Beranda Cerpen Ramadan Pertama di Tanah Rantau

[DETaR] Ramadan Pertama di Tanah Rantau

BERBAGI
Ilustrasi. (Wendi Amiria/DETaK)

Della Novia Sandra | DETaK

“Jangan lupa pasang alarm untuk sahur ya sayang,”  ucap Ibu dari seberang telepon, “Assalammualaikum” Ibu menutup telepon tanpa memberikan aku aba-aba untuk sekedar menjawab salam atau berbincang lebih lama lagi. Aku pikir Ibu sengaja menutup telepon segera agar suasana tidak semakin sedu, mengingat aku sering menangis jika mendengar suara Ibu terlebih juga puasa ini aku tidak pulang.

Namaku Nayla, besok sudah mulai puasa pertama dan pertama kalinya juga aku puasa tanpa keluarga. Tugas kuliah membuat ku terpenjara di tanah rantau ini. Mau tidak mau aku harus melaluinya puasa pertama bersama teman-teman ku di kos. Aku hanya bisa berbaring sembari mendengar rekaman telepon Ibu, Aku selalu merekam saat Ibu menelpon ku. Suaranya benar-benar membuat aku rindu, tanpa sadar tangisanku pecah.

Iklan Souvenir DETaK

***

“SAA…HURRR…. SAHURRR ….. SAHURR…. SAHUR” suara pemuda menggema dari masjid, aku segera menyiapkan makanan dengan antusias menyambut puasa pertamaku. Tidak ada menu yang spesial sahur ini hanya tempe yang di goreng dengan bumbu instan sangat praktis untuk anak kos.

“Nanti mau sahur dengan apa?” kata-kata yang terulang dari mulut Ibu saat Ramadan terngiang di kepalaku.

“Kalau sahur di rumah, pasti menunya banyak” ucap Mila kawan kosku, seakan bisa membaca pikiranku saat ini.

“Ayam kecep buatan Ibu” ucapku sambil membayangkan masakan Ibu.

“Udang goreng favorit aku” timpal Hana.

“Sup sayur harus wajib” sahut Mila.

Kami menyebut masakan Ibu yang kami rindukan secara bergantian, walaupun hanya membayangkannya tapi sahur pertama ini serasa seru dan dapat mengobati kerinduan pada rumah. Masakan Ibu memang selalu menjadi favorit saat pulang.

***

Puasa pertama ini aku habiskan setengah hari dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah, sangat melelahkan ditambah terikknya matahari siang ini, jam seakan bergerak sangat lambat.

“Aku sudah tidak sanggup menatap buku-buku ini lagi” batinku.

“Masih jam 13.00” keluhku sembari melihat jam dinding, puasa pertama entah kenapa terasa berat kujalani.

“padahal cuma di rumah aja, tapi lelah karena tugas yang menumpuk,” ucap Mila.

“Jangan ngeluh kawan-kawan, walaupun puasa kita harus tetap semangatt” ucap Hana “Gimana kalau kita ke perpustakaan, untuk nambah daftar bacaan kita,” tawar Hana.

“Boleh juga” ucapku dan Mila serentak.

Kami memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan kampus, mengingat masih masa pandemi kampus tidak membuka akses untuk membaca di perpustakaan, pada akhirnya kami memutuskan untuk membaca buku di kos.

Tak terasa sore tiba Aku, Hana, dan Mila ngabuburit sambil  berburu takjil disekitaran Kampus. Mulai dari kolak biji salak, salad buah hingga cappuccino cincau kesukaanku kami buru tak ketinggalan cemilan sejuta umat di Indonesia, yaitu gorengan.

Setelah berburu takjil kami segera pulang ke kos untuk menantikan azan magrib.

“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar” seru muazin

Kami segera membatalkan puasa, “Jangan makan berlebihan,” ucap Hana.

“Kalau kekenyangan jadi malas salat,” sambungku sejalan dengan pemikiran Hana, saat melihat Mila makan tak terkontrol.

“He..he.he.. Iyaiya” jawab Mila menyisikan sedikit makananya untuk dimakan nanti setelah salat tarawih.

Puasa di hari pertama ini ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Adanya Mila dan Hana membuat puasaku lebih seru meski kadang rindu untuk pulang selalu datang tiba-tiba. Mereka sudah seperti keluargaku di rantau. Tak terasa puasa pertama dapat aku lalui meskipun tanpa masakan dari Ibu.[]

#30 Hari Bercerita