Opini | DETaK
Rakyat Indonesia telah melangsungkan pesta demokrasi, tepatnya pada 14 Februari 2024 kemarin. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya (sepertinya pun tahun yang akan datang), tentu saja pesta ini memiliki sisi gelap. Terdapat beberapa kejadian mencengangkan dan ingin rasanya saya ungkap dari pelaksanaan pemilihan umum yang nyata saya alami. Ya, based on true story. Sekiranya pengalamanmu juga demikian, berarti kita senasib, sebangsa, dan senegara.
Saya adalah mahasiswa perantauan. Karena kurangnya informasi yang didapatkan pra-pemilu, saya baru tahu bahwa pemilih harus mengurus pindah memilih dengan alasan ‘menjalani tugas belajar atau menempuh pendidikan menengah atau tinggi’ paling lama di 15 Januari 2024. Apesnya, saya baru tersadar pemberitahuan tersebut pada 2 Februari 2024, itu juga karena disadarkan oleh teman saya, sebut saja namanya Marini.
Di hari yang sama, ia kembali menyadarkan bahwa terdapat informasi perpanjangan pengurusan pindah memilih hingga 7 Februari 2024. Dengan empat alasan yang tersisa, kami mencoba menggunakan alasan ‘bertugas di tempat lain’ karena kebetulan sedang melakukan liputan di tanah rantau pula.
Karena padatnya perkuliahan dengan kegiatan lainnya, kami baru dapat mendatangi kantor desa terdekat untuk pengurusan tersebut di pukul 3 sore. Tapi nihil, kantor desa yang kami datangi tutup. Entah sudah tutup atau memang tidak buka sama sekali. Hendak bertanya juga tidak ada sesiapa yang dapat ditanyai. Meski kesal, hari itu kami akhiri dengan pasrah. Semoga nanti ada jalannya.
Ternyata tidak juga, tidak ada jalannya. Kalaupun ada, yang ada jalan buntu. Tidak dapat diakses dan membuat tersesat. Pada hari pemilihan, terdapat informasi yang bersileweran terutama dari ibu kost, bahwa anak rantau yang belum sempat mengurus pindah memilih masih bisa melakukan pemilihan jika surat suara masih tersisa. Berbekal keyakinan dan semangat memperjuangkan kemerdekaan, kami mencoba mengadu nasib dengan datang ke TPS terdekat.
TPS pertama yang kami datangi menolak mentah-mentah maksud dan tujuan mulia kami untuk memperjuangkan hak suara. Alasannya adalah kami tidak memiliki surat keterangan pindah memilih dari TPS asal di kampung. Sedikit aneh dan tidak jelas, tapi tidak apa-apa. Siapa tahu di TPS berikutnya kami beruntung.
Masih pukul 11 pagi menjelang siang, tapi teriknya matahari bagaikan sudah pukul 1 siang. Meski jaraknya agak jauh, TPS berikutnya tetap kami tempuh dengan berkendara sepeda motor. Menurut informasi dari teman kami yang juga menjadi panitia, TPS tersebut dapat menerima suara bagi mereka yang belum mengurus pindah memilih, alias tidak terdaftar, alias Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Cukup puas, panitia di sana memerintahkan kami untuk menunggu karena masih adanya Daftar Pemilih Terdaftar (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang memilih. Kami diminta untuk menuliskan nama di secarik kertas dan nantinya nama kami akan dipanggil jika DPT serta DPTb sudah habis.
Tapi zonk sekali lagi. Di pukul 12 siang, panitia tersebut tergopoh-gopoh menghampiri kami dan menyatakan maafnya dikarenakan TPS tidak menerima DPK. Sungguh terheran-heran diri ini. Tadi di awal katanya bisa dan sekarang tiba-tiba tidak bisa? TPS juga bukan remaja labil yang kondisi hatinya mudah berubah bagaikan membalik telapak tangan.
Masih iseng ditambah dengan jiwa kekepoan Marini yang amat kuat, kami beralih ke TPS sebelah, berhubung masih berada di tempat yang sama sehingga tidak perlu melakukan emisi karbon untuk menujunya. Panitia di TPS ini menyayangkan kami yang baru datang. Dikatakan bahwa mereka menerima DPK dengan syarat memiliki KTP, namun hanya hingga pukul 12 siang. Di luar itu, mereka tidak akan memproses pemilihan lagi. Dengan kata lain, kami terlambat dan tidak bisa memilih.
Mungkin karena amarah dan rasa kesal yang sudah di ubun-ubun, kami bertanya lebih. Kenapa di TPS sana tidak bisa dan di sini bisa? Kenapa di sini bisa tapi hanya hingga pukul 12, bukankah batas pemilihan hingga pukul 1 siang? Kenapa harus diakhiri lebih cepat padahal kertas suara juga masih tersisa banyak, sehingga dikemanakan surat suara tersisa?
Oleh panitia, kami diarahkan untuk bertanya lebih lanjut pada ketua KPPS yang bertugas. Saat itu, kami tahu bahwa kuota untuk DPK hanya 5%, itu juga diberikan kepada penduduk yang memang sudah menetap. Untuk masalah kertas suara yang berlebih, akan kembali dibungkus dan dikirimkan. Tapi oleh panitia, disampaikan bahwa nantinya kertas suara akan dibuang.
Hal ini menimbulkan kecurigaan yang semakin memuncak, terutama perihal kertas suara. Bukankah jika dikembalikan maupun dibuang akan dapat diguna dan terjadi kecurangan suara? Daripada itu, masalah kertas suara saja sudah ada perbedaan penjelasan. Benar-benar gelap.
Sebenarnya kami juga tidak mempermasalahkan tidak bisa melakukan pemilihan. Tidak apa, kami legowo. Toh, sedari awal kami juga tidak mengusahakan pindah memilih dan baru mengurusnya di hari-hari terakhir. Toh, kami juga tidak inisiatif mencari informasi mengenai pindah memilih lebih awal. Walaupun yang ini antara kami yang kudet atau KPU yang kurang menggencarkan informasinya, tapi kali ini salahkan kami saja, deh.
Masalah yang kami permasalahkan adalah ketika adanya variasi informasi. Kenapa sampai terjadi kesimpangsiuran arahan sehingga timbul perbedaan penyampaian yang mengakibatkan tidak jelasnya berita yang beredar? Ini seperti memberi kesan bahwa penyelenggara kontestasi politik bukan berasal dari satu sumber yang sama, banyak sumber yang berbeda-beda, bukan hanya dari KPU.
Sungguh, tidak apa jika kami tidak bisa memilih. Lebih baik dikatakan sedari awal, kami pasti akan lebih cepat pulang dan bisa melaksanakan ibadah tidur siang. Tidak perlu mencari sensasi dan bertanya kepo hilir-mudik ke sana-sini. Jika begini ‘kan, jadi terbuka kedoknya. Ketahuan, bisa buat apa? Buat malu.
Satu lagi, saya ingin mengutip kedongkolan Marini di malam hari itu juga. Mungkin untuk pengurusan pindah memilih di lima tahun ke depan dapat dipermudah dengan pemrosesan secara daring, mengingat Indonesia tidak lagi hidup di zaman meganthropus erectus paleojavanicus. Berbenahlah, KPU.
Penulis adalah Shahibah Alyani mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik (FT) Universitas Syiah Kuala.
Editor: Aisya Syahira