Beranda Artikel Persepsi yang Ditanamkan Terhadap Keberadaan Geunteut di Aceh, Berdampak pada Perilaku Anak

Persepsi yang Ditanamkan Terhadap Keberadaan Geunteut di Aceh, Berdampak pada Perilaku Anak

BERBAGI
Ilustrasi. (Sumber: Pixabay)

Artikel | DETaK

Masyarakat Aceh pada umumnya mempercayai tentang keberadaan sosok makhluk gaib yang disebut geunteut, diceritakan dari mulut ke mulut hingga terdengar pada anak sekarang. Anak akan memiliki persepsi saat mendengar kata “geunteut”. Geunteut merupakan penyebutan khusus masyarakat tradisional Aceh terhadap sosok makhluk gaib yang diyakini memiliki wujud menyeramkan, berperawakan tinggi, berambut keriting, serta memiliki kaki yang sangat panjang.

Menurut cerita, tinggi mahluk ini mencapai pohon kelapa. Penyebutan geunteut tidak terlepas dari arti geunteut sendiri, yang dalam kosa kata Aceh bersinonim dengan kata panyang atau panjang/tinggi. Membayangkan sosoknya saja sudah membuat merinding, apalagi ibu-ibu biasanya memberitahukan anaknya untuk tidak berkeliaran saat hari mulai gelap atau menjelang magrib karena akan menjadi sebab kemunculan sosok menyeramkan ini dan akan dibawa bersamanya.

Iklan Souvenir DETaK

Menurut cerita warga setempat seperti di Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Jasman, anak berusia 11 tahun yang hilang di halaman rumahnya saat menjelang magrib. Jika mendengar cerita yang disampaikan oleh Ansari (warga tempat kejadian), ibunya baru saja mengalihkan perhatian kepada anak berusia 11 tahun itu sebentar, namun selang beberapa saat ibu Jasman langsung kaget karena Jasman tidak terlihat lagi berada di halaman.

Sebelum diketahui oleh warga ibu Jasman sudah mencarinya disekeliling rumah dan tidak menemukan keberadaan anaknya kemudian barulah para warga setempat dimintai tolong untuk mencari Jasman karena khawatir.

Kerja sama dan usaha yang dilakukan selama tiga jam rupanya tidak memberikan hasil. Pada saat itu lah ada yang mengusulkan untuk mengumandangkan azan di musala terdekat yang disertai doa agar tuhan memudahkan pencarian tersebut. Menurutnya hal itu mungkin dapat membantu pencarian.

Setelah tak lama azan dikumandangkan, hal mengejutkan terjadi, Jasman ditemukan di bawah rumah panggung yang tidak jauh dari rumahnya, tempat Jasman hilang, Padahal menurut keterangan warga setempat, sebelumnya warga sudah ada yang melewati rumah itu dan tidak melihat apapun.

Kejadian ini memang terjadi 18 tahun silam, namun setelah kejadian itu warga setempat menjadi lebih khawatir dan terus mengingatkan anaknya bahkan ada dengan cara yang terkesan lebih terdengar seperti menakuti sang anak. Ketakutan ini yang akhirnya membuat anak-anak setempat cenderung patuh pada perkataan ibu dan ayahnya sehingga tidak akan berada di luar saat hari sudah mendekati magrib. Rangsangan yang diterima anak dari luar yang berlebihan juga tidak akan baik pada anak karena rasa takut yang dialami oleh anak akan berbeda-beda.

Kepercayaan terhadap geuntet belum sepenuhnya hilang, menurut narasumber, Ira (23 tahun) di daerah tempat tinggalnya, Desa Pulo Hagu, Padang Tiji, Aceh, kepercayaan akan hal-hal mistis masih sangat kental, termasuk kepercayaan akan genteut. Sampai saat ini, orang tua masih terus menurunkan kepercayaan tersebut kepada anak-anaknya.

Di Padang Tiji sendiri sering terjadi kasus orang hilang yang diduga diculik oleh genteut. Menurutnya dalam jangka waktu 1 tahun terdapat 2 kasus yang tersebar dari mulut ke mulut.

Pengalaman terkait kasus orang hilang yang diduga karena genteut juga diceritakan oleh salah satu warga Aceh utara berinisial SF (28 thn), pernah terjadi hilangnya seorang anak saat maghrib dan ditemukan kembali setelah azan isya di lokasi yang cukup jauh dari rumahnya.

Masyarakat berspekulasi bahwa anak tersebut dibawa oleh geuntet. Setelah ditemukan, anak tidak banyak berbicara, yang mana menurut kepercayaan warga hal tersebut merupakan salah satu efek setelah di  culik oleh geuntet. Tapi seiring perkembangan zaman hal-hal tersebut semakin jarang didengar.

Kepercayaan pada genteut cenderung kental pada anak-anak dan lansia. Pada anak-anak, biasnya orang tua menanamkan pemikiran bahwa jika berbuat nakal ataupun bermain sampai terlalu larut maka mereka akan diganggu oleh genteut. Maka dari itu anak anak dilarang untuk keluar ketika maghrib, dan akibat persepsi yang ditanamkan oleh orang tua mereka, anak-anak pun menuruti perkataan orang tuanya.

Sedangkan pada lansia sendiri, mereka telah mempercayai hal-hal mistis sejak dahulu, maka tidak akan mudah untuk menghilangkan persepsi ini.

Kalangan yang cenderung tidak percaya pada genteut adalah remaja dan dewasa,. Karena zaman sudah berkembang sangat pesat, banyak masyarakat yang sudah meninggalkan kepercayaan akan hal-hal gaib. Tidak ada perubahan perilaku pada masyarakat dengan golongan usia ini, mereka tidak punya kekhawatiran khusus akan genteut apabila beraktivitas di kala magrib.

Meski begitu, menurut penjelasan narasumber, kasus penculikan oleh genteut banyak terjadi pada remaja dan orang dewasa. Hal-hal yang dijelaskan di atas merupakan salah satu alasan yang menjelaskan kejadian ini. Karena minimnya kepercayaan akan genteut, remaja dan orang dewasa pun tidak khawatir beraktifitas pada waktu magrib.

Menanamkan persepsi terhadap kepercayaan sosok menyeramkan yang memang dipercaya dan diyakini ada keberadaannya tentu saja boleh, namun orang tua harus lebih cermat dalam memberikan informasi dan memberikan pengertian kepada anak agar tetap patuh sehingga tidak ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

Anak secara instingtif akan takut pada hal-hal yang belum dikenalnya, yang bersifat samar-samar dan mengandung rahasia. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pengertian anak, merasa lemah dan bodoh, fantasi anak sering memutarbalikkan dan membesar-besarkan realitas sehingga anak melihat bentuk-bentuk bahaya yang sebenarnya tidak ada.            

Bahkan, akan ada ketakutan yang terbawa di sepanjang tidur anak, ini akan membuat fisik anak terlihat buruk, anak akan takut tidur sendiri bahkan bisa saja demam karena ketakutan yang diciptakan oleh fantasi anak.[]

Artikel ini dibuat oleh Sri Alvi Dhahara, Hishatul Jinan, Diffa Bunga Salsabilla, Aulia Jihadah R, Nurkhaliza, Ira Akmalia, dan Minanda Fitri. Semuanya merupakan mahasiswa Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala  yang berada di bawah bimbingan Mirza, Dosen Psikologi USK.

Editor: Indah Latifa