Beranda Feature Cerita Pak Ihsa, Penjual Buah yang Habiskan 39 Tahun Berjaja di Pinggir...

Cerita Pak Ihsa, Penjual Buah yang Habiskan 39 Tahun Berjaja di Pinggir Jalan

BERBAGI
Potret Ihsa, penjual buah pinggir jalan di depan Pesantren Darul Ulum, Banda Aceh. (Nur Aida Rossa [AM]/DETaK)

Nur Aida Rossa [AM] | DETaK

Suara knalpot memenuhi telinga. Kendaraan roda dua, tiga maupun empat terus melewatinya, seolah tak melihat ada seorang yang telah keriput duduk di pinggir trotoar jalan yang agak berdebu berteduh di bawah pohon yang tidak begitu rindang.

Langit biru yang menenangkan ditemani berbagai corak ukiran kapas putih dengan sang surya berada segaris di atas kepala. Membuat bayangan pendek di jalan yang dilalui. Tak ada sepoi angin menyejukkan, di terik yang menyengat ini. Hanya angin hasil laju beberapa kendaraan beroda yang terus melewati trotoar di depan Pesantren Darul Ulum, Kuta Alam, Banda Aceh. Suara knalpot memenuhi telinga. Kendaraan roda dua, tiga maupun empat terus melewatinya, seolah tak melihat ada seorang yang telah keriput duduk di pinggir trotoar jalan yang agak berdebu berteduh di bawah pohon yang tidak begitu rindang.

Iklan Souvenir DETaK

Bawahan coklat yang agak pudar dengan kaos berlengan pendek bergaris biru keabu-abuan, sebuah topi hitam menutupi helaian rambutnya yang telah memutih, masker kuning yang sudah kecoklatan menggantung di telinganya dan sepasang sandal coklat.  Ditemani sebuah sepeda tua berwarna biru karatan yang sudah usang, disandarkan di dinding krem agak berlumut tepat di belakang barang yang disusun di trotoar jalan. Keranjang rotan yang agak penyok diikat dengan beberapa tali lalu diletakkan di atas balok kayu di belakang kursi pengendara.

Sambil menikmati beberapa buah untuk mengganjal rasa laparnya, sesekali mengganti tempat duduk antara trotoar dan sepeda. Terus melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada yang mampir melihat barang yang dibawa dari rumah. Beberapa buah batok, mangga, bengkoang dan jambu yang dibungkus dengan plastik seadanya beralaskan tiga lembar karung goni ditawarkannya kepada pelintas jalan.

Sorot mata yang tak fokus, dan kaki yang tak begitu kuat masih terus bersyukur diberi kesempatan untuk sehat, “Saya masih diberi kekuatan untuk bawa sepeda dari rumah, masih bisa jualan, enggak mau saya minta-minta. Ya inilah yang dijual untuk makan sehari-hari,” ucapnya tegas sambil memegang setang sepeda.

Bapak yang tinggal hanya berdua dengan anak laki-lakinya ini terus mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri sambil duduk menyamping di sepeda. Sepuluh meter sepanjang trotoar tak terlihat satu pun penjual buah yang sama. Sedikit janggal, namun bapak yang sering di sapa Ihsa ini berkata bahwa pemilik sekolah ini hanya mengizinkan dirinya seorang untuk berjualan di sini. Tidak boleh ada yang lain.

“Di sini saya udah tiga puluh sembilan tahun jualan, hampir empat puluh tahun. Dulu banyak yang saya jual, kadang ternak, atau ada tu potong es santan yang pake kacang dipotong kotak.” Kerutan-kerutan halus di mata dan di pinggir wajahnya sangat terlihat jelas saat beliau menceritakan perjuangan di masa lalunya.

“Lima ribu sekilo,” jawabnya saat ditanya harga buah batok. Terkadang ada jualan kates, namun untuk beberapa hari ini belum ada. Buah-buah yang dijual ini dibeli dari pasar dan ada juga yang dari daerah tempat tinggalnya, Lambhuk. Pak Ihsa bersyukur jika jualannya sering habis tiap harinya, mengingat usahanya sejak pagi di lokasi lain dan siangnya di depan Pesantren Darul Ulum. Lokasi yang sangat strategis menurut saya untuk berjualan.

“Sekarang udah banyak yang jual buah, entah apa-apa yang dicampur ke dalamnya. Yang ada rusak lambung nanti. kalau ini alami, lebih menyehatkan,” ungkapnya saat ditanya alasan memilih untuk berjualan buah.

Berjualan sendiri, tidak ada teman mengobrol hanya berbekal semangat untuk bisa bertahan hidup. Melihat semangat dan prinsip pak Ihsa, saya jadi mengingat sebuah nasihat kalau tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Saat kita masih memiliki kekuatan dan kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya untuk diri sendiri dan keluarga. Dengan begitu, kita akan lebih merasa bahagia atas hasil dari kerja keras sendiri. []

Editor: Indah Latifa