Beranda Buku Hukum Rajam: Sisi Lain Hukum Rajam di Aceh

Hukum Rajam: Sisi Lain Hukum Rajam di Aceh

BERBAGI
Sampul depan buku Hukum Rajam. Ist

Judul buku: Hukum Rajam

Pengarang: Chairul Fahmi, MA dan Muhammad Siddiq, MH

Penerbit: Aceh Justice Resource Centre (AJRC)

Iklan Souvenir DETaK

Tahun Terbit: 2009

ISBN: 978-602-95478-7-0

Tebal Halaman: 144 (lxvi + 78) halaman

Hukum Rajam adalah sebuah buku yang dibuat berlandaskan banyaknya polemik dari berbagai kalangan dimulai dari akademisi, para ulama Aceh, masyarakat nasional hingga internasional yang menganggap hukum rajam bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara singkat hukum rajam adalah suatu hukuman mati terhadap pelaku kejahatan zina bagi yang sudah pernah menikah (muhsan) dengan cara dilempari batu. Di samping hukum rajam, ada hukum cambuk yang berlaku bagi pelaku kejahatan zina yang belum menikah (ghairu muhsan).

Aceh menjadi salah satu provinsi yang menerima otonomi khusus melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di samping dengan diterapkannya hukum Islam, dengan adanya otonomi khusus di Aceh berlakulah asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan kepada daerah otonom, dalam hal ini Aceh membuat qanun setara dengan peraturan daerah. Hukum rajam terdapat dalam Pasal 24 Ayat 1 bagian ke-lima Rancangan qanun tentang hukum jinayat yaitu:

“Setiap orang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan ‘uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan ‘uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah.”

Rancangan qanun ini menuai perdebatan mengenai akan diberlakukan atau tidaknya hukum rajam di Aceh. Buku ini memaparkan hal tersebut dari dua sisi yang membuat seolah pembaca berada di titik tengah pada solusi yang ditawarkan. Sebagai umat Islam yang hidup berlandaskan Al-Qur’an dan hadis, maka ketika Rasulullah pernah menghukum seseorang dengan cara dirajam tentu umat Islam akan mengimaninya. Hadis yang dijadikan sebagai dalil rajam ini sudah mengalami pertentangan sejak masa khalifah Umar Ra sampai sekarang. Dinyatakan juga jika hadis ini merupakan bagian dari hadis ahad (diriwayatkan oleh satu orang perawi), maka tidak dapat dijadikan pegangan.

Jika dilihat dari sejarah, ternyata sebelum adanya Islam hukum rajam juga telah diterapkan di dalam agama Nasrani, Yahudi dan Hindu. Contohnya saja di dalam kitab Smiriti karya Manu menyatakan: “Men who indulge in commiting with the wives of others, the kingking shall cause them to be marked by punishment such as cutting of nose and lips which cause terror and afterwards banish them.”

Setelah datangnya Islam, penerapan pertama hukum rajam pertama kali sebelum terjadinya penaklukan Mekkah (Fathul Mekkah) dan sebelum turunnya surah An-Nur ayat 2 tentang cambuk. Dikisahkan bahwa seorang wanita Ghamidiyah yang telah menikah datang dan mengaku kepada Rasulullah, ia melakukan zina dan meminta hukuman. Hukuman itu ditunda karena ia sedang hamil, Rasulullah memerintahkannya datang kembali setelah melahirkan. Maka sesuai perjanjian dia datang dan Rasulullah menolak lagi serta meminta ia untuk menyapih anaknya selama 2 tahun. Dan setelah itu hukuman rajam baru dilakukan terhadap wanita tersebut.

Kisah tersebut menggambarkan bagaimana Rasulullah menunjukkan bahwa tidak sembarangan menerima pengakuan sebagai alat bukti zina, tetapi melalui proses yang panjang hingga tiga sampai empat kali pengakuan. Maka dari itu meski sudah adanya pengakuan, saksi serta petunjuk-petunjuk tapi belum terpenuhinya bukti yang ditetapkan maka cambuk atau rajam tidak dapat dilaksanakan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan karena ini menyangkut nyawa seseorang.

Bukan hanya di Indonesia, tenyata ada juga negara-negara Islam lainnya yang menerapkan hukum rajam ini seperti Iran, Arab Saudi, Sudan, Pakistan, Nigeria dan Afganistan pada masa pemerintahan Taliban.

Salah satu ahli yaitu Prof. Al-Yasa menegaskan bahwa hukuman rajam belum dapat diterapkan tanpa adanya sistem yang sudah jelas, sebab hukuman rajam bukanlah suatu hal yang sederhana. Semua materi dan teknisnya harus dipertimbangkan dengan matang. Apalagi qanun jinayah yang disahkan oleh lembaga legislatif di Aceh belumlah sempurna. Sehingga sebelum menerapkan hukuman rajam harus dilakukan kajian akademik, memaksimalkan materi regulasi, serta melatih kesiapan aparat. Jika sudah memadai, barulah rajam dapat dilakukan.

Kelebihan

Melihat pada sampulnya pembaca pasti tau bahwa fokus pembahasan dalam buku ini adalah hukum rajam yang ada di Aceh karena penggunaan gambar Masjid Raya Baiturrahman sebagai sampul depan, walaupun tidak disebutkan secara tegas. Foto tangan seseorang yang sedang mengepal batu disertai dengan gradasi warna hitam pekat membuat rasa penasaran untuk membaca buku ini semakin besar. Dalam hal ini saya merasa sampul buku yang digunakan bagus.

Buku ini sangat mudah untuk dipahami oleh berbagai kalangan baik yang berkecimpung di dunia hukum atau tidak. Hal ini disebabkan karena bahasa yang dipakai dalam memaparkan pandangan serta fakta yang ada dengan bahasa yang ringan, padahal judulnya terlihat begitu berat dalam hal pembahasan. Bukunya ringan dan mudah dibawa untuk dibaca saat waktu senggang. Materi yang dipaparkan sangat runtut, memudahkan pembaca memahami alur yang dibuat oleh penulis.

Untuk mengetahui gambaran dasar secara umum mengenai hukum rajam, maka buku ini sangat saya rekomendasikan apalagi di dalamnya memuat sejarah yang menambah nilai jual yang lebih baik. Buku ini juga melampirkan rancangan qanun yang menjadi topik yang dibahas secara menyeluruh terkait dengan hukum rajam yang da di dalam buku. Membaca buku Hukum Rajam membuka wawasan kita mengenai dua sisi yang berbeda terhadap hukum rajam, yang membuat kita dapat berpikir secara mendalam untuk mengkaji atau menganalisis lagi tentang topik ini.

Kekurangan

Dimulai dari daftar isi yang kurang menarik, karena tidak mencantumkan nomor halaman pada setiap judul besar yang akan dipaparkan sehingga pembaca harus mencari sendiri halaman yang dituju. Masih terdapat beberapa kata yang salah seperti al-qur’an, al-Qur’an, al-Quran (hal 1) seharusnya Al-Qur’an, tidak pidana (hal 6) seharusnya tindak pidana, aktifs (hal 38) seharusnya aktifis, Amirika Serikat (hal 66) seharusnya Amerika Serikat dan masih banyak lagi. Selain itu peletakan tanda baca koma (,) dan (.) masih ada yang belum sesuai.

Pada bab 3 tentang penerapan hukuman rajam di negara-negara Islam tidak dijelaskan secara spesifik mengenai hukum rajam yang diterapkan sebagai hukum dalam mengadili pezina. Ada 6 negara yang dicantumkan di dalam bab tersebut, tetapi hanya 3 negara yang dijelaskan itupun tidak spesifik yaitu Iran, Arab Saudi dan Nigeria. Sedangkan 4 negara lainnya hanya dijelaskan mengenai letak geografis negara tersebut, penerapan hukum rajam tidak ada sama sekali. Terkait dengan biodata penulis seharusnya dipisah tidak digabungkan, karena penulis berjumlah dua orang. Hal ini untuk memudahkan pembaca dalam mengenal penulis.     

Peresensi adalah Sri Elmanita S. Redaktur di Unit Kegiatan Mahasiswa Pers DETaK, Mahasiswa Fakultas Hukum, Prodi Ilmu Hukum, Universitas Syiah Kuala.