Beranda Opini Ramadhan dan Palestina

[DETaR] Ramadhan dan Palestina

BERBAGI
Ilustrasi. (Nadhira Yulia Rahma/DETaK)

Opini | DETaK

Konflik yang terjadi di Palestina kian memanas. Sejak pecahnya peperangan, serangan yang digencarkan oleh Israel terus membludak, bahkan hingga sekarang di bulan puasa. Tanpa memedulikan rasa kemausiaan, mereka terus melangsungkan genosida di negeri dengan julukan Bumi Para Nabi ini. Begitulah, orang-orang yang otaknya tidak digunakan dengan sebaiknya. Kepekaan inderanya sepertinya sudah tidak berfungsi dengan baik. Hingga tega melakukan berbagai kekerasan2, mereka juga tidak memiliki hati. Adanya pun hati yang busuk. 

Beberapa hari yang lalu, saya melihat postingan akun instagram @voaindonesia yang berbentuk reels. Postingan ini berisikan keseharian salah satu relawan badan kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) asal Indonesia yang saat ini berada di Palestina tepatnya pada Jalur Gaza Selatan, yaitu Fikri Rofiul Haq.

Iklan Souvenir DETaK

Fikri bercerita, hanya ada roti dengan daging kornet beserta lalapan berupa buah zaitun ataupun daun bawang sebagai makanan berbuka puasa. Adzan ketika waktu shalat tiba juga masih berkumandang, namun masyarakat diimbau untuk melaksanakan ibadah di rumah. Sedangkan untuk shalat tarawih sendiri dilakukan di lapangan sekolah.

Bak Tuhan, berani-beraninya mereka melarang umat muslim untuk beribadah secara berjamaah. Makanan untuk berbuka juga diatur sesuka jidatnya. Bahkan ketika pelaksanaan shalat tarawih, umat muslim dibayang-bayangi oleh penyerangan secara tiba-tiba dari pasukan Israel. Sedih sekali rasanya, tingkat beribadah yang tujuannya untuk kedamaian batin pun harus dalam keadaan takut dan trauma.

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Masjid Al-Aqsa. Pada masjid yang terletak di kota tua Yerusalem ini, tidak banyak umat muslim yang dapat melaksanakan ibadah shalat tarawih. Tempat tersuci ketiga dalam Islam setelah Mekkah dan Madinah tersebut dijaga ketat oleh pasukan Israel. Beberapa jamaah dilarang masuk dengan alasan keamanan yang tidak dijelaskan lebih lanjut spesifiknya. Entahlah, tampaknya hanya gaya-gayaan dengan perangai sok berkuasa. Merasa memiliki, padahal masjid tersebut kepunyaan umat muslim. 

Semestinya, masjid ini selalu ramai dengan ribuan warga ketika pelaksanaan shalat tarawih setiap bulan Ramadhan. Tahun ini menjadi tahun dengan jamaah lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hei, Israel, kalau kalian memang melarang warga Palestina masuk, kenapa tidak kalian saja yang beribadah di sana? Ayo, biar impas. Kalau begini tidak adil. Mana boleh kami membiarkan masjid kami kian sepi. Hitung-hitung sebagai pembuka jalan tobat juga bagi kalian. Eh, kalian masih mau tobat, ‘kah?

Selama bulan Ramadhan pula, terdapat kelangkaan dan kenaikan harga bahan makanan serta barang lainnya. Bala bantuan juga kerap dikirim melalui udara dan laut. Untuk MER-C sendiri tetap mengirimkan bantuan melalui darat. Adapun bantuan melalui darat lebih efisien dan terdistribusi lebih banyak. Karena ketika masuk, jumlahnya dapat mencapai 200 truk. Sedangkan jika melalui udara hanya sekitar 2 truk. Adapun jika melalui laut mencapai muatan 200 ton, namun masih terkendala dalam pendistribusiannya. PBB menyebut warga Palestiba kini terdampak kelaparan dan malnutrisi, dengan wilayah Gaza Utara sebagai daerah terparah.

Menariknya, Fikri mengungkapkan bahwa ia banyak termotivasi dari anak-anak kecil di sana. Mereka juga turut menghibur Fikri dengan mengatakan ‘jangan takut, ada kami di sini.’ Cukup iba melihat usia sebelia mereka dipaksa kuat bahunya bagai orang dewasa.

Melihat kondisi di Palestina menjadikan diri ini terilhami dan merenungi nikmat yang ada. Sungguh seburuk-buruknya keadaan, masih ada yang lebih sulit. Jadikan momentum Ramadhan ini sebagai wadah untuk meningkatkan rasa syukur. Mulai dari tidak membuang sia-sia makanan yang tidak habis, apalagi ketika berbuka puasa. Merupakan fenomena normal terserang penyakit ‘lapar mata’ saat berpuasa. Ambil secukupnya, tidak lebih dan jangan kurang. Untuk Israel pula, Jahannam sudah menunggumu.

Penulis adalah Shahibah Alyani, mahasiswi Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik (FT) Universitas Syiah Kuala

Editor: Aisya Syahira