Beranda Feature Mengenal Kerajinan Daerah Khas Gampong Meunasah Serba

Mengenal Kerajinan Daerah Khas Gampong Meunasah Serba

BERBAGI
(Dok. Panitia)

Feature | DETaK

Meunasah Serba – Dalam mengikuti Kuliah Kerja Nyata Universitas Syiah Kuala yang sudah dilaksanakan selama sebulan mulai dari Senin, 06 Desember 2021 hingga hari Kamis 06 Januari 2022, kami mahasiswa KKN yang bertempat di Gampoeng Meunasah Serba, Kabupaten Aceh Jaya mendapati beberapa hal mengenai kerajinan yang telah menjadi ciri khas dari Gampoeng Meunasah Serba.

Meunasah Serba merupakan salah satu desa yang ada di Mukim Lamme, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Indonesia. Wilayahnya tergolong kecil karena berada di antara dua desa lainnya yaitu Desa Leupe dan Desa Lamme. Alhamdulillah, kedatangan mahasiswa KKN disambut hangat oleh Pak Keuchik, perangkat desa dan warga setempat. Pada saat penerimaan, hadir pula beberapa dosen pembimbing salah satunya Pak Nasrul selaku dosen pembimbing kami di Gampong Meunasah Serba.

Iklan Souvenir DETaK

Sebelum mendatangi desa, kami sempat menelusuri artikel terkait dan menemukan salah yang bersumber dari serambinews.com mengenai Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Jaya yang menetapkan Meunasah Serba, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya sebagai salah satu pusat pembinaan kerajinan tenun songket adat di tahun 2016. Di sini kami mulai tertarik untuk mempelajari berbagai kerajinan yang ada di desa dengan mendatangi beberapa rumah warga dan menemukan bahwa tudung kepala dan tenun songket adalah kerajinan yang banyak diminati oleh penduduk setempat.

Umumnya, tudung kepala atau disebut juga caping terbuat dari bambu dan rotan. Namun, penduduk di Desa Meunasah Serba memanfaatkan daun nipah sebagai bahan utama dalam pembuatannya. Selain daun nipah, bahan pembuatan caping juga dilengkapi dengan rotan, serpik dan benang.

Nipah itu sendiri merupakan sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Dulunya, daun nipah sering digunakan  sebagai lembaran bungkus rokok. Selain itu, tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon-daonan, buyuk, bhunyok, bobo, boboro, palean, palenei, pelene, pulene, parinan, dan sebagainya. Pemasokan daun nipah yang Ibu Rukaiyah-salah satu pembuat tudung kepala-beli berasal dari Lambaroo, dekat Gurutee. Dari hasil wawancara kami pada ibu-ibu setempat, keuntungan menggunakan daun nipah adalah dapat menghalau panas dan air hujan dengan baik saat dipakai untuk berkebun maupun pergi ke sawah.

Proses pembuatan tudung kepala ini tidak terlalu rumit jika dipelajari dengan serius. Pembuatan satu tudung bisa mencapai 2 jam. Menurut Ibu Rukaiyah sendiri, kerajinan tudung ini bisa dipelajari hanya dalam dua hari.

Pertama, daun nipah harus dikeringkan terlebih dahulu setelah dibentuk semacam anyaman persegi (dalam bahasa aceh disebut dengan ‘blent’) selama beberapa hari tergantung dengan cuaca. Jika cuaca panas, pengeringan berlangsung 4 hari, serta berlangsung 8 hari jika cuaca sering hujan. Kedua, setelah daun nipah dikeringkan, blent dibuka dan daun nipah kering dikumpulkan. Ketiga, rotan yang Ibu Rukaiyah gunakan sudah dibelah-belah, akan tetapi harus diraut terlebih dahulu agar tipis, jika rotan tebal maka tidak dapat digunakan.

Keempat, daun yang sudah dikeringkan tadi dibentuk seperti kerucut dan dipotong untuk disejajarkan dengan bentuk tudung yang diinginkan. Di sini Ibu Rukaiyah menggunakan teknik secara manual yaitu menggunakan tangan dengan memasukkan daun satu persatu hingga tersusun berbentuk kerucut. Kelima, daun yang sudah tersusun dijahit menggunakan benang. Keenam, dipasangkan serpik (kayu panjang) dengan cara dilingkarkan 10-12 serpik pada bagian bawah tudung dan diikat dengan rotan yang sudah ditipiskan. Terakhir, dipasangkan puncak menggunakan plastik atau hiasan lainnya untuk menutupi bagian atas tudung.

Proses pembuatan tudung kepala menggunakan daun nipah. (Dok. Panitia)

Untuk pengeluaran, biasanya Ibu Rukaiyah membeli daun nipah dengan kisaran harga Rp30.000 per karungnya dan dari satu karung daun bisa membuat hingga 15 tudung kepala. Untuk rotan sendiri biasanya dibeli per ikat dengan harga Rp25.000 dan untuk serpik-nya dibeli dengan kisaran harga Rp5.000. Sedangkan benangnya, Ibu Rukaiyah biasa membeli per ons dengan harga Rp10.000 dan satu gulung benang seharga Rp25.000. Sejak dulu, bahan yang digunakan adalah daun nipah, hanya saja yang berbeda adalah benangnya. Jaman nenek Ibu Rukaiyah, benang yang digunakan adalah benang cap jagung putih, sedangkan benang yang sekarang lebih praktis dan mudah.

Dalam penjualannya, Ibu Rukaiyah mengaku keuntungan yang didapatkan hanya untuk makan sehari hari saja dan tidak mengambil banyak laba. Biasa dijual per minggu dan kadang kadang per bulan tergantung seberapa siap. Dalam seminggu, Ibu Rukaiyah bisa membuat lima hingga sepuluh tudung kepala dengan kisaran harga Rp10.000 hingga Rp15.000. Jika tidak ada yang membeli, tudung dapat disimpan untuk stok ke depannya. Kebanyakan orang yang membeli berasal dari Banda Aceh dan orang luar lainnya. Kebutuhan di Meunasah Serba sendiri bisa dibilang sedikit karena kebanyakan warga di sini bisa membuat sendiri tudung kepalanya.

Untuk hambatan-hambatan yang dirasakan selama proses pembuatan di antaranya kurang bahan seperti daun nipah yang tidak tersedia atau serpik yang tidak ada. Kadang-kadang juga Ibu Rukaiyah tidak membuat tudung kepala dalam waktu yang lama karena alasan tertentu.

Selain tudung kepala, di Desa Meunasah Serba juga terdapat kerajinan berupa pembuatan tenun songket. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin sehingga memberikan berbagai macam motif.

Kain tenun merupakan salah satu kain tradisional yang memiliki keindahan dan filosofi budaya yang hampir di setiap daerah mempunyai jenis, sejarah, motif dan corak, serta ciri khas setiap masing-masing daerah. Salah satu pengrajin tenun di Desa Meunasah Serba adalah Ibu Asmarani, berusia 60 tahun.

Sebelum ini, beliau juga merupakan pengrajin tudung kepala dan sejak usia 35 tahun mulai berfokus pada tenun songket. Koleksi tenun yang ditunjukkan pun beragam, mulai dari kain sarung, songket, hingga selendang serta beberapa contoh kain kecil dengan motif yang berbeda-beda. Masing-masing motif memiliki khasnya sendiri, baik itu berasal dari request klien hingga motif khas Aceh Jaya yang pernah memenangkan ajang lomba tenun songket di Jakarta.

Asmarani, salah satu penenun yang tengah menenun songket. (Dok. Panitia)

Bahan-bahan yang digunakan cukup sederhana, yaitu kasap dan benang. Biasanya Ibu Asmarani membeli satu gross benang dengan harga Rp250.000. Untuk satu gross benang, ia bisa membuat satu sarung dan satu kain selendang. Sedangkan alat yang digunakan berjenis ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), merupakan alat yang terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan injakan serta berbagai fungsi lainnya. Alat ini digunakan secara manual menggunakan kaki dan tangan dengan si pengrajin duduk di atas kursi yang sudah tersedia. Ibu Asmarani biasanya mengerjakan tenun setiap pagi mulai dari pukul 08.00 WIB sampai 10.00 WIB.

Kain tenun memiliki keunikannya sendiri terutama pada proses pembuatannya. Untuk membuat selembar kain tenun yang indah, Ibu Asmarani membutuhkan waktu sekitar 20 hari menyelesaikannya. Beliau mengatakan bagian terlama adalah ketika memasukkan motif bunga ke benang polos. Keuntungan penjualan yang didapatkannya pun terbilang besar, berkisar antara Rp200.000 hingga Rp300.000 dengan satu helai kain yang dijual bisa berkisar antara Rp500.000-Rp850.000 bergantung pada kesulitan proses atau motifnya. Beliau mengatakan tidak memiliki hambatan maupun kerugian dari proses pembuatan dan penjualan yang dilakukan.

Sayangnya, kedua kerajinan di Desa Meunasah Serba ini tidak diwariskan secara turun temurun. Banyak masyarakat yang diminta mengajarkan dan belajar dengan pengrajin desa ini akan tetapi jarang yang bertahan lama. Dalam keluarga pun, pengrajin tidak memaksakan harus menguasai cara membuat kain tenun ataupun tudung kepala. Para pengrajin kebanyakan belajar sendiri atas keinginan mereka sendiri. Meskipun begitu, ada baiknya agar pemerintah setempat dapat membantu untuk melestarikan kebudayaan menenun serta pembuatan tudung kepala dengan daun nipah dan mengenalkan keindahannya kepada generasi muda agar mereka mempunyai minat dalam mengembangkan kerajinan di Indonesia.[]

Penulis adalah kelompok RG-XX110 KKN USK yang melakukan pengabdian di Desa Meunasah Serba, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Kelompok tersebut terdiri dari Muhammad Irfan, Akhiruddin Hasibuan, Indah Aprilla, Cut Tarinda Ardellya, Rifatunnisa, dan Nazilla.

Editor: Indah Latifa