Beranda Feature Ratna Eliza, Sosok dibalik C-Four Aceh, Rumah Singgah bagi Anak Penderita Kanker

Ratna Eliza, Sosok dibalik C-Four Aceh, Rumah Singgah bagi Anak Penderita Kanker

BERBAGI
Sosok Ratna Eliza Pendiri Rumah Singgah C-Four Aceh (Dok. Pribadi)

Elisawati [AM], Salsabira [AM] | DETaK

Malaikat tak bersayap, itu menjadi panggilan yang tepat untuk disandang oleh Ratna Eliza. Wanita kelahiran Palembang yang secara tidak sengaja terbang ke Aceh, lalu berubah menjadi wujud dari teriakan doanya anak-anak penderita kanker yang memang membutuhkan bantuan beliau. Layaknya pahlawan yang tidak kesiangan maupun terlambat di lain waktunya, Ratna membangun sebuah rumah yang diciptakan sebagai tempat penyinggahan bagi anak-anak penderita kanker. Tidak hanya membantu secara finansial, Ratna juga dengan rajin memberi dukungan emosi dan terus menanamkan afirmasi positif bagi pasien disana. Ia membangun hubungan yang baik untuk terus menuntun anak-anak kanker agar tetap semangat dalam masa penyembuhan mereka. 

Pertemuan Awal

Berawal dari kepindahannya pada tahun 2014 ke Aceh, Ratna berjumpa dengan anak manis yang menjadi tetangganya itu. Anak yang berusia sekitar 5 tahun tersebut ternyata memiliki kondisi leher yang bengkak dan menimbulkan rasa penasaran bagi Ratna. Ibu yang memiliki anak seusia dengan tetangganya itu pun mengetahui bahwa pembengkakan yang terjadi merupakan penyakit kanker getah bening stadium lanjut. Hal itu yang menjadi perkenalan awal Ratna dengan penyakit kanker tersebut.

Iklan Souvenir DETaK

Melihat kekurangan dana dari pihak keluarga anak itu, menarik Ratna untuk menggalang dana bantuan dan ikut serta dalam mengurus rujukan ke rumah sakit. Di sana lah perasaan emosional Ratna tumbuh pesat, melihat banyaknya anak-anak yang ternyata juga mengidap penyakit kanker dengan keadaan pendapatan ekonomi keluarga menengah ke bawah. 

“Kenapa sih saya nggak punya rumah singgah?” Ketika saya melihat pasien-pasien ini tidur di emperan rumah sakit gimana mereka mau sembuh? Tingkat kebersihan, higienisnya saja tidak terjaga. Akhirnya saya sewa rumah singgah,”


Pada tahun 2015, akhirnya Ratna pertama kali menyewa sebuah rumah berisikan 2 kamar di Lambhuk, Banda Aceh sebagai tempat singgah untuk mereka. Setelah berjalan 1 tahun, pasien yang mampir di rumah singgah tersebut pun semakin ramai. Hingga Ratna kembali menyewa rumah baru dengan muatan yang lebih luas, yang sekarang masih ditempati tepatnya pada Jalan Sepat, Lampriet, Banda Aceh bernama Rumah Singgah C-Four (Children Cancer Care Community) Aceh.

Tantangan : Dana, Ejekan dan Harapan 

“Alhamdulillahnya untuk bantuan dana selama ini selalu lancar, karna saya percaya niat yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Namun kerap kali menerima cemoohan dan ejekan dari masyarakat, yang berprasangka buruk akan niat baik saya. Biasanya disebut sebagai pengemis elit, ataupun si pencari ketenaran nama. Tetapi saya acuh saja dan tetap fokus untuk membantu anak-anak saya,”

Saat perjalanan berat mereka melawan penyakit, anak-anak ini membuktikan bahwa apa yang mereka butuhkan bukan hanya perawatan medis tetapi juga perhatian dan dukungan semangat dari lingkungan sekitar. Masyarakat diharapkan dapat lebih memperbesar rasa empati dan simpati, memberikan perhatian yang lebih besar pada anak-anak yang tengah berjuang melawan kanker. Sebuah tindakan kecil seperti memberikan dukungan moral atau sekadar hadir dalam kehidupan mereka dapat sangat membawa perbedaan dan pengaruh besar bagi mereka dengan melibatkan diri dalam upaya bersama untuk memberikan cinta, kasih sayang dan semangat kepada anak-anak yang sedang menempuh perjalanan berat ini menjadi panggilan bersama bagi kita semua. 

Kisah Emosional Lanny, salah satu anak asuh Ratna.

Lanny adalah salah satu anak yang menghampiri rumah singgah Ratna, dengan kondisi kanker tulang yang divonis mengharuskan amputasi salah satu kakinya. Namun hasil vonis tersebut ditentang keras oleh orangtuanya, yang tersulut emosi dan menarik kembali Lanny untuk dibawa pulang. Hal ini pun rupanya malah memperburuk keadaan, karena setelah diselidiki usut punya usut, dalam perjalanan pulangnya Lanny ternyata dibawa berobat pada tempat yang tidak seharusnya. Melawan kepercayaan ilmu para dokter, ayah Lanny memercayakan kondisi luka kaki anaknya untuk ditumpahi darah ayam yang disembelih tepat diatas kaki anak tersebut. 

Akibatnya, kondisi luka kaki dari penyakit kanker tulang yang diderita Lanny pun semakin tidak tertolong. Ratna akhirnya berbicara kepada Lanny, “Kamu masih mau hidup tidak? Sakit tidak kakinya?,” Lanny merespon,  “Sakit, Bu.” Lalu saya tanyakan kembali, “Terus kamu mau nahan sakit ini terus?” Dia menyahut dengan melas, kalo dia sudah tidak sanggup juga untuk merasakannya dalam jangka waktu yang panjang. 

Ratna dengan penuh ketegasan memberikan dia arahan, “Kalau kamu memang tidak kuat, potong rumahnya. Sudah ada rumah penyakit kanker yang besar menetap di atas kaki kamu itu. Coba berpikirlah apa tindakan tepat yang bisa kamu ambil saat ini, apa kamu mau terus hidup melalui amputasi dan potong ikatan kanker itu dari kaki kamu, atau kamu ingin terus merasakan kesakitan yang tidak tau akan sampai mana tingkat rasa sakit itu menjalar,”  Saya memberinya sedikit wejangan melalui kata-kata tersebut, hingga akhirnya Lanny yang memutuskan dan menghampiri ayahnya. Lalu dengan tegas menyatakan ingin mengikuti prosedur vonis dokter untuk mengamputasi kakinya. 

Tanpa ragu, saya langsung mengajak Lanny ke rumah sakit. Sayangnya, ternyata telah terjadi penyebaran yang memerlukan amputasi. Saat momen amputasi, saya mengajak Lanny untuk memilih, “Lanny, jika kamu kuat, saya akan membawa kamu ke Sabang setelah ini,” Lanny setuju dengan penuh tekad. Seiring proses amputasi yang kedua, Lanny kini harus kehilangan bagian dari pangkal pahanya.

Meskipun Ratna sebelumnya sudah membelikan kaki palsu untuk Lanny tetapi kaki yang diamputasi sampai di paha, pilihan untuk menggunakan kaki palsu menjadi tidak mungkin lagi. Namun, saat Lanny melawan kesulitan, Ratna mengajarkannya untuk menggunakan kruk untuk menjaga keseimbangan Lanny ketika berjalan tetapi perjuangan belum berakhir sampai disitu. Lanny pun belajar memakai kruk sampai suatu saat dia terjatuh didekat dinding dan melempar tongkat kruknya. Momen ini membuat Lanny putus asa sampai ia mengatakan keinginannya untuk mati. Ratna yang mendengarkan merasakan betapa sulitnya proses penyembuhan dan pemulihan jiwa Lanny. Ia tidak bisa masuk ketika Lanny sedang dalam keadaan terpuruk dan mencoba memberikan dukungan tanpa memaksanya.

Setiap sore dengan penuh semangat Ratna mengajak anak-anak kecil untuk masuk ke mobil, Lanny yang melihat pun mengesot dan bertanya kepada Ratna “Aku bu? aku tidak ikut?,” Ratna dengan tega hati pun menjawab “Siapa suruh kamu gak bisa jalan,” terasa seperti tamparan yang sangat berat bagi Lanny. Meski begitu terjadilah keajaiban, kata-kata yang sangat menyakitkan menjadi penuh harapan untuk Lanny belajar berjalan kembali. Keesokan harinya, dia bertanya dengan penuh semangat, “Mana kruk aku?” dengan senang hati Ratna memberikannya kruk. Lanny kemudian belajar berjalan dengan bantuan kruk selama seminggu.

Dalam momen yang penuh makna, Lanny berkata, “Ibu, kapan kita ke Sabang?” Ratna pun membawa Lanny ke Sabang, tempat di mana sebelumnya sudah ia janjikan. Lalu bersama dengan anak-anak yang juga sedang berjuang melawan kanker, Ratna menyaksikan dengan salut ketika Lanny berhasil menyelam dengan satu kaki, sebuah pencapaian luar biasa dalam hidup Lanny yang memberikan semangat bagi kita semua.

Akhirnya Lanny telah mencapai tahap bersih remisi artinya tidak mengandung sel kanker lagi di dalam tubuhnya menunjukkan bahwa keteguhan dan semangatnya telah membawanya melewati masa-masa sukar tersebut. Beberapa tahun yang lalu, dengan semangat yang tak kenal letih Lanny meminta sebuah laptop. Ratna pun memenuhi permintaannya dan bahkan membantunya mengikuti kursus komputer. Kini, Lanny menjadi seorang gadis cantik yang telah berhasil bertahan sejak awal perjalanannya melawan kanker. []

Editor: Aisya Syahira