Beranda Feature Ruhaynah, Bukti Ketangguhan Seorang Wanita

Ruhaynah, Bukti Ketangguhan Seorang Wanita

BERBAGI
Ilustrasi. (Maisara Naila/DETaK)

Maisara Naila | DETaK

“Saya jualannya ya seperti ini jalan dari rumah terus di lorong-lorong. Alhamdulillah kalo mau beli tapi kalo tidak ya sudah bukan rejeki saya nanti saya lanjut saja jalan.”

Banda Aceh – Langkah kaki di atas sepasang sandal usang dan sekarung sagu yang berdiri kokoh di atas kepala terlapis jilbab hitamnya menemani perjalanan seorang wanita paruh baya di tengah teriknya terpaan matahari yang menyilaukan. Namun panasnya matahari ini tidak melunturkan guratan senyum dan raut penuh semangatnya dalam menjajakan daganganya.

Iklan Souvenir DETaK

“Sekarang ini saya rasa inilah yang dapat saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mencukupi biaya sekolah keempat anak saya. Dulu suami saya yang ke ladang tetapi semenjak dia lumpuh ya harus saya yang ambil alih. Kalo bukan saya kek mana keluarga kami bisa makan,” tuturnya dengan pandangan lurus mengenang memori yang terasa menyesakkan tersebut.

Ruhaynah, itulah nama seorang wanita paruh baya yang telah bekerja keras dalam menyusuri rumah ke rumah dalam menjajakan dagangannya. Sagu, roti buaya, dan beberapa makanan khas daerahnya yaitu Sigli dipilihnya sebagai mata pencaharian dan bertahan di tengah kerasnya realitas ekonomi yang kian menanjak dari waktu ke waktu.

“Kalo untuk kue-kue dan sagu ini saya ambil sendiri dari kampung saya di Sigli, jadi nanti dua hari sekali saya pulang untuk ambil barang-barang buat saya jual di sini. Biasanya saya ambil barang dari tetangga saya di kampung nanti hasil dari jualan ini kami bagi dua. Misalnya sagu ini ya saya biasanya bawa dari kampung tu 50 kg nanti sampai di sini di rumah baru saya pisahin per kilo ke dalam plastik, supaya mudah untuk dikasi kalo ada yang mau beli. Sagu saya jualnya 10 ribu per kilonya kalo kue-kue ini beragam harganya dimulai dari 10 ribu sampe 15 ribu,” ujar Ruhaynah.

Setiap harinya ia memulai harinya dengan menyiapkan keperluan-keperluannya untuk berjualan yang kemudian menyusuri berkilo kilo jauhnya untuk menjual dagangannya. Dengan keoptimisan inilah dia selalu bersemangat memulai hari-harinya sebagai wanita tulang punggung keluarga. Berat yang terpikul serta panasnya matahari ditambah jarak yang harus ditempuhnya dengan usia yang tak lagi muda tidak menyurutkan semangatnya.

“Saya jualannya ya seperti ini jalan dari rumah sewaan saya di Peuniti ya jalan aja terus di lorong-lorong kan ada rumah tu. Nanti sambil jalan-jalan saya liat ada orang atau enggak. Nanti kalo ada orangnya di rumah saya berhenti saya tawarin aja. Biasanya ibu-ibu pasti yang beli nanti kadang-kadang sekalian cerita-cerita aja. Alhamdulillah kalo mau beli tapi kalo tidak ya sudah bukan rejeki saya nanti saya lanjut saja jalan,” ucapnya diselingi tawa dan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Saya sedikit penasaran kenapa beliau begitu kuat memikul berat sagu di atas kepala seperti itu dan dengan tawanya beliau menjelaskan, “Saya udah biasa angkat-angkat kayak gini dari kecil. Saya kan di kampung jadi sering bantu atau ikut orang tua ke ladang, apalagi kalo sedang musim panen saya bolak balik pasti angkat-angkat padinya. Kalo anak sekarang mana tau apalagi kalo udah tinggal di kota mana ada kan ladang di sini. Di sini semua udah canggih-canggih enak kalo mau apa-apa mudah,” jelasnya.

Ketika disinggung mengenai pendapatannya sehari beliau menjawab dengan raut menimang-nimang. “Penghasilan ini kan saya gak nentu, kalo Alhamdulillah ramai yang beli bisa dapat 250 ribu dan kalo sepi biasanya cuman 100 ribu. Biasanya saya supaya lebih hemat bawa bekal minuman dan makanan dari rumah. Saya sudah jualan kayak gini dari sebelum corona udah jualan. Ya memang terasa sekali perbedaan uang yang saya terima dari sebelum pandemi kemaren. Saya pun paham orang-orang pasti lebih hemat kan ya. Apalagi corona ini masih ada kayak gini,” Di akhir pembicaraan kami, Ruhaynah berharap supaya pandemi segera berakhir. []

Editor: Della Novia Sandra