Beranda Feature Perjuangan Sang Ibu Tunggal

Perjuangan Sang Ibu Tunggal

BERBAGI
Potret Anna, penjual nagasari di Pasar Halat, Medan. (Ananda Safira Mirza Hasibuan [AM]/DETaK)

Ananda Safira Mirza Hasibuan [AM] | DETaK

Di saat kalender rumah menunjukan angka merah, di saat pekerja menghela nafas lega karena libur. Anna tetap berada di sana. Duduk di atas bangku merahnya dengan keranjang hijau berisi kue lepat bugis dan nagasari.

Sembari termangu, wanita paruh baya itu terduduk lesu menanti orang yang akan membeli dagangannya. Ditemani alunan lagu dangdut lawas dari kios soto padang di sebelahnya, pagi itu Pasar Halat di Kota Medan terasa agak ramai. Namanya Anna. Ibu tunggal yang berjualan kue menggandalkan keranjang plastik tanpa kedai ataupun gerai. Hanya beralaskan tiga bangku merah yang salah satunya dipakai Anna sebagai tempatnya beristirahat.

Iklan Souvenir DETaK

Di hadapan dua keranjang hijau dagangannya, Anna terduduk lesu dekat pintu keluar Pasar Halat yang menjadi tempat keluar masuknya pedagang ataupun pengunjung pasar. Beberapa orang melewatinya, harapan besar ibu beranak dua itu kepada pengunjung yang berlalu-lalang.

“Udah empat tahun jualan ini, empat tahun juga di sini. Dulu pernah jualan baju, cuman kan biayanya besar. Lakunya juga cuman waktu Hari Raya aja kalok hari biasa gini mana ada,” ucapnya sembari melirik dagangannya. “Ya inilah jualan ibu sekarang. Ada nagasari, lepat bugis. Isinya aja yang beda, gula merah sama gula putih.”

Beberapa kali pengunjung pasar datang menghampirinya. Ada yang membeli dan ada pula yang hanya sekedar bertanya. Tampak peluh membasahi pipi seorang ibu yang menjadi tulang punggung keluarganya itu. Suami Anna sudah lama meninggal sehingga haruslah ia menanggung kebutuhan keluarganya. Anna melalui pahitnya kehidupan sebagai sosok seorang ayah dan juga seorang ibu. Semua itu ia lakukan demi dua buah hatinya.

Sinar matahari yang semakin terik menunjukan eksistensinya tak menjadi halangan bagi Anna. Bahkan senyuman tipis tetap mengihasi wajahnya yang sudah berumur. Hanya ada tawa di wajah iAnna ketika ia menjelaskan kehidupannya.

“Penghasilan ya.. Gak nentu. Kalau ramai sehari tuh bisa sampe seratus ribu kalau sepi cuma lima puluh ribu,” jawabnya dengan beberapa jeda di antara kalimat yang ia tuturkan. “Kalau gak laku harus minjem sana-sini. Yaa, gimana, pengeluaran banyak pemasukannya dikit. Apalagi ibuk kan singleparent.”

Pandemi yang tak ada habisnya, hari demi hari membuat penjualan Anna selalu bersisa, “Lima puluh persen turunnya. Yang datang ke pajak kan makin dikit. Sehari itu cuman dapet tiga puluh ribu,” Lanjutnya, sedikit termenung melihat dagangannya yang belum laku.

Raut wajahnya yang terlihat lelah berubah menjadi senyuman saat beberapa pembeli menghampirinya. Dengan lihai ia meladeni mereka, tak luput seutas senyum pun turut menghiasi wajah Anna.

Wanita yang sudah berumur itu tampak menimang-nimang, memikirkan sesuatu dengan raut wajah serius, “Biasanya ibu buat kuenya sih tiga ratus biji kalau hari Minggu, udah semua tuh. Kalau hari biasa agak kuranglah.”

Di atas bangku merahnya, Anna menerawang jauh ke arah jalanan. Mengulas kembali cerita kehidupan yang dijalaninya sampai saat dirinya berasa di fase sekarang.

“Suami saya meninggal udah lama. Anak saya dua, laki-laki, satu udah kerja. Kalo malam jualan di depan pajak itulah,  jualan kerang rebus. Semenjak corona inilah kalo malam jualannya sepi.”

Teriknya matahari sudah di atas kepala, Anna masih setia menjabarkan lika-liku kehidupannya. Namun, tak ada raut sedih di wajah wanita paruh baya itu, hanya ada senyuman yang menjadi saksi bisu segala cerita pilu.

Di saat kalender rumah menunjukan angka merah, di saat pekerja menghela nafas lega karena libur di hari Minggu tanggal 25 Desember untuk memperingati Hari Raya Natal, Anna tetap berada di sana. Duduk di atas bangku merahnya dengan keranjang hijau berisi kue lepat bugis dan nagasari.

“Libur tetap jualan lah! Kecuali kalau sakit,” tuturnya dengan tawa. “Yaa, doakan aja ibu tetap sehat selalu.” []

Editor: Della Novia Sandra