Opini | DETaK
Semakin membludak kasus pelecehan seksual serta pemerkosaan menimbulkan munculnya poin-poin kontradiksi dari masing-masing individu yang saling menyerang satu sama lain terutama dalam lingkungan media sosial. Sebagai ruang yang memiliki ruang bebas berpendapat, media sosial seperti Tiktok atau Instagram menjadi wadah aspirasi masyarakat sekaligus alat untuk berdebat dan adu opini terkait isu pelecehan seksual ini. Muncul beberapa kubu dengan beragam pendapat, ada ahli agama yang menyatakan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi karena korban tidak menutup aurat sehingga menjadi pemicu nafsu dari si pelaku, muncul pula pernyataan dari para wanita yang meyakini bahwa pakaian tidak menjadi alasan pelecehan seksual dapat terjadi karena yang seharusnya dihakimi itu adalah para pelaku yang tidak bisa menjaga pikiran dan nafsu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat banyak sekali faktor yang memicu terjadinya pelecehan seksual, memang benar yang sudah pasti harus disalahkan adalah pelaku yang melakukan tindakan tersebut tidak terlepas apakah itu pria ataupun wanita, tetapi para korban juga memiliki tanggung jawab atas keselamatan dirinya sendiri, dan tidak dapat dipungkiri bahwa pakaian adalah salah satu pemicu hawa nafsu. Faktanya? terdapat fetish yang berupa pakaian. Jika tidak demikian, tidak ada istilah pakaian “haram” yang diperjual belikan oleh industri secara umum dengan tujuan agar pembeli bisa memuaskan keinginan pasangan masing-masing. Begitu pula dengan macam-macam fetish pakaian lainnya. Jadi jika dikatakan pakaian tidak memiliki korelasi atau penyebab meningkatnya kasus pelecehan seksual, bisa dikatakan hal itu tidak sepenuhnya benar.
Terlepas dari eksistensi pandangan agama manapun yang ada terutama Islam, setiap individu harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga hal-hal yang memang bersifat dapat memicu nafsu, terutama para wanita, karena memang kodratnya pria telah diciptakan dengan libido tinggi sehingga fantasinya juga lebih liar dibandingkan wanita. Tetapi bukan berarti pria dapat secara bebas berpakaian seperti yang diinginkan tanpa memperhatikan norma atau nilai yang diterapkan. karena bukan wanita saja yang dapat menjadi korban pelecehan, mengingat kasus pelecehan pria yang pernah terjadi atau seperti kasus Reynhard Sinaga, membuktikan bahwa pria juga harus lebih waspada.
Memakai pakaian terbuka memang tidak secara langsung menjadi pemicu terjadinya tindak pelecehan atau pemerkosaan, tetapi percaya ataupun tidak, hal tersebut menjadi alat yang menjadi “trigger” baik bagi para pria maupun wanita. Banyak sekali bertebaran di media sosial orang-orang yang kontra akan hal ini, mereka yakin bahwa hal tersebut 100 persen salah pelaku dan pakaian tidak memiliki korelasi apapun dalam kasus pelecehan tersebut. Ada pula yang menyertakan data bahwa persentase wanita berhijab lebih tinggi mendapat kasus pemerkosaan dibanding yang berpakaian terbuka, dimana mereka tidak memberikan secuil perhatian khusus dalam sub permasalahan yaitu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang menutup aura diperkosa oleh laki-laki yang telah naik syahwatnya karena melihat wanita lain dengan pakaian terbuka dan tidak senonoh tetapi malah melampiaskan kepada wanita lain yang telah berusaha berpakaian tertutup bahkan sampai berhijab. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya pengakuan pelaku pemerkosaan yang mengatakan bahwa mereka melakukan pelecehan seksual karena tidak tahan dengan hasrat wanita lain didalam konten pornografi ataupun yang diperhatikan secara langsung.
Dalam kasus penganut agama islam sendiri, muslim yang telah baligh memang diwajibkan untuk menutup aurat baik perempuan maupun laki-laki dengan batasan yang berbeda tanpa ada pengecualian atau alasan apapun, tetapi bagi para penduduk non-muslim, di harapkan adanya kesadaran diri masing-masing untuk menjaga agar tetap berpakaian sopan sesuai situasi dan lokasi, demi menjaga keselamatan dan menghindari kenaikan kriminalitas pelecehan seksual ataupun pemerkosaan. Karena memang kodratnya semua manusia diciptakan dengan hawa nafsu tetapi tidak semua manusia berhasil menanamkan sifat moral yang tinggi dalam kepribadiannya masing-masing untuk menjaga syahwat tersebut, jadi kita sebagai seseorang yang aware terhadap permasalahan tersebut dan dibekali ilmu dan moral yang cukup, sebisa mungkin berusaha untuk mencari solusi dan menjaga keselamatan diri untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini, pendidikan moral, self defense, dan juga pengetahuan dasar tentang seks perlu untuk dinormalisasi dan diberikan kepada siswa dan anak sesuai porsi masing-masing, dengan tujuan untuk mencegah si anak menjadi korban maupun menjadi pelaku kriminalitas tersebut di masa akan datang.
Dengan pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati, tidak salah jika diaplikasikan juga kedalam solusi tentang kasus pemerkosaan dan juga pelecehan sosial ini. Mata hukum juga harus jeli dalam menindaklanjuti segala perbuatan asusila ini tanpa memandang siapa yang melakukan, efek yang diberikan diharapkan sepadan dengan kriminalitas yang dilakukan dan harus diimplementasikan secara tegas. Penerapan peraturan agar wanita diberikan self defense lebih berupa alat-alat pertahanan yang sewajarnya juga perlu untuk disosialisasikan. Dan yang paling penting adalah, semua korban yang sadar telah mendapat pelecehan seksual harus berani untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang dan tidak perlu ragu untuk mengambil tindakan agar proses dari aparat dapat dilakukan secepat mungkin.[]
Penulis adalah Haris Putra Barona, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota UKM Pers DETaK USK.
Editor: Aisya Syahira