Beranda Cerpen Hokus Pocus

Hokus Pocus

BERBAGI
Ilustrasi. (Yaumil Farah Alyssa/DETaK)

Cerpen | DETaK

Universitas Garda Bangsa Mewajibkan Mahasiswa Vaksin Covid-19

Begitulah isi pesan yang muncul dari pop up smarthphone-ku. Mataku spontan melirik kembaranku yang duduk di sudut kamar. Mata kami saling bertatapan.

Iklan Souvenir DETaK

“Jangan bilang Papa, kalau gak mau kita diceramahin kayak minggu kemarin!” ucap Hana mengancam. Jadi berita itu juga muncul di layar HP-nya.

Aku menarik napas dalam dan menyandarkan diri di kepala ranjang.

“Grub Whatsapp Papa harus kita bersihin deh kayaknya. Setiap buka HP, Papa pasti langsung elus-elus dada. Karena grub lambe komplek, Papa enggak pernah lagi mau periksa diabetesnya.”

Hana mengalihkan etensinya ke arahku. “Emang pada bahas apa sih tu grub tetangga?”

“Abang pernah liat Pak Juna ngirimin berita kalau vaksin ada kandungan babinya. Bu Lilis juga pernah ngomong kalau setiap yang ke rumah sakit itu pasti bakal dicovidkan. Kayaknya dari situ sih Papa gak pernah ke rumah sakit lagi buat jumpain dokter Galang.”

Hana mentapku sendu. “Padahal Mama bilang seminggu ini Papa sering ngeluh sakit kaki. Parah bener tu berita tetangga.”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

***

Seminggu telah berlalu setelah berita wajib vaksin itu beredar. Dari sekian banyak mahasiswa komunikasi yang ada di kelas, hanya aku dan Hana yang belum vaksin. Hana sudah membicarakan ini dengan ibuku, ia setuju tanpa mempertanyakan apapun, demi kebaikan bersama katanya. Berarti tinggal giliranku membujuk papa untuk ikut menyetujuinya.

Aku jadi ingat ucapan pak Salman, dosen Sosiologi, sebelum mengakhiri kelasku tadi.

“Kalian pernah dengar hoax? Hoax katanya berasal dari istilah sihir yaitu hokus pokus yang artinya ‘tidak ada’, sesuatu yang tidak ada kemudian dihadirkan sehingga menjadi ada. Saya yakin selama pandemi ini hoax banyak mengambil peran dalam perjuangan pemerintah melawan Covid-19. Perlawanan dari korban misinformasi hoax misalnya. Kejadian tersebut sangat amat memprihatinkan. Sejumlah orang, menolak divaksin karena diberi tahu vaksin Covid-19 menyebabkan penerimanya wafat dalam tiga tahun sejak vaksin diberikan. Sebagian orang yang memercayai informasi itu kini telah berpulang dan anggota keluarga yang ditinggalkan pun mulai tersadar bahwa hoax telah merenggut orang-orang tercinta. Kami para dosen komunikasi dan semua dosen yang ada di kampus ini mencoba mengangkat pesan-pesan itu agar semakin banyak yang tahu bahwa hoax itu bukan soal main-main. Ini masalah serius dan menyangkut nyawa orang banyak. Saya harap mahasiswa sebagai insan-insan terpelajar ini juga bisa berkontribusi dalam hal penanggulan hoax,” jelas pak Salman.

Entah berapa lama aku melamun bagaimana cara meyakinkan papaku agar mengizinkan kami vaksin. Bahkan pikiranku mulai memberi ide untuk mengajak satu keluargaku sekalian untuk vaksin massal.

Ardi dan Hana datang dengan semangkuk bakso di tangan masing-masing.

“Lho, kalian tidak sekalian memesan punyaku?”

Mereka berdua menggeleng kompak. Dasar adik dan calon adik tidak berakhlak mulia.

“Ingat, Di! Restuku terkadang hadir hanya karena semangkuk bakso,” bisikku pada Ardi dan berlalu dari kantin kampus yang mulai ramai.

***

Brak!

Hana muncul di bingkai pintu kelas dengan napas putus-putus, bajunya juga basah karena keringat. Tapi bukan itu masalahnya, dia menggebrak pintu kelas saat dosenku sedang mengajar. Semua mata tertuju padanya.

Jari telunjuknya mengarah padaku. “Bang, pulang sekarang! Papa masuk rumah sakit.”

Setelah mendengar itu telingaku mulai tak berfungsi dengan baik. Jantungku memompa kencang hingga kurasa dia mau keluar dari rongga dada.

Aku bangkit tanpa ragu dari kursi. “Maaf, Pak. Saya harus segera pulang.” Tanpa menunggu jawabannya aku langsung bergegas menarik tangan Hana dan keluar kelas dengan perasaan campur aduk.

***

Aku sampai di IGD pukul 3 siang. Hana langsung berhamburan ke pelukan ibuku saat melihat papa yang terbaring lemah di atas bangkar dengan oksigen membantu pernapasannya.

Seorang dokter menghampiri kami. “Saya minta wali dari pasien Fahmi untuk ikut saya ke ruangan,” titah dokter muda itu.

Aku langsung bangkit menawarkan diri.

“Pak Fahmi posistif Covid-19. Diperkirakan sekitar tiga hari yang lalu. Jadi saya harap semua yang sempat kontak fisik dengan beliau selama di rumah untuk segera menjalankan rapid test.”

Aku menunduk dalam. Cobaan besar sedang menimpa keluargaku.

Aku dan Hana terbukti negatif, sedangkan ibuku positif jadi harus ikut dirawat bersama papaku di RS ini.

***

Pagi ini Hana tiba di RS dengan menenteng plastik laundry. “Kata Mama, Bang Angga harus pulang, mandi! Lagi pula kita kan gak bisa masuk, Bang. Abang bisa sakit lho kalau terus-terusan ngotot nunggu di parkiran RS gini.”

Hana benar, semenjak kami terbukti negatif aku dan Hana tak pernah sekali pun bertemu dengan orang tuaku lagi. Yang aku lakukan hanyalah berdiam diri di dalam mobil ini sambil siaga mengecek notifikasi HP selama 24 jam. Aku hanya takut ayah dan ibuku sewaktu-waktu akan membutuhkanku sedangkan aku tak berada dalam jangkauan mereka.

“Pulang, gak?!” bentak Hana sambil memelototiku.

Aku menyerah. “Oke… kita pulang setelah nitipin baju ini ke petugas RS.”

***

Dering benda pipih milik Hana yang tergeletak jauh di atas kasur mengganggu ketenanganku. Kuletakkan mangkuk bubur yang sedang kusantap tadi ke atas meja dapur dan berjalan ke kamar Hana.

“Siapa yang nelpon, Na?”

“Shutt… diem dulu, Bang!”

Aku mengambil tempat duduk di sisi ranjang sedangkan Hana berdiri di hadapanku. Raut mukanya serius tidak seperti biasanya.

“Angga Maheesa itu abang saya, dok… Baik.”

Hana menyodorkan HP-nya ke depan wajahku. “Dokternya papa nyariin Abang.”

Tanganku langsung menyambar HP-nya. “Saya Angga, Dok. Ada apa, ya?”

Terdengar hembusan napas kasar di seberang panggilan. Lama dokter itu menjeda ucapannya.

Tapi saat itulah aku mulai paham ke mana arah pembicaraan ini.

“Mohon maaf. Tapi ayah anda sudah berpulang.”

Tanganku bergetar. Napasku tercekat di tenggorokan, padahal seharusnya aku harus mengucapkan sesuatu pada dokter ini sekarang. Mataku tak bisa menipu perasaanku yang hancur. Seiring dengan jeritan memilukan Hana, air mataku mengalir.[]

Penulis adalah Fitri Ramadina, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota di UKM Pers DETaK USK.

Editor: Indah Latifa