Cerpen | DETaK
Gadis itu melihat pemandangan sawah dari luar kaca mobil, tak ada yang istimewa dengan pemandangan di luar, hanya hamparan luas sawah yang telah menguning. Pikiran gadis itu tak karuan sejak ia menginjakkan kakinya dalam mobil, ia pulang menuju kampungnya.
Gadis itu memegang erat buku tipis yang bertuliskan namanya di dalamnya. Jantungnya seakan ingin meledak, nafasnya tertahan, dan bulir keringat membasahi kulit sawo matangnya. Belum pernah sekalipun ia merasa gugup seperti ini, bahkan ketika berhadapan dengan dosen penguji pun ia tak gugup separah ini.
Buku itu ia pegang dengan penuh harapan, buku yang ia dapatkan dari hasil belajar selama 3,5 tahun di sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. Buku yang telah ia impikan sejak 2 tahun lalu, bukan karena buku ini bukti ia telah menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, bukan juga karena ia tak sabar memberikannya pada orang tuanya. Buku ini ingin ia berikan pada kakeknya. Seketika ingatan lalu muncul dan memenuhi pikirannya. Memori penuh luka itu seakan enggan meninggalkan dirinya, terus menetap, sepertinya akan abadi.
2 tahun lalu
Gadis itu menatap raut wajah kakeknya yang kerap ia panggil dengan sebutan Abah. Raut wajah kakeknya seakan dengan jelas menceritakan semua kisah hidupnya. Keriput yang timbul karena faktor usia pun tak luput ia pandangi. Sejak puasa ke-20 kakeknya telah di rawat di rumah karena penyakit lambung.
“Abah mau minum?” tanya si gadis pada kakeknya, yang di jawab dengan gelengan oleh kakeknya, pertanda kakeknya tidak ingin minum. Ia kembali ke sisi kiri kasur untuk memijit kakeknya. Tak ada kata yang keluar dari mulut Abah, bahkan untuk bernafas pun Abah harus di bantu dengan tabung oksigen. Matanya tertutup, si gadis memperhatikan kakeknya yang memenjamkan mata sambil berdoa dalam hati agar kakeknya segera diberikan kesembuhan. Tak pernah ia bayangkan kakeknya terkulai lemas di atas kasur seperti ini tanpa ada canda dan tawa yang biasa di ucap kakeknya.
Tiba-tiba kakeknya membuka mata dan melihat ke arah luar jendela lalu beralih menuju mata si gadis. Tampak binar pada mata kakeknya menghilang, binar yang telah ada selama puluhan tahun itu seakan hilang di curi penikmat sinar.
“Abah mau apa? “ Tanya si gadis.
Tak ada jawaban dari kakeknya. Ia kembali memijit dan tersenyum ke arah kakeknya.
“Pegang Abah” ucap kakeknya.
“Haa?”
“Pegang Abah?“
“Iya Abah ini adek pegang Abah,” jawab si gadis sambil mengeratkan genggaman pada tangan kakeknya.
Lalu kakek tersebut kembali menutup mata.
Ternyata kata-kata itu menjadi kata terakhir kakeknya sebelum kakeknya menyetujui pergi bersama malaikat Izrail untuk menghadap pada Sang pemilik semesta. Tak ada lagi raut kesakitan pada rautnya, tak ada lagi bulir keringat yang membasahi tubuhnya. Hanya ada goresan kedamaian di wajahnya. Pria berumur 73 tahun itu telah selesai menunaikan tugasnya di dunia.
“Oh Tuhan” batin si gadis.
“Ia telah menarikku ku dari gelapnya dunia, ia telah menyelamatkanku dari laparnya kehidupan, ia telah bahagiakan aku dari sengsara dunia, kini berikanlah ia kebahagian abadi pada rangkulmu, kenyangkan ia dengan makanan surgamu, dan bebaskan ia dari azab mu,” pinta si gadis dalam hatinya, seakan ia mengadu pada Tuhan tentang kebaikan kakeknya.
Ingatan itu seakan menjadi teman hidupnya setiap saat, tanpa ia sadari bulir air mata jatuh membasahi pipinya seakan luka yang dirasa baru terjadi kemarin. Mobil yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih. Gadis itu telah sampai di kampung halamannya. Ia turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, di dalam ia disambut dengan pelukan hangat dari orang tuanya.
“Gimana tadi di jalan? Ada pusing? ” tanya ibunya.
“Pusing sedikit karna tadi supirnya balap-balap,“ jawab si gadis.
“Oh yaudah mandi sana terus istirahat biar ilang pusingnya,” ucap ibunya
Sambil menganggukkan kepala si gadis pergi menuju kamarnya untuk mandi. Selesai mandi ia berguling ke atas tempat tidur sambil menatap buku tipis yang sejak dalam mobil ia pegang erat. Rasa kantuk menyerangnya, ia pun tertidur.
Harum nasi goreng seakan mengajaknya untuk segera bangun dari tidur nyeyaknya. Ia bangun dan langsung pergi menuju meja makan. Dilihatnya sepiring nasi goreng yang dihiasi dengan telur dadar tak lupa segelas teh hangat tersaji di atas meja makan. Tanpa menunggu lama ia langsung memulai ritual paginya.
“Ah Alhamdulillah kenyang, nasi goreng mama emang nomor 1,” ucap si gadis pada ibunya ketika ia selesai makan.
“Eleh manada, Adek ada mau kemana hari ni? “ tanya ibunya.
“Mau ke tempat Abah,“ jawab si gadis.
“Yaudah siap-siap terus biar Mama antar,” ucap ibunya.
Gadis itu menuju kamarnya, ia bersiap- siap untuk pergi ke tempat Abah, ia mengambil buku tipis yang dari kemarin ia bawa, tak lupa ia mengambil Al-Qur’an.
Ia telah sampai di tempat kakeknya. Dilihatnya pusara yang ada di depannya, gadis itu mulai mencabuti rumput yang tumbuh di sekeliling pusara itu dan mengambil dedaunan kering yang jatuh di sekitar pusara itu.
Dilihatnya nama yang tertulis di batu nisan, nama yang sangat ia kenal, nama yang sangat ia rindukan sekaligus nama yang sangat ia banggakan. Ia mulai membaca yasin sebagai hadiah kepada sang pemilik pusara, tak bisa ia tahan, rasa rindu yang teramat mulai mendatanginya, bulir air mata kembali jatuh menemaninya sampai ia selesai membaca yasin. Setelah ia membaca yasin ia melihat ke arah batu nisan sambil berkata,
“Abah ini Adek, Adek baru pulang dari Banda.” ujar si gadis.
“Abah salah satu janji adek sama Abah udah adek selesaikan Bah, ini ijazah S1 adek Abah” ucap si gadis sambil menaruh buku tipis yang bernama ijazah itu di samping batu nisan kakeknya.
“Adek akan terus menuntut ilmu Bah, Adek akan jadi orang sukses kayak yang Abah inginkan,” kata si gadis sambil memeluk batu nisan bertuliskan nama orang berharga baginya itu.
Air matanya seakan enggan berhenti, ia menangis bahagia dan juga menangis karena kerinduan. Ia bahagia telah menepati janjinya pada kakeknya, namun ia sedih karena tak bisa memberikan ijazah itu sambil memeluk kakeknya.
Perjalanan gadis itu masih sangat panjang, masih banyak janjinya pada abah yang harus ia penuhi, masih banyak harapan orang tuanya yang harus ia kabuli, masih banyak cobaan dari tuhan yang harus ia lewati dan masih banyak perjuangan yang harus ia lalui. Ia akan terus menuntut ilmu dan menjadi orang sukses seperti keinginan kakeknya. Petuah dari kakeknya seakan menjadi pegangan pasti dalam melewati kejamnya dunia, dan doa orang tuanya juga menjadi obat dalam setiap kesulitan yang ia alami. Gadis itu beruntung. Ia beruntung karena menjadi cucu Abah. Gadis itu aku.
Penulis bernama Hayana Yasmin, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala Angkatan 2019.
Editor: Hijratun Hasanah