Opini | DETaK
Lampu lalu lintas atau sering disebut dengan “lampu merah” menjadi salah satu rambu lalu lintas yang sangat penting untuk dipatuhi. Karena fungsinya, lampu lalu lintas sering dijuluki sebagai “lampu penyelamat”. Selain bisa mengurangi angka kecelakaan di jalan, lampu lalu lintas juga menjadi alat yang mengatur tata tertib para pengendara di jalan agar tidak terjadi kemacetan.
Lampu lalu lintas adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas di persimpangan jalan dan tempat penyeberangan pejalan kaki. Lampu ini menandakan kapan kendaraan harus berhenti dan berjalan secara bergantian dari berbagai arah, dengan warna merah, kuning, dan hijau. Merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan boleh berjalan.
Sebagai masyarakat, kita seharusnya mematuhi peraturan lalu lintas, seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Pasal 258 yang menyatakan bahwa : “Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, serta berpartisipasi dalam pemeliharaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas”.
Undang-undang tersebut jelas menegaskan pentingnya untuk mematuhi peraturan lampu lalu lintas. Namun, kenyataannya masih banyak pengendara yang melanggar lampu lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti kurangnya kesadaran akan peraturan lalu lintas, kurangnya pengawasan polisi terhadap ketertiban lalu lintas, dan ketidaktahuan masyarakat akan peraturan.
Ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas dapat terjadi karena lemahnya penegakan aturan dalam sistem perizinan mengemudi. Berdasarkan beberapa sumber, persentase masyarakat yang mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) melalui ujian praktik maupun tertulis lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang melakukan “SIM tembak”. Masih banyak orang yang memperoleh SIM dengan cara membayar “SIM tembak”, hal ini dilakukan karena proses pembuatan SIM tembak terasa lebih mudah dibandingkan dengan mengikuti ujian praktik maupun teori yang sebenarnya. Fenomena ini tentunya berdampak pada rendahnya pengetahuan dan kesadaran pengemudi dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang berlaku.
Rendahnya kepatuhan terhadap hukum adalah tanggung jawab bersama, yang melibatkan pemerintah, kepolisian lalu lintas (POLANTAS), dan pengguna kendaraan bermotor. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Pasal 213 ayat 1 menjelaskan bahwa “Pemerintah berkewajiban mengawasi kepatuhan pengguna jalan dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.” Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan lalu lintas, dan pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap hukum lalu lintas.
Situasi serupa terkait dengan pelanggaran lalu lintas yang terjadi di lingkup kampus Universitas Syiah Kuala (USK). Lampu lalu lintas di lingkup tersebut sering diabaikan, sehingga seringkali para pengendara tetap melanjutkan perjalanan saat lampu merah menyala. Hal ini mengakibatkan keadaan di jalan menjadi kacau dan sulit terkendali. Saya menyebutnya sebagai “lampu penyelamat yang terabaikan.” Lampu lalu lintas ini kerap dilalui oleh mahasiswa. Namun, mengapa masih terjadi pelanggaran? Apakah para mahasiswa tidak memahami peraturan yang berlaku?
Mahasiswa dianggap sebagai individu intelektual dengan pendidikan yang baik, moral yang tinggi, dan etika yang kuat serta mereka memiliki peran penting dalam merubah kebiasaan buruk dalam masyarakat dan bertanggung jawab untuk mempromosikan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan lainnya. Oleh karena itu, masyarakat sering melihat mahasiswa sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari. Namun, jika mahasiswa menunjukkan perilaku yang buruk, masyarakat awam yang tidak memiliki pengetahuan akan hal tersebut bisa mengikuti dan bahkan menganggapnya sebagai perilaku yang benar, hanya karena dilakukan oleh mahasiswa.
Sudah sepantasnya kita sebagai mahasiswa memenuhi kepercayaan masyarakat dengan mencontohkan perilaku yang baik. Salah satu contohnya adalah dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Kelalaian mahasiswa dalam berperilaku akan berdampak negatif bagi masyarakat.
Saat mahasiswa lalai dan melanggar peraturan lalu lintas, seperti menerobos lampu merah. Masyarakat awam yang tidak tahu akan aturan tersebut bisa menganggap tindakan tersebut benar, dan jika ini terjadi secara massal, tindakan tersebut akan menjadi norma atau kebiasaan di masyarakat. Hal ini tentu akan sangat bahaya jika menerobos lampu merah sudah dinormalisasikan di dalam masyarakat.
Selain peran mahasiswa, peran aparat yang berwenang, yaitu polisi dalam menegakkan peraturan lalu lintas juga penting. Sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1b), disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas pokok, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab dalam menyelenggarakan segala kegiatan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.” Kehadiran kepolisian memiliki peran vital dalam pengawasan dan penegakan peraturan lalu lintas, dengan tujuan menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.
Biasanya masyarakat akan patuh terhadap peraturan yang ada jika peraturan tersebut memiliki sanksi apabila dilanggar. Penerobosan lampu merah tentunya juga memiliki sanksi , seperti yang tertera didalam UU No 22 tahun 2009 tepatnya pada Pasal 287 ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”
Sudah jelas ditegaskan pada pasal tersebut bahwa setiap orang yang melanggar peraturan lalu lintas akan dikenakan sanksi. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa orang-orang masih berani melanggar aturan lalu lintas? Salah satunya adalah mahasiswa.
Berdasarkan pengamatan penulis pelanggaran lalu lintas dapat terjadi jika sanksi yang ada tidak ditegakkan dengan tegas oleh aparat yang berwenang, yaitu polisi. Ini mengindikasikan bahwa polisi mungkin belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar lalu lintas. Meskipun jarang terjadi kecelakaan di lingkup kampus Universitas Syiah Kuala (USK), bukan berarti risiko kecelakaan tidak ada. Kecelakaan dapat terjadi jika pelanggaran lalu lintas, seperti menerobos lampu merah terus-menerus dilakukan. Karena lingkup kampus tersebut dilalui oleh banyak pengendara dan merupakan pusat lintasan yang sibuk.
Sudah menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum, yaitu polisi, untuk memantau lalu lintas di limgkup kampus USK, terutama pada lampu lalu lintas. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran lalu lintas, seperti melakukan teguran melalui razia hingga memberikan sanksi berupa penilangan. Kesadaran untuk mematuhi peraturan lalu lintas juga seharusnya ditanamkan dalam diri setiap pengendara, setidaknya sebagai langkah untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
Penulis adalah Cut Fitri Mulyana, mahasiswi Ilmu Hukum, Fakulktas Hukum (FH) Universitas Syiah Kuala (USK).
Editor: Refly Nofril