Beranda Cerpen Lebar-an

Lebar-an

BERBAGI
Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Cerpen | DETaK

“Wid.”

“Iya?”

Iklan Souvenir DETaK

“Kamu lebaran, ya?”

“Ya iya, kak. Kan ini emang lagi lebaran.”

“Bukan lebaran. Maksudnya lebar-an.”

Aku sedang berada di rumah Tante Dina. Sudah rutinitas setiap tahun di hari raya pertama, kami sekeluarga besar berkumpul di sini. Tante Dina adalah adik ayahku, bekerja di salah satu perusahaan tambang. Suaminya, Om Rudi, adalah jurnalis media terkenal. Mereka bertemu di lapangan, saat itu Tante Dina sedang bekerja dan Om Rudi yang meliput mereka. Mungkin ini yang dikatakan orang ‘cinta pandang pertama”.

Kenapa rumah Tante Dina? Karena rumahnya paling besar dan berhalaman luas. Maklum saja, pekerja tambang mana ada yang gajinya sedikit. Sebenarnya sejak tadi, aku sudah ingin pulang. Masih banyak tugas yang menungguku di rumah. Belum lagi deadline-nya yang berturut-turut. Hari ini deadline fisika dasar, besok deadline geologi struktur, lusa deadline kalkulus dan kebencanaan… argh, semakin dipikir semakin pusing.

Heran sekali, lebaran kok masih ada tugas. Daripada diberi tugas, lebih baik beri kami THR saja, pak, bu. Bukan tugas hari raya, tapi yang benar-benar tunjangan hari raya.

“Emang dosennya enggak lebaran, yo?” canda ayah tadi pagi ketika aku menolak untuk ikut ke rumah Tante Dina. Ayah tetap memaksaku ikut dengan alasan ‘setahun sekali’, dan voila, aku akhirnya di sini dengan segenap kedongkolan dalam hati.

Apalagi setelah mendapatkan percakapan barusan yang sangat sensitif.

“Emm… kenapa, kak?”

“Kamu, lho. Perasaan bulan lalu kita jumpa kamu enggak segede ini, sekarang kok makin besar aja.”

Lawan bicaraku adalah Kak Mira, sepupuku, beda dua tahun. Dia adalah anaknya Bude Tira, kakak ayahku. Kami berkuliah di kampus yang sama, fakultas yang sama pula, namun beda prodi. Makanya kami sering jumpa.

Duh, tapi sementang lebih tua, bukan berarti seenaknya ngomong gitu.

“Perasaan kakak aja mungkin, yok kak,” ucapku sambil mengambil beberapa kerupuk di toples dan pergi. Aku urung berdebat. Selain karena ini hari lebaran, di belakang kami sudah mengantri saudara yang lain untuk bergiliran mengambil lauk di meja. Saatnya jam makan siang.

Kami lesehan di ruang tengah. Aku duduk di sebelah kembaranku, Winda.

“Win, aku kesel,” bisikku.

“Kenapa?” balasnya.

“Masa tadi katanya aku lebih gendut.”

“Opo, toh, mangan bisik-bisik. Mangan yo mangan1,” bunda memotong perbisikan kami. Aku cuma bisa ngedumel sendiri.

1 Apa sih, makan bisik-bisik. Makan ya makan

Kami pun makan bersama setelah Bang Wisnu, sepupu yang paling tua, memimpin doa. Menu hari ini adalah lontong rendang. Sejujurnya ini menggiurkan, tapi…

“Eh, Widya. Banyak juga makanmu, ya,” Bang Wisnu memulainya lagi.

“Iya, woi. Bang, lihat badannya. Makin mekar dia. Kemaren pas jumpa samaku gak gitu, tau,” tambah Kak Mira. Abang adik sama saja.

“Kak Widya gendut? Gak mungkin, Kak. Kak Wid selalu cerita ke Dea kalo kegiatan Kak Wid banyak, makanya gak sempet main ke rumah. Pasti Kak Wid makin banyak aktivitas makin kurus la, Kak,” celoteh Dea, anak Tante Dina. Dea adalah sepupu kami yang paling kecil. Baru duduk di kelas 4 SD, tapi gaya berbicaranya sudah seolah yang paling tahu segalanya.

“Lihat, De, piring Kak Wid-mu. Penuh, tuh,” ejek Kak Mira lagi.

“Apaan, Kak. Namanya juga lapar, kalo masalah penuh punyaku juga penuh nih, kak, lihat,” bela Winda sambil menunjukkan piringnya.

“Heh, uwes uwes, ojo gado lho2. Ributin gendut, Mbah lebih gendut,” akhirnya Mbah kami menutup keributan. Ruang tengah pun penuh oleh riuh tawa.

2 Heh, sudah sudah, jangan bertengkar lho

Pembicaraan selanjutnya adalah kabar pekerjaan masing-masing orang tua kami. Diselipkan dengan candaan ala bapak-bapak. Masalah melawak, ayahku jagonya.

Makanan mulai tandas. Agenda berikutnya adalah menikmati kue lebaran, sambil tetap berbincang-bincang tentunya. Tapi sebelum itu, aku, Winda, dan Kak Mira harus mencuci piring. Tanpa disuruh, kami sudah janjian pergi ke belakang. Piring-piring sudah diangkat Bang Wisnu dan Om Rudi.

Selama mencuci piring, aku terus memandangi Winda. Winda membalas pandanganku, seakan bertanya ‘apa, Wid?’ Aku melirik Kak Mira, ‘malas banget ntar aku bakal diomongi lagi.’ Winda hanya tersenyum, ‘udah la, diemin aja nanti.’

Namun hingga selesai mencuci piring, Kak Mira tidak heboh lagi membicarakanku. Dia banyak bertanya tentang Dana, teman seangkatanku yang terkenal karena parasnya yang lumayan. Jangankan kami satu angkatan, bahkan angkatan atas juga banyak yang meliriknya, termasuk Kak Mira. Tapi itu tidak penting, karena sekarang aku sudah bebas dari cibirannya. Mungkin setelah ini aku harus berterima kasih kepada Dana.

Selesai mencuci piring, kami bertiga kembali ke ruang tengah. Aku langsung mengambil posisi duduk, membuka toples kue bawang, mengambil isinya, dan memakannya. Winda ikut. Kak Mira pun tak mau ketinggalan.

“Widya, widya… kue bawang iku jadi favorit e nang oma. Ra eneng kue bawang, ra gelem lebaran3,” canda ayah. Kami tertawa.

3 Widya, Widya… kue bawang itu jadi kesukaannya di rumah. Gak ada kue bawang, gak mau lebaran

“Pantes wae kata bocah-bocah iki, Widya gendut. Rupa e ngemilin kue bawang yo, Nduk4,” imbuh Mbah. Aku cuma bisa senyum-senyum.

4 Pantas aja kata anak-anak ini, Widya gendut. Rupanya ngemilnya kue bawang ya, Nak

“Aku ora opo, Mbah, dikatain. Sing aku ra suka, cara ne bilang iku lho, Mbah, nyelekit gitu5,” ucapku sambil melihat Kak Mira.

5 Aku gak apa, Mbah, dibilangin. Yang aku gak suka, caranya bilang itu lho, Mbah, nyakitin gitu

Aku memang tidak pernah mempermasalahkan badanku sendiri. Mau orang berkata apa, aku selalu terima. Yang kupermasalahkan adalah bagaimana cara orang tersebut mengatakannya kepadaku.

“Lho, aku, Wid? Kenopo?” Kak Mira angkat suara.

“Yo, aku ra suka sih, kak. Dari tadi kakak ngomongin aku mulu,” jawabku.

“Tapi yang dibilang Mira kan bener, Wid?” Bang Wisnu dari luar baru masuk rumah, langsung menyerangku.

“Iyo, bang. Tapi cara ne iku, bang. Aku juga ra suka,” gantian Winda yang menjawab.

Emang kepiye cara ne toh?6” pertanyaan Bang Wisnu lebih mirip menginterogasi kami.

6 Emang gimana caranya?

Sek sek7, gini bang,” aku menjawab duluan sebelum Winda menumpahkan emosinya.

7 Sebentar sebentar

“Kemaren aku dapet undangan. Bang Fuad, kawan abang yang alumni fakultas aku, mau nikah. Bang Wis kapan nyusul?”

Bang Wisnu terdiam sambil garuk-garuk kepala.

Jodoh e jek mlayu8, Wid,” Tante Dina datang sambil membawa senampan minuman es sirup. Kami tertawa lagi.

8 Jodohnya masih kabur

Tidak terasa sudah satu harian kami menghabiskan waktu di rumah Tante Dina. Walaupun tadi sempat menyesal ikut, tapi sekarang tidak. Ayah benar, aku harus menunggu setahun lamanya untuk momen sekali setahun ini.

Bagian terbaiknya adalah aku senang karena dapat memalukan Bang Wisnu. Bagian terburuknya adalah aku lupa bahwa sebelum pulang, kami melangsungkan prosesi sungkeman dulu. Aduh, pasti aku harus minta maaf ke Bang Wisnu.

“Wid, maafin abang tadi ya. Harusnya gak ngejekin kamu. Makasih juga tadi udah kasih pelajaran, abang ngerti sekarang,” tidak disangka, malah dia duluan yang minta maaf.

“Widya juga minta maaf, Bang. Mungkin yang tadi terlalu kasar. Widya padahal tau, nanya kapan nikah itu gak sopan banget yo, bang. Walaupun niatnya buat becandaan. Maafin Widya, bang,” balasku sambil cengar-cengir. Astaga, bahkan di saat seperti ini aku masih menahan gengsi.

“Kakak juga, Wid. Kakak yang mulai. Padahal mah, tadi kakak juga mau ambil banyak lontongnya, gak jadi, kakak malah takut gendut” jujur Kak Mira kali ini.

“Iya, Kak, Widya udah maafin kok. Widya sama Winda juga minta maaf ya Kak, tadi…” Aku menyenggol Winda yang asik bermain dengan Dea.

“Oh gini kak, tadi kami sempat buruk sangka sama kakak, pas nyuci piring. Kami pikir kakak bakal ngomongi Widya lagi. Sebenarnya Widya doang yang mikir gitu sih, kak. Winda iyain aja,” lawak Winda. Aku memelototinya.

“Aneh juga lihat kita akur gini. Udah, Kak, Bang. Jangan lupa THR,” sambungnya sambil menyodorkan tangan. “Jadi kita udah saling memaafkan?” tanya Kak Mira. “Aman, Kak. Hati Widya terbuka selebar badan.” []

Penulis bernama Shahibah Alyani, salah satu anggota aktif di UKM Pers DETaK Universitas Syiah Kuala.

Editor: Cut Siti Raihan