Beranda Feature Kisah Yusniar Pengrajin Blangong Tanoh dari Kabupaten Pidie

Kisah Yusniar Pengrajin Blangong Tanoh dari Kabupaten Pidie

BERBAGI
Kerajinan blangong tanoh. (Amanta Haura/DETaK)

Amanta Haura | DETaK

Yusniar, sebelumnya mungkin tidak ada yang mengenali siapa sosok yang menjadi pengrajin blangong tanoh semenjak usia belia ini. Yusniar merupakan salah seorang pengrajin blangong tanoh yang masih bertahan sampai sekarang. Di usianya yang sudah kepala lima ia tetap gigih dalam mencari nafkah dan melestarikan kebudayaan yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi ini.

Dan inilah alasan Yusniar yang sampai sekarang masih bertahan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pengrajin blangong tanoh.

Iklan Souvenir DETaK

“Bahan baku untuk membuat ini memang tidak banyak hanya pasir dan tanah liat, tapi untuk bisa dapat itu kami harus ke sungai atau ke bukit. Agak susah memang tapi ya mau gimana cuma di situ yang adanya,” tuturnya sambil tersenyum.

Hal ini tidak menjadi keluhan bagi Yusniar, ia tetap gigih dalam menjalani kesehariannya. Meski membuat blangong tanoh bukanlah hal yang mudah dan harus melalui banyak proses, Yusniar mengaku ia sudah terbiasa karena telah mempelajarinya sejak usianya masih muda.

“Susah sebenarnya untuk membuat ini, pertama kami harus mencari tanah terus membuat berbagai bentuk blangong dengan beberapa ukuran terus harus dirapikan, baru kemudian dibakar. Cuma kami sudah belajar ini sejak masih muda, jadi meskipun melelahkan kami sudah terbiasa,” tuturnya.

Sudah berpuluh-puluh tahun Yusniar menjadi pengrajin blangong tanoh di Gampong Meunasah Puuk Kabupaten Pidie tempat tinggalnya. Meskipun sudah di usia senja, tangan-tangan tuanya masih terampil dalam menyelesaikan kerajinan warisan leluhurnya itu, bisa dilihat dari cara dia membentuk sampai pada proses pembakaran, semua ia lakukan dengan cekatan.

“Untuk harganya beragam, bisa dibilang murah karena kan bahan bakunya juga nggak perlu bayar cuma ngambil aja di sungai. Kalau yang kecil ini Rp 2.500 yang paling gede itu Rp 6.000,” imbuhnya.

Untuk harga memang bisa dikatakan murah, namun melihat proses pembuatan yang rumit dan keahlian yang digunakan, harga segitu tergolong sangat murah jika di bandingkan dengan usahanya saat membuat kerajinan tersebut.

Bekerja dengan peralatan seadanya, tak membuat Yusniar patah semangat. Satu persatu ia bentuk dan kemudian dibakar.

Keahlian Yusniar dalam membentuk blangong diperolehnya secara turun temurun dari ibunya yang juga berprofesi sebagai pengrajin blangong tanoh. Menurut Yusniar, dirinya mulai menggeluti kerajinan ini sejak masih remaja, bersama ibunya yang sudah lebih dulu dipanggil oleh sang Ilahi.

Di rumahnya yang sederhana, Yusniar tidak tinggal sendiri. Ia ditemani oleh suaminya dan anak sulungnya Nurhayati.

Kepada pewarta Nurhayati mengungkapkan kekagumannya atas keuletan sang Ibu dalam menjalani pekerjaannya sebagai pengrajin blangong tanoh. Meskipun Yusniar juga harus merawat suaminya yang sering sakit.

“Semangat mamak yang sudah tua jadi semangat kita anak-anaknya,” katanya singkat.

Keuntungan dari usaha kerajinan ini bisa dibilang kecil, mengingat peminatnya yag memang sudah berkurang.

“Keuntungannya memang nggak menentu dek, kadang sehari dapat 20.000, atau 40.000, atau nggak dapat sama sekali selama seminggu. Nggak masalah, namanya juga usaha yang penting kan halal dan tradisi kita nggak hilang,” tuturnya sambil tersenyum.

Blangong tanoh memang sudah menjadi mata pencaharian sebagian wanita di Pidie selama bertahun-tahun, dan masih dilestarikan sampai sekarang.

Sungguh sangat disayangkan jika kerajinan blangong tanoh hilang begitu saja, karena membuat blangong sudah menjadi tradisi dan warisan leluhur. Dibutuhkan dukungan pemerintah dan pemuda di Pidie untuk terus mengembangkan kerajinan ini supaya tidak hilang ditelan zaman. []

Editor: Hijratun Hasanah