberadaan Stasiun Penelitian Ketambe juga membawa manfaat untuk masyarakat lokal. Meskipun pernah ada konflik, lewat kerjasama yang baik antar pemerintah, LSM, dan masyarakat, kini banyak masyarakat yang turut ikut serta aktif untuk membangun kawasan Ketambe, seperti ada beberapa warga yang mendirikan tempat penginapan bagi turis serta ada yang berprofesi menjadi pemandu wisata di beberapa objek wisata di desa Ketambe ini.

“Karena perkembangan yang baik ini, Stasiun Penelitian Ketambe bisa jadi salah satu tempat riset internasional, bahkan pernah orang-orang luar harus mengantri alias menunggu jadwal untuk bisa hadir dan meneliti di sini,” sambung Faisal.

Menurut Rahmadani, mahasiswi peneliti asal Aceh Tamiang, hal menarik di Stasiun Penelitian Ketambe ini adalah dirinya dapat memperhatikan lebih dekat dan belajar segala aktivitas orang utan di sekitar kawasan stasiun. Ketika eksplorasi di dalam hutan, mahasiswi ini juga menemukan beragam spesies yang selama ini hanya dilihat dari buku atau artikel saja, seperti burung rangkong, kera ekor panjang, kedih, dan tumbuhan kayu khas hutan tropis seperti pohon meranti, pohon beringin, dan rotan.

“Selama berkegiatan di sini, saya paling tertarik sekaligus terharu waktu bisa berjumpa dan melihat aktivitas orang utan, dan juga bisa melihat pohon perlak yang ukurannya itu besar banget, sampai harus 30 orang yang kelilingin baru bisa dikatakan memeluk pohon.”

Selain eksotisme hutan primer yang sangat khas, para pengunjung dan peneliti juga dapat menikmati dan berkegiatan di kawasan sekitar stasiun penelitian lainnya seperti air terjun Ketambe dan Lawe (sungai) Alas.

Merayakan setengah abad berdirinya Stasiun Penelitian Ketambe di masa pandemi ini memang sungguh sederhana dan jauh dari ramai seperti perayaan hari jadi seperti sebelumnya. Namun di balik itu, berbagai pihak dan orang-orang yang bekerja dalam melestarikan stasiun penelitian ini tentu mempunyai harapan besar agar Stasiun Penelitian Ketambe bisa berjaya kembali, seperti dengan semakin banyak peneliti lokal yang hadir meneliti dan dapat menghasilkan karya penelitian yang berkualitas tinggi untuk pengetahuan di bidang lingkungan dan konservasi di masa mendatang.

“Kalo sekarang di masa pandemi ini kita tau tentu ada kendala atau lebih tepatnya agak sulit untuk masuk karena pelbagai kebijakan mungkin. Sempat ada peneliti dari luar, tapi karena pandemi ini, dia kembali ke negara asal. Jadi, kalo pandemi gini kita ga berharap banyak dari peneliti luar, tapi kita berharap aktifnya peneliti lokal untuk datang dan melakukan penelitian di sini. Dengan fasilitas yang sudah ada meskipun belum maksimal, kami dari pihak pengelola stasiun pastinya akan mencoba membantu memfasilitas peneliti sebaik mungkin,” ungkap Arwin

“Betul, bahkan bisa seperti memfasilitasi beasiswa penelitian bagi adik-adik mahasiswa yang mau meneliti di bidang lingkungan dan konservasi. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli pada alam kita?” Tutup Faisal.[]

#30HariKilasanSejarah

Editor: Sahida Purnama