Beranda Artikel Tradisi Saweu Guree

Tradisi Saweu Guree

BERBAGI
Ilustrasi. (M. Talal/DETaK)

Artikel | DETaK

Dalam kalangan masyarakat Aceh klasik, guree atau guru dalam artian ulama merupakan sosok yang diagungkan dan mulia. Dalam lirik syair anak-anak Aceh yang berbunyi “Ayah dengan poma, keule deungeon gure, uroeng yan ban leemeubek ta dhet-dhet”. Bait syair ini bermakna penghormatan kepada kedua orang tua dan sosok guru yang telah berjasa, tidak boleh berkata kasar kepada ketiga orang tersebut.

Saweu adalah bahasa Aceh berarti mengunjungi, dan guree yang berarti guru dalam definisi pendidik di bidang agama Islam. Istilah guree tanpa penyebutan nama dimaksudkan sebagai penghormatan atas guru tersebut, sehingga masyarakat menyapa dengan kun yah (gelar) guru. Karena bagi masyarakat Aceh menyebut nama itu merupakan perbuatan yang tidak beradab terhadap guree ataupun kepada orang yang lebih tua.

Iklan Souvenir DETaK

Tradisi saweu guree semuebut adalah bentuk penghormatan dan pengagungan kepada sosok guru yang telah memberikan keberkahan ilmunya. Tradisi ini lazim dilakukan ketika hari-hari besar semisal pada dua hari raya. Namun, bagi santri tradisi saweu guree lazim dan menjadi hal wajib ketika kembali ke kampung halaman dalam rangka tertentu, yang mana menjadi keharusan untuk berkunjung (saweu) ke rumah guree yang di kampung.

Di era perkembanganya, tradisi saweu guree kini telah menjadi agenda umum baik di kalangan  santri ataupun non-santri semisal murid sekolah formal berkunjung pada guru sekolah. Masyarakat Aceh memang gemar dalam mengaplikasikan nilai substansial ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tradisi saweu guree. Ini adalah metode substansi kontekstual dalam menerapkan sunah-sunah Rasulullah Saw yang secara garis besar ini masuk dalam kategori akhlak ataupun adab.

Kebiasaan tersebut terus melekat pada jiwa masyarakat Aceh yang kian menjadi konsep adat istiadat, dan telah melahirkan wujud budaya islami di tanoeh rencoeng yang terus dijaga hingga saat ini. Hal ini patut kita syukuri karena kekayaan khasanah agama Islam, yang telah melahirkan konsep ilmu terapan yang sangat menyatu dengan masyarakat.[]

Editor: Indah Latifa