Beranda Opini Dilema Wanita dan Warung Kopi dalam Peradaban Aceh Masa Kini

Dilema Wanita dan Warung Kopi dalam Peradaban Aceh Masa Kini

BERBAGI
Ilustrasi (Sumber: Google)

Warung kopi (warkop) yang dalam  bahasa Aceh lebih dikenal dengan istilah keude kupi, merupakan sebuah entitas yang melekat dalam budaya masyarakat Serambi Mekkah. Keberadaannya multifungsi, tak sebatas tempat rehat, transit ataupun sebatas tempat nongkrong bersama. Transformasi dari esensi keberadaan warkop dimulai pasca tsunami. Dengan adanya perkembangan wifi, terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap warkop itu sendiri.

Warkop sering dikunjungi oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial budaya untuk berkumpul, berdiskusi, berdialog bahkan wawancara. Banyak sekali warkop di Aceh yang tak jarang memperlihatkan tata cara pembuatan kopi secara langsung. Daerah yang akrab disebut Seuramo Mekkah ini memiliki banyak jenis kopi, beberapa yang terkenal adalah Kopi Tubruk, Kopi Aceh, Arabica Gayo dan Sanger. Tokoh-tokoh dahulu, mereka mencoba menjadikan kedai kopi sebagai wahana terjalinnya pertukaran informasi.

Warung kopi mulai banyak digandrungi anak-anak muda hari ini. Semua bisa berbagi obrolan, mulai dari yang serius sampai receh tak bermakna. Sebagai ruang publik, warung kopi tidak hanya menawarkan kebersamaan, namun juga menawarkan bentuk privasi yang berarti pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi pribadi.

Iklan Souvenir DETaK

Zaman dulu yang meramaikan warung kopi hanya kaum Adam, namun di era saat ini sudah jauh berbeda. Saat ini Warung kopi tidak hanya diramaikan oleh kaum Adam, namun juga kaum Hawa. Bahkan kebanyakan mereka sampai lupa waktu dan lupa tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan. Inilah yang menjadi masalah bagi perkembangan peradaban Aceh saat ini. Dulu, wanita untuk keluar malam saja pun sangat sulit karena dianggap tidak baik dan begitu pula dengan orang tua, mereka sangat menjaga  anaknya.

Setelah munculnya paham Feminisme dari Barat, norma-norma dalam masyarakat Aceh mulai renggang. Hanya sedikit masyarakat Aceh yang masih menerapkan norma-norma tersebut.

Budaya wanita ngopi sudah biasa dilakukan oleh siapa saja. Namun ada sedikit kejanggalan jika wanita masih ngopi hingga larut malam. Menurut penulis seharusnya di waktu tersebut seorang wanita berada di rumah, tak lagi berada di luar untuk alasan yang tidak mendesak. Penulis sering melihat fenomena akhir-akhir ini, mayoritas wanita ngopi di tengah malam cenderung bukan dengan mahramnya. Hal-hal seperti itu sudah dianggap lumrah dilakukan. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan karena peran orangtua untuk menjaga anaknya sudah sangat berkurang. Di sisi lain kepedulian masyarakat tentang norma-norma ke-Acehan pun perlahan tapi pasti mulai memudar.

Ketika berada di warkop, hanya segelintir orang yang peduli akan apa yang dilakukan. Menurut hemat penulis, pada dasarnya wanita yang nongkrong di warkop itu tidak masalah, asalkan ia tidak lupa dengan kewajibannya. Nongkrong di warkop tidak ada larangan jika ketertiban tetap terjaga. Dari segi agama Islam, wanita diperbolehkan keluar untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik berupa pangan atau sandang. Seperti yang dikatakan dalam sebuah hadist riwayat Bukhari “Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar rumah memenuhi kebutuhan kalian”.

Dalam bangunan budaya dan peradaban Aceh, wanita pada dasarnya sangat dimuliakan. Sejak dahulu, walaupun keude kupi telah ada di Aceh, wanita tidak bisa sembarangan tanpa pertimbangan untuk duduk berlama-lama di keude kupi tanpa keperluan penting. Budaya ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga kemuliaan wanita Aceh. Budaya duduk di warkop berlebihan ini sebenarnya dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan peradaban Aceh. Wanita Aceh yang mulai kehilangan jati diri dengan melupakan tanggung jawabnya, merupakan permasalahan bagi generasi Aceh di masa kini dan yang akan datang.

Meskipun tidak ada dalil atau firman Allah yang membahas dan melarang secara langsung mengenai wanita keluar pada malam hari, wanita yang baik harus tetap tahu waktu dan batasan saat keluar rumah. Alangkah baiknya tidak terlalu sering keluar rumah pada malam hari, dan juga tidak keluar pada larut malam jika memang tidak ada keperluan yang sangat mendesak. Karena hal tersebut tidaklah baik, dapat berakibat buruk bagi wanita. Setiap wanita melangkahkan kakinya keluar rumah, maka setan akan memperindahnya. Seperti yang dikatakan dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmizi, “wanita adalah aurat, ketika ia keluar, setan akan memperindahnya”. Jika kepergiannya dirasa tidak aman dan mengkhawatirkan maka alangkah baiknya ditemani oleh mahramnya, seperti ayah, kakak, saudara atau suaminya, agar terhindar dari fitnah.

Untuk membangun budaya dan peradaban Aceh, peran wanita dan warkop saat ini sangat penting. Perlu tinjauan terhadap fenomena yang telah melanda wanita Aceh saat ini. Penulis banyak melihat fenomena yang tidak etis terkait gaya hidup nongkrong di warkop secara berlebihan. Fenomena ini seperti wanita yang terlalu lama ngopi di warkop hingga lupa waktu. Menurut sudut pandang kesehatan, bergadang adalah hal yang tidak bagus apalagi jika dilakukan secara berulang dan terus-menerus, karenanya bergadang akan memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan. Dikutip dari CNN Indonesia, bahaya mengonsumsi kafein yang terlalu banyak dapat memberi efek samping yang berbahaya bagi kesehatan wanita, menyebabkan depresi seperti menurunkan mood wanita, terlebih ketika wanita datang bulan atau menstruasi.

Bulan September lalu Bupati Kabupaten Bireuen, Saifannur  mengeluarkan fatwa warung kopi, kafe, dan restoran sesuai dengan syariat islam. Fatwa yang dikeluarkan berbunyi haram bagi  pria dan wanita ngopi satu meja kecuali bersama muhrimnya. Tujuan diperlakukan aturan tersebut untuk mencegah terjadinya pelanggaran syariat dan mencegah perselingkuhan di Kabupaten Bireuen.

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran syariat, pemerintah Aceh sudah membentuk satuan Wilayatul Hisbah (WH) atau yang dikenal polisi syariah. Dengan adanya polisi syariah ini, upaya untuk membentuk dan mengawal budaya dan peradaban Aceh akan lebih baik. Awalnya instansi WH berada di bawah dinas syariat islam, namun kini telah dileburkan ke Satuan Polisi Pamong Praja atau sering disebut dengan istilah Satpol PP. Satpol PP harus melakukan operasi setiap malam hari  di Aceh. Personil untuk Satpol PP masih sedikit, maka pemerintah perlu memperbanyak personilnya, sehingga memudahkan pengontrolan di setiap sudut di Aceh.

Penulis meyakini, dengan menjaga jati diri wanita Aceh dan tetap memfungsikan warkop dengan cara yang bijak, maka upaya untuk membangun budaya dan peradaban Aceh dapat terlaksana. Pihak pemerintah juga harus tegas, dalam menyikapi tempat-tempat warkop. Jika hal tersebut tidak diperhatikan dengan baik, maka berbagai kasus pelanggaran syariat Islam yang bisa mengganggu terciptanya budaya dan peradaban Aceh akan terus terjadi dan meningkat seiring waktu. Tentu, kita semua tidak ingin hal yang buruk menimpa Aceh. Waullahu’alam.

Penulis bernama Alfi Nora mahasiswa FISIP Unsyiah angkatan 2017. Ia juga aktif sebagai anggota Hubungan masyarakat (Humas) di UKM Pers DETaK Unsyiah.