Beranda Cerpen Kembang Api di Perantauan

[DETaR] Kembang Api di Perantauan

BERBAGI
Ilustrasi. (Badriatul Istiqomah/DETaK)

Cerpen | DETaK

Hari ini adalah hari terakhir puasa di bulan ramadhan, sebelum masuk lebaran esoknya, dan Madan, masih berdiam diri di kosan sebab cuaca di luar rasanya kian kering seperti panas di sahara. kipas angin yang berdelik kanan-kiri di kamarnya tidak lantas menyejukkan hati dan nasibnya yang kerontang.

Hah.. pupus sudah harapan mahasiswa perantau baru itu untuk bisa pulang mudik berhari raya dengan keluarganya. Ia paham, mak dan abah tidak mungkin harus mengeluarkan puluhan juta untuk biaya pulang-pergi anaknya dari Banda Aceh ke Natuna. Ah, entah sejak kapan juga, tiket kapal terbang dari rantauannya ini menjadi setara harga perjalanan ke Amerika sana. Memangnya Aceh ini negara lain apa ya? pikirnya. Tapi begitulah, walau kesal sekalipun, dirinya tidak punya pilihan lain selain ikhlas dan sabar menerima. Bahwa lebaran tahun ini, sudah pasti ia rayakan sederhana, sendirian di kosan saja.

Iklan Souvenir DETaK

Bau rempah-rempah khas masakan Aceh sekelebat mampir ke kamarnya. Asalnya mungkin dari ibu kos dan menantunya yang sedang masak besar bersama. Sayup-sayup, Madan mendengarkan percakapan sang menantu kepada anaknya.

“Abdul, neu cok oen kruet bacut di luaa!”
“ Ida, neu boh oen sike pulot bak santan nyoe siat!”

Entah apa artinya, yang pasti mendengarkan teriakan si ibu membuat Madan bernostalgia pula di masa masa mak menyuruhnya mengurusi lemang. Selalu di setiap menjelang hari raya, Madan dan abah akan bersama sama memanggang lemang, sementara mak membuat kudapan lainnya. Ah.. lagi-lagi dia teringat mak. Madan menarik nafas panjang, ia keluar dari kamar kosannya, memakai sendal dan beranjak pergi mencari takjil. Waktu sudah pukul setengah lima sore, lebih baik baginya bergegas membeli di awal agar tak kena macet di penghujung sore.

Usai membeli, madan berjalan kembali ke kosan. Agak susah baginya menemukan kudapan karena penjual langganannya sudah pulang kampung, etalase jalanan selama Ramadhan yang biasa ia jumpai ramai dengan kudapan manis, gorengan,minuman warna-warni khas untuk berbuka puasa juga menambah detail barang dagangan baru yang tidak lepas dari momentum hari raya. Ya, penjual ketupat, kembang api dan petasan sudah mulai berjamuran mengisi trotoar jalanan.

“Madan! Hey.. Maen sini lah kau, bujaang!” teriak seseorang.

Pemilik suara itu ternyata Koko, kenalan baru yang kerap ia temui saat tarawih di surau desa.

“Oh, kamu rupanya Ko? Ngapainnya kamu di sini?” Madan membalas sapa sambil bertanya.

“Biasalah, jualaan.. Cari cuan sedikit buat angpao keponakan!”

“Loh, baru tau aku kalo kamu jualan… kembang api pula!”

“Hehe, iya, sengaja memang aku jualan ini, petasan kembang api kan awet, ga basi, ga ketinggalan zaman, kadang cepat laku juga laah.”

“Ohh iyalah tu? Aku gak pernah maen petasan sih…”

“Bah? Ga pernahnya kau maen petasan? Kembang api pun tidak?”

Madan menggeleng mantap. Tidak pernah sama sekali. Seumur hidupnya ia hanya menatap saja anak anak tetangga atau teman sebayanya main kembang api. Tentu saja, mak abahnya pun pasti melarang, keluarganya lebih memilih sibuk gotong royong, memasak ketupat dan kue di malam lebaran. ‘Lebih seru membakar lemang dibanding bakar uang, Daan. Tak payah lah terlampau memeriahkan malam Idul Fitri dengan petasan tu, dah lah bahaye, Allah pun pasti tak suke’ begitu ujar abahnya tiap saat. Madan pun selama ini juga tidak keberatan kalau tidak main, karena ya dia juga enggan saja.

“Oooh, tapi kau pasti main meriam bambu lah ya? Kembang api mana lah selevel kamu kan?”

Madan kembali menggeleng, aduh kembang api saja tidak pernah, apalagi main meriam bambu, habis lah dia digempur repetan mak abah siang malam kalau mereka tau madan ikut-ikutan main.

Tapi justru sekarang ini, Madan jadi penasaran, apa hanya dia saja satu-satunya manusia–remaja menuju dewasa–yang tidak pernah merayakan hari raya dengan bermain kembang api?

“Nah, coba kau mainkan, Dan. Sesekali seumur hidup ga papa laah, ga dosaa.. “ Tawar koko pada madan.

“Tak payah lah kawan! Dah besar pula aku ni, untuk apa lah main jugaa..”

“Lah khusus Madan ni. Aku gratiskan sekotak kembang api buat kawan rantauku. Bonus deh, gratis petasan cabe, mercon sama ini ni, pamungkas terbarunya.. petasan gasing versi 4.0. Fuyyoo!”

“Oke, nanti malam kita coba.” Entah angin dari mana, madan akhirnya tertarik dan mau ikut main. Yah menurutnya, barangkali bisa jadi cara mengusir rasa kesepian di malam Lebaran. Tidak salah kan?

Malamnya, kumandang takbir raya mulai bergema. Lapak dagangan petasan dan kembang api Koko tutup cepat karena sudah laku terbeli semua. Koko tertawa bahagia, dan tentu saja, Madan ikut senang dengan teman barunya.

“Yoklah, tiba saatnya perayaan sesungguhnya. Kembang api kemenangaan!” seru Koko sambil membakar salah satu ujung kembang api.

“Ok yokk.. satuu.. duaa.. tigaa!!” Serentak semua berteriak sembari menjauhi si kembang api, dan…
PIUUU.. BUMM… PIUUU… BUMM… BUUMM..

Sambil menutup telinga, Madan memandangi atraksi yang bermunculan di atas langit. Cahaya warna warni memeriahkan malam hari ini. Semua anak-anak yang ikut menyaksikan bersorak senang dengan berbagai bentuk kembang yang timbul tenggelam. Gemerlap bintang dan kumandang takbir raya pun mungkin kalah dengan sorak kembang api yang terus menerus bermuculan. Akhirnya, Madan ikut juga bermain kembang api. Tapi anehnya, raut wajahnya tampak biasa saja. Madan merasa bukan ramai seperti ini yang dia butuhkan atau yang dia cari. Hatinya masih sepi..

Ya, kembang api memang indah, namun ia tidak lama, sekejab saja indahnya. Sebentar saja meriahnya. Lantas sekejab nanti, ia langsung hilang ditelan selimut malam. Menyisakan kenangan yang boleh jadi manis bagi sebagian yang senang keramaian atau kepedihan… seperti kuku kaki Koko, yang baru saja terkena kembang api gasing versi terkini miliknya.
Lekas sembuh, Koko! []

Penulis adalah Nada Ariqah, mahasiswi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota di UKM Pers DETaK.

Editor: Hijratun Hasanah