Beranda Artikel Mengejar Sunnah I’tikaf pada 10 Hari Terakhir Ramadan

[DETaR] Mengejar Sunnah I’tikaf pada 10 Hari Terakhir Ramadan

BERBAGI
Ilustrasi. (M. Iqmal Pasha/DETaK)

Artikel | DETaK

Salah satu rangkaian ibadah Ramadhan adalah melaksanakan i’tikaf. I’tikaf berati berdiam diri di masjid dengan syarat-syarat tertentu dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah. I’tikaf sangat dianjurkan dan disunnahkan, apalagi dilakukan di bulam Ramadhan. Dalam hadis dikatakan Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang beri’tikaf sepuluh hari di bulan Ramadan pahalanya seperti dua haji dan umrah” (HR: Baihaqi)

Iklan Souvenir DETaK

Yang dimaksud dengan i’tikaf adalah berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah serta melepaskan diri dari kesibukan hidup. Oleh karena itu, disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah, membaca al-Qur-an, shalat, serta mendalami ilmu. Tidak ada masalah dengan kunjungan keluarganya dan memperbincangkan hal-hal yang mengandung berbagai kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Bahkan diperbolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk mendirikan kemah (tempat khusus) di dalam masjid, jika di dalam masjid itu tidak terdapat bilik khusus. Sebagaimana dibolehkan baginya membawa tempat tidur dan pakaian serta berbagai hal yang dia butuhkan. Sebagaimana dia juga boleh beri’tikaf bersama keluarga-nya di dalam masjid. Bahkan, dibolehkan bagi seorang wanita untuk beri’tikaf seorang diri dengan syarat aman dari fitnah dan mengandung maslahat yang banyak.

Lebih lanjut, dalam sebuah riwayat Aisyah RA mendeskripsikan bagaimana Rasulullah SAW melaksanakani’tikaf. Aisyah RA berkata “Bahwasanya Rasulullah SAW jika ingin melaksanakan i’tikaf ia masuk ke dalam tempat i’tikafnya setelah melaksanakan salat Subuh, dan beliau senantiasa membuat tempat khusus (semacam kemah) untuk beri’tikaf ketika beliau ingin melaksanakan i’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadan” (HR. Bukhari)

Orang yang ingin melakukan i’tikaf harus memenuhi syarat-syaratnya. Setiap ibadah pasti ada syaratnya. Kalau syarat kurang, ibadah yang dilakukan tidak sah. Dalam Taqrirat al-Sadidah disebutkan syarat i’tikaf yang pertama adalah niat. Rasulullah bersabda, setiap amalan tergantung pada niatnya.

Syarat kedua, i’tikaf harus dilakukan di masjid. Menurut sebagian ulama, i’tikaf tidak boleh dilaksanakan di musalla, ribath, dan lain-lain. Selanjutnya, orang yang melakukan I’tikaf mesti duduk di masjid, walaupun sebentar. Orang yang sekedar lewat, tidak diam sebentar di masjid, tidak bisa dikatakan I’tikaf.

Kemudian yang harus diperhatikan juga, orang yang beri’tikaf mesti suci dari hadas kecil dan besar, berakal, dan Islam. Disunnahkan i’tikaf sehari penuh, dalam kondisi puasa, memperbanyak ibadah: doa, dzikir, baca al-Qur’an, dan lain-lain. Dianjurkan juga untuk meninggalkan hal-hal yang makruh dan main-main. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi, Ibnu Abbas Radiyallaahu anhu (RA) berkata:

“Barangsiapa beritikaf satu hari karena mengharap keridhaan Allah, Allah akan menjadikan jarak antara dirinya dan api neraka sejauh tiga parit, setiap parit sejauh jarak timur dan barat” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Penulis bernama Elisawati, Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pengetahuan (FISIP), Universitas Syiah Kuala (USK).

Editor: Masya Pratiwi