Beranda Cerpen Sandal Hijau Nek Imah

[DETaR] Sandal Hijau Nek Imah

BERBAGI
Ilustrasi. (Wendi Amiria/DETak)

Feti Mulia Sukma | DETaK

“Ra, ikut tarawih?” pertanyaan umi membuyarkan keseriusanku meneguk segelas air kelapa yang terlampau segar untuk buka puasa. “Ikut dongg Umi” jawabku semangat, setelahnya langsung kusambar sepotong kue lapis yang manisnya semanis wajahku.

Tahun ini, rahmat Allah luar biasa untukku karena aku dapat kembali berkumpul melaksanakan ibadah bulan Ramadan bersama keluarga. Setelah merasakan bulan puasa di tempat orang tahun lalu, kudapati bahwa tak ada yang lebih kurindukan selain rumah dan kampung halamanku. Memang ketika pandemi mulai melanda akhir maret tahun lalu, aku memutuskan untuk tidak pulang ke Aceh. Selain menghindari hal-hal berbahaya yang tidak kuinginkan, ada beberapa agenda penting yang harus aku ikuti sebagai perwakilan kampusku, IPB.

Iklan Souvenir DETaK

“Udahan yuk makannya, kalau kita telat jalan takut engga kebagian tempat” umi bergegas membereskan meja makan sebelum sempat kami melahap abis takjil dan sop buah menu buka puasa hari kedua.

Setelah berwudhu dan memakai mukena, aku keluar rumah. Sudah ada salma dan beberapa saudaraku yang lain di Lorong depan rumah. Kebiasaan kami berjalan kaki menuju masjid menjadi salah satu alasan aku merindukan suasana puasa di kampung. Aku berjalan cepat mengikuti salma yang terlihat asik dengan ponselnya. “Maaa… Salma! Apa kabar?” sapaku, salma terlihat terkejut dengan kehadiranku. “Eh, Rara balik aceh? Kok aku gak tau, kapan Ra pulang? rindunyaaa..” Aku tersenyum mendapati Salma yang heboh dan senang dengan kepulanganku.

“Padahal aku balik pas meugang. Karena salma terlalu sibuk kita gak sempat jalan, WA-ku juga gak dibaca” Salma cengar-cengir mendengar perkataanku. “yahh.. kamu tau kan ra, sejak awal puasa remaja masjid kita udah sibuk nyiapin persiapan syiar Ramadhan. Karena tahun lalu kita vacum, tahun ini harus lebih kece kan ra”. Aku hanya mengangguk sambil menepuk- nepuk pelan bahu salma si gadis yang pintar mencari alasan ini. ya, aku tahu, sudah menjadi kebiasaan tiap tahun di kemukimanku mengadakan acara syiar Ramadhan. Salma adalah salah satu panitia penting acara itu

 “Kamu gak pengen ikutan jadi panitia tahun ini ra?” yup! Pertanyaan wajib tiap tahun yang salma lontarkan untukku. Tahun ini dengan semangat kusanggupi “ikutaannn… kemarin sore bg iyan ajak aku masuk panitia bagian acara, aku belum iya-in karena…” gedubrakkk. Seorang anak kecil yang mengayuh sepeda merah menabrak pagar masjid. Kulihat anak itu terjatuh dan meringis kesakitan. Kami bergegas ikut berlari untuk menolong bocah bersarung itu. Seorang jamaah masjid yang ikut menolong anak itu bertanya keadaannya “sakit dik? Sanggup jalan kamu?”. Bocah malang satu itu hanya tertawa saat ditanyai. Sepertinya dia malu dengan kejadian tadi.

Di saat aku dan salma membantu membereskan barang-barangnya yang berjatuhan, kulihat sepasang sandal jepit berwarna hijau, sontak aku berteriak “ ma! Sandal jepit hijau!” salma terkejut, dilihatnya sandal yang kutunjuk tadi dengan mata penuh keheranan. “apa sih ra heboh banget!” ternyata salma tidak paham dengan kode-anku. “ ih salma, sandal jepit hijau lho! Sandal jepitnya Nek Imah!” salma berpikir sejenak sebelum ikut berteriak heboh sepertiku “ohhh iya ra! Sandal hijaunya mirip punya Nek Imah! Hahahahhha” kami tertawa. Bocah tadi dan beberapa jamaah lain melihat kami dengan penuh keheranan.

Di dalam masjid, aku dan salma duduk berdampingan. Suasana puasa yang kurindukan tahun lalu dapat kunikmati sepuasnya kali ini. Sesekali, kami melihat teman-teman masa kecil yang sudah lama tidak kujumpai. Mereka banyak berubah. Dulu, ketika masih TK, aku dan salma menjadi yang termuda diantara anak-anak yang suka bermain di halaman masjid saat tarawih. Lumrahnya anak-anak yang sering berisik dan suka main, kami sering ditegur dan dimarahi Nek Imah. Menurut cerita dari teman-temanku, Nek Imah adalah salah satu warga kampung sebelah. Beliau terkenal dikalangan anak-anak karena sikap disiplin dan tegasnya, inilah yang membuat beliau menjadi orang yang paling kami takuti ketika datang ke masjid. Nek Imah tidak segan-segan mengusir anak-anak yang ribut dan suka bermain di dalam masjid. Tidak ada yang berani mencari masalah jika beliau ada di masjid.

Pernah sekali, kami bermain lempar sandal di halaman belakang masjid dekat parkiran bawah. Saat itu, karena kekurangan sandal, kami mengambil sandal jepit warna hijau untuk melengkapi jumlah sandal yang kami butuhkan. Sandal jepit hijau itu sangat ringan, jadi tidak sakit jika mengenai badan. Permainan yang kami mulai sejak selesai shalat isya ini berlangsung menyenangkan. Banyak dari kami yang berulang kali harus jajan dan membeli minuman karena kelelalahan.

Sandal hijau tadi terus-terusan kami lempar kesana dan kemari sebelum akhirnya berada di tanganku. Jamaah masjid baru selesai mengerjakan shalat tarawih, kudengar imam melantunkan “autiruu…” yang berarti selanjutnya akan melaksanakan shalat witir.

Kini giliranku melemparkan sandal ke arah kanan untuk mengenai kubu lawan. Ada rasa takut dalam diriku ketika kurasakan sandal ini seperti memiliki aura mengerikan jika sampai aku salah lempar. Aku semakin khawatir ketika teman-teman menyuruhku untuk cepat-cepat melempar.

Aku hilang kendali, ayunan tanganku terlalu cepat ketika melempar sandal itu, kudengar suara brakk  setelahnya. Oh tidak, sandalmya melewati pagar masjid dan masuk ke dalam kebun pisang. Anak-anak yang tadi sedang asik bermain ikut tegang ketika menyaksikan kejadian barusan. Aku menangis. “gimana dong… gimana ini, rara takut. Itu sandal siapa? Gimana kalau yang punya sandal marah sama rara?” tubuhku gemetar karena ketakutan. Salma dan beberapa anak perempuan mencoba untuk menenangkanku, sementara bang iyan dan anak-anak laki yang lain buru-buru memanjat pagar untuk mencari sandal jepit hijau.

Kudengar orang-orang sedang bershalawat di dalam masjid. Oh tidak, mereka akan segera selesai. Aku mencoba melompat ke luar pagar untuk ikut mencari sandal, tetapi bang iyan tak mengizinkan, “rara disitu aja, biar bang iyan dan yang lain cari sandalnya”

Suasana semakin menegang ketika samsul berteriak sambil lari ngos-ngosan “lari semua lariii… Nek Imah marah sandal hijaunya hilang.. lari oiii itu sandal Nek Imah” Deg. rasanya saat itu tubuhku melayang dan ikut hilang bersama sandal hijau. Bang iyan dan salma menarikku untuk kabur. Kami berhamburan melarikan diri meninggalkan Nek Imah yang kalang kabut mencari sandalnya “siapa yang buang sandal hijau saya hah!!!!! alahai aneuk manyak ka jipeugadoh silop gop! Nyan kapreh ku tumeung singoh wakkah!”

Kejadian itu teringat jelas diingatanku. Setiap hari aku memberanikan diri meminta maaf pada Nek Imah. Tapi aku terlalu penakut, membayangkan Nek Imah akan menceramahiku di depan anak-anak yang lain membuatku gentar. Hingga saat ini, perasaan bersalah memenuhi hatiku ketika mengingat Nek Imah.

“kalau ingat Nek Imah, aku ingatnya kamu ra. Abis kamu kocak banget, sok-sok-an mau manjat pagar nyari sandal, hahahaha” cerita Nek Imah masih berlanjut kami bicarakan selesai shalat tarawih. Setelah dzikir dan shalawat, aku mencari-cari dimana Nek Imah duduk. “Nek Imah datang gak ya hari ini?” tanyaku pada salma. “aku kurang tahu ra, udah lama aku gak ingat Nek Imah. Baru juga barusan aku ingat lagi” jawaban salma membuatku kesal, “dasar tukang lupa kamu ma, sama”

Dalam perjalanan menuruni tangga masjid, kami masih terus mencari sosok Nek Imah. Nihil, tampaknya memang beliau tidak datang malam ini. Salma masih terus menggodaku karena kejadian masa lalu, “mungkin kalau gak ditarik sama bang iyan, kamu kena tangkap Nek Imah ra” mengingatnya membuatku tersipu. “ada-ada saja” ucapku pelan. “eh bang iyan!” teriakan salma mengejutkanku.”bang, ada humaira ni! Sehe reuniii” Jantungku rasanya jatuh kebawah, kutarik salma dan kucubit ikhlas lengannya.

Dari dekat pagar masjid tempat kejadian tabrakan sepeda tadi, Bang iyan menoleh. Ia tersenyum, oh tidak, lagi-lagi hatiku rasanya ingin berteriak. “hai ra, hai salma” sapa bang iyan. Aku hanya menganguk. “bang ingat Nek Imah gak?” mulai, gadis satu ini memang suka buat orang darah rendah. “ingat! Sandal hijaunya Nek Imah legenda!,” kami tertawa,.

Mengingat bagaimana kami tumbuh dalam lingkungan yang penuh kenangan ini mebuatku berulang kali mengucapkan syukur. Aku hidup ditengah-tengah orang-orang yang baik. Nek Imah salah satunya. Kalau bukan karena sandal Nek Imah yang kuhilangkan hari itu, kami tidak akan di sidang habis-habisan oleh teungku imam dan kakak-kakak remaja masjid. Terbukti setelah kejadian itu, banyak anak-anak yang lebih memilih ikutan tarawih daripada kena omel Nek Imah.

“abang tahu kabarnya Nek Imah?” tanyaku kepada bang iyan. “bang iyan juga kurang tahu ra. Humaira mau minta maaf karena ngilangin sandal hijau Nek Imah ya?” duh, ternyata bukan salma saja yang ingat tragedi itu. Semua anak kampungku dan kampung sebelah ingat!.”dulu rara nangis karena takut dimarahi, ingat gak ra?” goda bang iyan. “ingat…makasih bang iyan udah nolongin rara nyariin sandal Nek Imah” balasku pelan. “udah sepatutnya kan abang bantuin kamu ra, abang gak suka liat kamu nangis” saat ini, salma sedang habis-habisan menertawakan mukaku yang merah padam. “ya…. Walaupun cantik” lanjut bang iyan pelan. Aku terdiam, gugup sekali.

Ketika kulihat umi dan aina berjalan ke arahku, buru-buru aku meminta izin kepada bang iyan untuk pulang. bang iyan hanya tersenyum. kutarik lengan salma yang tidak berhenti menertawakan tingkahku.

Sesampai dirumah, pikiranku masih menerawang. “gimana ya kabar Nek Imah sekarang?” sudah kutanya aina, dia tidak tahu. Umi juga tidak begitu ingat.  Sekarang hanya abi harapanku. Aku bergegas ke dapur. Segera kuhampiri abi yang sedang makan sisa makanan buka puasa tadi

 “Bi, kenal Nek Imah?” tanyaku buru-buru. “yang suka negur anak-anak di masjid ya?” jawab abi santai. “iya bi, Nek Imah yang itu. Abi tahu?” melihatku penasaran setengah mati, abi jadi bingung. Terpampang jelas tanda tanya di wajah lugu abi. “hahaha.. engga bi, jadi tadi rara dan salma cerita masa kecil kita dulu, abi ingat rara pernah nangis karena hilangin sandal hijau Nek Imah? Tadi kami tiba-tiba teringat Nek Imah karena lihat sandal hijau yang persis sama” jelasku Panjang lebar agar abi paham.

“Oh.. terus kamu mau ngapain kalau nanya Nek Imah sekarang Ra?” aku ikut bingung, entahlah. Ada perasaan aneh dalam diriku ketika ingat Nek Imah, aku masih menyimpan permohonan maaf padanya. “Ra ingin minta maaf Bi, dulu rara nakal” jawabku sayu. Aku benar-benar ingin meminta maaf. Walaupun Nek Imah mungkin sudah lupa, setidaknya aku sudah memberanikan diri mempertanggung jawabkan masa laluku yang salah itu.

“Ohhh.. kenapa tiba-tiba?” tanya Abi. “ya karena tiba-tiba, ingat” jawabku. “Telat sekali kamu ingatnya Ra, beliau sudah berpulang tahun lalu.”[]

#30 Hari Bercerita