Beranda Artikel Masjid Beuracan: Guci Keuramat dan Jejak Ulama di Bumoe Aceh

[Kilasan] Masjid Beuracan: Guci Keuramat dan Jejak Ulama di Bumoe Aceh

BERBAGI
(Sumber: Ist)

Nadiatun Mutmainnah | DETaK

Masjid Teungku di Pucok Krueng atau yang lebih dikenal dengan Masjid Beuracan merupakan salah satu masjid yang bersejarah di Pidie Jaya. Masjid yang terletak di Kemukiman Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya ini sangat mudah diakses karena lokasinya tepat di samping jalan raya lintas Banda Aceh-Medan. Berada di bantaran Krueng Beuracan, terdapat dua masjid dalam satu komplek yang terlihat kokoh dengan ciri khas arsitektur klasik sangat elok dipandang mata dan hingga kini masih tetap terjaga. Masjid yang dibangun ratusan tahun silam ini masih digunakan masyarakat disana untuk menunaikan ibadah, baik shalat lima waktu maupun shalat Jumat serta salat tarawih di bulan Ramadan.

Tidak hanya itu, masjid yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya yang wajib dilindungi juga memiliki kisah lain yakni guci keuramat. Berikut dipaparkan sejarah singkat perjalanan pendiri Masjid Teungku Di Pucok Krueng dan sekilas tentang guci keuramat yang dirangkum dari Bilal Mesjid Purbakala, Tgk Bakhtiar Hasyem.

  • Syekh  Abdul Salim Tiba di Meureudu
Iklan Souvenir DETaK

Pada abad ke-16 berawal dari segerombolan saudagar muslim dari Madinah yang terdiri dari Syekh Abdul Salim, Syekh Jamaluddin dan Malem Dagang serta beberapa pengikutnya yang lain melakukan perjalanan dengan tujuan ke Asia Kecil tepatnya di Gujarat (sekarang India). Melihat penyambutan yang kurang menyenangkan, akhirnya rombongan saudagar muslim ini memutuskan kembali berlayar ke arah selatan benua Asia Kecil dan terdamparlah mereka di pesisir utara Pulau Sumatera tepatnya di daerah kekuasaan kerajaan Pedir (sekarang Pidie). 

Dikarenakan para saudagar mengemban tugas  untuk menyebarkan dakwah maka mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kuala Krueng Beuracan dengan tujuan mencari tempat yang layak untuk mengembangkan agama Islam. Sesampainya disana, para rombongan berpisah kelompok untuk memperluas penyebaran agama Islam dan hanya Syekh Abdul Salim yang menetap di Beuracan.

Selesai berlayar dari India pada tahun 1620 Masehi, Syekh Abdul Salim yang tiba di Gampong Beuracan itu mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Masyarakat disana yang memang sudah beragama Islam dan muslim yang taat membuat Syekh Abdul Salim tidak kesulitan dalam mengajak mereka kepada kebaikan. Bahkan, penduduk setempat menjadikan Syekh Abdul Salim sebagai panutan dan kebijakan beliau sebagai adat dikarenakan beliau adalah sosok pribadi yang sangat peka dengan kehidupan sosial dan pendidikan masyarakat.

Hasil musyawarah dengan masyarakat setempat akhirnya pada tahun 1622 Masehi, Syekh Abdul Salim mendirikan masjid di Gampong Beuracan yang dikenal dengan Masjid Teungku di Pucok Krueng atau Masjid Beuracan. Bahan baku masjid tersebut yaitu kayu jati dengan tujuan agar bertahan lebih lama, oleh karena itu masyarakat berbondong-bondong mencari kayu di bukit Pangwa, Beuracan dan juga Beuriweuh. Dalam usaha pengumpulan kayu ini dipantau langsung oleh Syekh Abdul Salim hingga lamanya bertahun-tahun karena jaraknya yang lumayan jauh dari permukiman penduduk.

Struktur dan arsitektur masjid itu dirancang sendiri oleh Syekh Abdul Salim dengan jumlah 12 tiang penyangga atap pertama pada sisi masjid, 4 tiang penyangga atap kedua dan 1 tiang utama yang berfungi sebagai soko guru untuk menyangga atap ketiga dan kubah masjid. Dalam keadaan yang serba kekurangan, Syekh Abdul Salim berhasil merangkul masyarakat dalam mendirikan sarana peribadatan dan hingga kini bangunan monumental tersebut masih bisa dilihat keberadaannya. Untuk membina dan memakmurkan masjid akhirnya beliau membuka persawahan dan perkebunan sebagai tanah wakaf yang hasilnya digunakan untuk memakmurkan masjid. Syekh Abdul Salim mendapat gelar Tgk Di Pucok Krueng karena menetap di hulu sungai Pucok Krueng hingga wafat dan dimakamkan disana.

  • Guci Keuramat dari Madinah

Masjid yang dibangun pada tahun 1622 Masehi ini memiliki satu Guci yang terletak di dalam bilik sebelah utara tepat di depan pintu masuk masjid. Guci tersebut dianggap Keuramat dan difungsikan sebagai tempat penyimpanan air minum, mandi, cuci muka dan wudhu. Masyarakat setempat percaya bahwa air dalam Guci tersebut dapat menjadi obat penyembuhan sakit atau sebagai mujarab untuk mendapat keberkatan.

Gambar Guci Keuramat

Guci yang sekarang adalah pengganti yang pernah dihadiahkan oleh Kerajaan Cina, Tiongkok pada masa Dinasti Ming untuk Kerajaan Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pihak Kesultanan akhirnya memberikan kepada pengurus Masjid Beuracan. Guci hadiah dari Kerajaan Tiongkok ini badan dan mulutnya bermotif naga yang di percaya oleh masyarakat Cina sebagai dewa penyelamat yang beraliran Konghucu. Kepercayaan ini sangat bertentangan dengan aqidah umat Islam yang menganggap bahwa naga itu adalah berhala. Menurut kisah yang terjadi, Syekh Abdul Salim bermaksud untuk menghilangkan motif naga tersebut dengan mengambil kebijakan untuk menanam bagian badan Guci tetapi pada mulut Guci masih terdapat ukuran naga. Akhirnya Syekh Abdul Salim menunggu waktu yang tepat untuk mencopot ukiran naga tersebut.

Pada saat itu datanglah banjir yang cukup besar sehingga kesempatan itu dimanfaatkan oleh Syekh untuk mencopot ukiran naga. Pekerjaan itu berhasil dan sesuai dengan apa yang diharapkan tetapi merusak pemberian Sultan adalah perbuatan yang tidak baik sehingga Syekh Abdul Salim menutup keaiban itu dengan menggantikan Guci yang didatangkan dari Madinah dan tidak bermotif apapun.Lalu Syekh menjelaskan kepada Sultan bahwa ketika terjadi banjir besar, Guci Masjid Beuracan berantam dengan Guci yang berasal dari Madinah. Guci Masjid Beuracan kalah sehingga yang berhak menetap adalah Guci Madinah. Sedangkan Guci yang sebelumnya ada di Masjid Beuracan terpaksa lari ke Masjid Tgk Chik di Pasi, Desa Bubu, Peukan Baro, Pidie.

Guci ini memiliki keanehan. Perempuan tidak dibenarkan mengambil air dan melihat guci tersebut. Keaiban akan terjadi apabila dua hal itu dilakukan oleh perempuan terhadap guci yang saat ini hanya terlihat mulutnya saja sedangkan badannya tertanam di dalam bilik di depan Masjid itu. Keaiban itu bisa berupa ditemukannya kucing atau tikus yang mati di dekat guci. Air dalam guci yang berubah warna dan mengeluarkan bau tak tidak sedap. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi sehingga pihak pengurus masjid melarang perempuan untuk mengambil dan melihat sendiri air dalam guci tersebut. Jika ingin mengambil air dalam guci maka harus diutuskan kepada pihak lelaki.[]

Referensi:

Tulisan Muksalmina yang berjudul “Sekilas Sejarah Masjid Tgk Di Pucok Krueng, Masjid Tertua di Pidie Jaya” diakses melalui https://www.ajnn.net/news/sekilas-sejarah-masjid-tgk-di-pucok-krueng-masjid-tertua-di-pidie-jaya/index.html

#30HariKilasanSejarah

Editor: Cut Siti Raihan