Beranda Feature Kisah Evi, Si Ibu Tunggal Penjual Jambu

Kisah Evi, Si Ibu Tunggal Penjual Jambu

BERBAGI
Potret Evi bersama dagangannya. (Rossdita Amallya/DETaK)

Rossdita Amallya | DETaK

“Ibu berharap dia bisa sekolah sampai tamat SMA, minimal bisa dapat kerja tidak seperti saya ini.”

Matahari sudah berada di ufuk barat, membiaskan cahaya jingga terang mewarnai gumpalan awan di atas langit. Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar jelas dari Masjid Raya Baitturahman, lampu-lampu sepanjang jembatan Pante Pirak yang membentang melintasi Krueng Aceh itu pun sudah dinyalakan satu per satu. Wanita itu duduk di sana, di ujung trotoar yang berada di sisi kiri jembatan dengan sepasang sendal jepit yang ia duduki guna melindungi pakaiannya dari debu trotoar barang sedikit. Matanya memandangi lalu lalang kendaraan yang terlihat semakin padat di penghujung hari, tangannya sesekali merapikan posisi Jambu dan buah lainnya yang ia susun di atas meja mungil berwarna merah pudar. Ada harap, orang-orang sibuk di jalan itu mau mampir dan membeli.

Iklan Souvenir DETaK

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Evi. Dengan pendidikan yang terpaksa berhenti di Sekolah Dasar, Evi berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar bisa  menghidupi anak semata wayangnya yang kini tengah duduk di bangku kelas 1 SD. Tanggung jawab mencari nafkah kini harus ia penuhi sendiri setelah ditinggalkan oleh sang suami sejak sang anak masih sangat kecil. Hal inilah yang memaksanya berada di sini, berjualan.

“Udah dua tahun jualan di sini untuk mencari nafkah. Saya janda, nggak ada suami, masih kecil dia (anak) udah ditinggal suami. Pokoknya biar jangan lapar aja,” ujarnya seraya tertawa kecil.

Dengan berjualanlah, Evi membiayai kebutuhan sekolah serta makan sehari-hari anaknya. Dengan usia sang anak yang baru beranjak 6 tahun, tentu berjualan seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi Evi. Mengingat ia harus meninggalkan anaknya seharian hingga tengah malam untuk mencari nafkah bersama sang nenek di rumah. Rengekan dan tangisan sang anak bukanlah hal baru lagi bagi Evi, alasan serta rayuan akan dibelikan ini itu menjadi jurus ampuh agar sang anak membiarkan ia pergi.

“Harus ada alasan, misalnya kayak mamak mau beli roti atau susu nanti udah mau dia ditinggal. Paling nangis-nangis sikitlah kita rayu,” jelasnya, senyum cerah terukir di wajahnya mengingat tingkah laku sang anak.

Langit semakin gelap, angin berhembus lembut menghempas pohon besar yang berada di atas kepala kami, menyebabkan puluhan daun kering berjatuhan ke tanah. Percakapan saya dan Evi berlanjut cukup lama. Satu hal yang paling melekat di benak saya. Evi ingin menyekolahkan anaknya hingga tamat SMA, berharap sang anak akan memiliki kehidupan dan pekerjaan yang lebih layak dibandingkan dirinya saat ini. “Ibu berharap dia bisa sekolah sampai tamat SMA, minimal bisa dapat kerja tidak seperti saya ini,” ucapnya.

Saya mengakhiri obrolan kami dengan membawa pulang dua bungkus jambu air yang tersisa. Meninggalkan senyum lebar di wajahnya yang terpapar cahaya matahari sore.[]

Penulis bernama Rossdita Amallya, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota di UKM Pers DETaK.

Editor: Della Novia Sandra