Beranda Headline Terjadi Banjir, Kerena Ulah Siapa?

Terjadi Banjir, Kerena Ulah Siapa?

BERBAGI

Oleh: Zulfata

Ilustrasi (Sumber: Google Gambar)
Ilustrasi (Sumber: Google Gambar)

Dewasa ini negeri syari’ah (Aceh) sering kali dijamu oleh hujan. Terdapat dua kemungkinan bahwa hujan tersebut apakah dalam bentuk nikmat atau laknat yang diberikan oleh Allah SWT, jika ditelusuri secara ilmu pengetahuan alam bahwa penyebab banjir terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah gundulnya hutan sehingga kurangnya penyeraban debit air kemudian didukung banyaknya sampah yang tidak terurus di bagian saluran penyerapan air dilingkungan umum. Dari salah satu faktor tersebut terdapat sebuah pertanyaan filosofis yang berbunyi “Apakah penyebab terjadinya penggundulan hutan tersebut?.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut penulis ingin sampaikan bahwa hutan jika tidak diusik dan diganggu oleh manusia sangat mustahil terjadi penggundulan hutan, sehingga para manusialah yang harus bertanggung jawab atas terjadinya banjir tersebut. Lantas kenapa disalahkan manusia secara totalitas, bukankah pelakunya adalah sebagian kecil manusia atau dikenal sebagai oknum. Alasannya adalah munculnya oknum tersebut juga disebabkan oleh kelalaian para umat manusia yang hidup dipermukaan bumi ini yang tidak intensif dalam membangun sikap kepedulian dan toleransi dalam bentuk saling ingat mengingatkan antara satu dan lainnya.

Iklan Souvenir DETaK

Pemahaman seperti ini telah berulang kali disampaikan oleh tafsir yang mu’tabar dalam surat Ar-Rum Ayat 41- 42 yang artinya :

“Telah Tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. (41) katakanlah Muhammad “berpergianlah ke bumi lalu lihatlah sebagai mana kesudahan orang- orang dahulu kebanyakan dari mereka adalah orang- orang yang mempersekutukan Allah SWT. (42)”.

Menurut tafsir di atas, dapat dipahami bahwa  betapa tegasnya Allah SWT memberikan gambaran tentang penyebab-penyebab kerusakan yang terjadi di permukaan bumi dan semua persoalan tersebut dimotori oleh manusia. Dalam hal ini manusia selain berperan sebagai  khalifah di permukaan bumi yang sejatinya menjaga kemaslahatan alam namun manusia juga memiliki peran yang sangat andil dalam merusak tatanan alam yang telah diciptakan Allah SWT tersebut. manusia yang berperan sebagai predator bagi alam jagat raya ini disebabkan masih dominannya sikap rakus yang dipeliharanya, seolah-olah kebebasan tanpa batas menjadi karakter mutlak bagi manusia, dengan itu pula tidak heran hutan menjadi tempat pelampiasan sikap tamak umat manusia.

Kata-kata manusia mungkin masih umum pemaknaannya ditelinga para pembaca dalam hal persoalan penyebab kehancuran di alam raya ini, Refleksi manusia dalam istilah dapat diganti dengan kata rayat dan birokrat, peralihan istilah ini penulis kaitkan karena sangat menarik jika persoalan kerusakan alam khususnya hutan sering kali dimainkan oleh yang namanya rakyat/pengusaha dan para birokrat. Dua subjek ini sejatinya menjaga dan merawat kelestarian hutan sebagai fungsi penyambung hidup bagi generasi bangsa yang akan datang.

Hutan dijadikan lahan empuk dalam mewujudkan nafsu untuk memperkaya diri pribadi atau kelompok yang bersangkutan (oknum) tanpa ada sikap futuristis dan toleransi terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif dari pembabatan hutan secara membabi buta. Penebangan atau penyalahgunaan hutan bukan dilarang oleh Undang-Undang namun pembabatan hutan tersebut haruslah sesuai sengan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga lingkungan tidak akan menjadi murka kepada manusia, hal ini sangat fatal karena gara-gara sebagian kecil oknum yang melanggar aturan namun sebagian besar masyarakat disekitar kawasan hutan yang menerima beban bencananya, yang lebih tidak manusiawi lagi adalah sang “oknum” bukan bagian dari kawasan hutan yang digunduli tersebut, sehingga perbuatan ini terkesan seperti layaknya manusia yang memperkosa alam raya, na’uzubillahhiminzalik.

Tanpa disadari bahwa hutan telah memberi banyak manfaat bagi kehidupan ini, memalui Karbon Dioksida (CO2) yang diciptakan, kayu yang dihasilkan, debit air yang jumlah besar diserap dengan akarnya serta menciptakan keindahan yang luar biasa indahnya, keseluruhan manfaat ini dipersembahkan untuk kehidupan manusia, maka sangat penting untuk dipahami bahwa hutan dapat hidup tanpa manusia dan manusia tidak akan hidup tanpa hutan.

Aturan main untuk bersahabat dengan alam raya ini sebenarnya telah tercantum rapi di dalam Alqur’an, namun hal itu tidak dipahami bahkan tidak diketahui oleh sebagian masyarkat, seperti yang tercantum dalam surat Al-A’raf ayat 56 yang artinya

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”.

Secara tidak langsung ayat tersebut mengingatkan kepada manusia bahwa dewasalah dalam menjaga alam yang telah yang telah diamanatkan oleh Allah SWT. setiap barang yang diamanatkan sudah pasti barang tersebut harus dijaga dan dirawat dengan baik., namun begitu pula sebalik. Terkadang kita lupa diri akan keeksistensian kita yang berperan sebagai khalifah di permukaan bumi ini, lupa akan usaha untuk memperingati satu manusia dengan manusia lainnya sehingga jika terjadi suatu bencana yang diterima hanya tangisan dan sikap geram saja yang dipahami tanpa belajar dan memahami makna dibalik bencana yang diberikan. Sehingga Allah menganjurkan berdo’alah kepada-Nya maka ia akan kabulkan, namun dapatkah doa tersebut dikabulkan dengan keadaan sikap kita yang apatis dalam merawat dan menjaga hutan? Jawaban ini hanya pembacalah yang dapat menjawab dengan membandingkan fakta dan realita yang terjadi.

Apa yang harus diperbaiki?

Kerusakan-kerusakan yang telah diciptakan manusia sangatlah beragam, namun tidak menutup kemungkinan untuk meminimalisirnya, hutan Aceh misalnya, sudah menjadi isu yang hangat bagi kalangan aktivis lingkungan dengan memahami bahwa hutan Aceh terindikasi semakin hari semakin berkurang jumlahnya, semuanya ini diakibatkan dengan permasalahan yang komplit, mulai dari persoaalan hak dan kewenangan pemerintah yang tidak tegas dalam menindaklanjuti kasus yang terkait, tumbang tindihnya wilayah pertambangan dengan wilayah hutan yang hanya dijadikan sebagai modus, dan banyak kasus lainnya yang dialami oleh para aktivis lingkungan.

Sejatinya tidak hanya hutan yang harus dijaga dan dirawat, namun sumber daya manusia lah yang harus dibangun untuk menjaga alam raya ini, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terpaksa untuk membabat hutan secara ilegal demi menghidupi dapur ekonomi mereka, tidak ada lagi rasa apatis pemerintah untuk menanggulangi secara jitu untuk menyelesaikan perampasan hutan secara ilegal oleh pengusaha serta perilaku yang tidak layak dilakukan tersebut dapat diminimalisir bahkan disirnakan di atas permukaan bumi ini.

Ketika Sumber Daya Manusia (SDM) telah mapan terbentuk, maka masyarakat akan paham makna nikmat yang diberikan melalui gejala alam. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 57 yang artinya:

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”.

Secara langsung ayat ini memberi penjelasan kepada manusia bahwa sejatinya gejala alam adalah representasi dari rahmat Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia, namun nikmat tersebut tertutupi oleh hijab dan cara pandang manusia atau dalam konteks masyarakat yang belum mencapai tingkat SDM yang memenuhi standar taqwa. Dalam realita dengan kasat mata bahwa hujan secara terus menerus yang hadir jika diterima oleh hutan yang gundul, sehingga ketimpangan alampun terjadi dan secara otomatis bencana akan terjadi. Demikianlah salah satu bentuk kebesarannnya Allah SWT yang menciptakan alam penuh dengan keseimbangan antara satu dengan yang lainnya, jika satu bahagian alam (hutan) yang dirusak oleh manusia maka bagian alam yang lainpun ikut rusak. Seperti halnya organ tubuh manusia, satu bagian tubuh manusia yang sakit maka bagian tubuh yang lain akan ikut tersakiti.

Konsep keseimbangan alam juga dijelaskan dalam kajian ilmu filsafat, salah satu tokoh yang menciptakan konsep tersebut adalah Sochiko Morata dengan teori Yin-Yang (Hitam-Putih) nya yang menjelaskan makna dari hitam putih tersebut adalah dua sisi yang harus seimbang dijalani dalam mengarungi bahtera  kehidupan di permukaan bumi ini, dengan itu manusia selalu dihadapi dengan dua hal yang selalu ada, seperti: ada susah dan ada senang, lelaki/perempuan, kaya/miskin, nikmat/laknat. Dan sudah pasti untuk menjaga kestabilan atau keseimbangan unsur-unsur alam ini adalah manusia itu sendiri.

Dari dua pendekatan ilmu diatas baik dari sisi tafsir Alqur’an maupun ilmu filsafat alam, dapat disimpulkan bahwa manusia wajib bersahabat dengan alam, persahabatan tersebut dibangun dengan sistem komunikasi ilmu pengetahuan yang telah diatur dalam Alqur’an maupun dalam UU pemerintahan negara Indonesia. Manusia sangat berperan penting dalam menjaga kemaslahatan umat di masa yang akan datang, dengan kata lain Allah SWT melalui tindak tanduk manusia tersebut membentuk gejala kehidupan masa yang akan datang, dengan itu manusia harus saling tolong menolong dalam menciptakan proses kehidupan di permukaan bumi ini, dengan kata lain bahwa bentuk keadaan kehidupan masa sekarang adalah awal bentuk dari kehidupan yang akan datang. dengan pemaparan wacana diatas, sangatlah selaras dengan tujuan hidup manusia yang baik, yakni manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.[]

Penulis adalah Zulfata, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, aktif juga sebagai pengurus Sekolah Anti Korupsi Aceh. (email: fatazul@gmail.com)

Editor: Riska Iwantoni