Beranda Artikel Sejarah Tari Guel, Tari Tradisional Masyarakat Gayo

[Kilasan] Sejarah Tari Guel, Tari Tradisional Masyarakat Gayo

BERBAGI
Ist. (Sumber: Google)

Nihayatul Afifah Husna | DETaK

Indonesia adalah negara yang beragam akan kekayaan alam, budaya, dan juga bahasa dari tiap daerahnya masing-masing. Tari Guel merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah dataran tinggi, Gayo. Dalam bahasa Gayo “guel” berarti membunyikan. Para peneliti dan koreografi mengemukakan bahwasanya tari guel ini bukan hanya sekedar tari, tarian ini merupakan gabungan dari seni musik, seni tari dan juga seni sastra.

Tari ini memiliki sejarah tersendiri, berdasarkan cerita yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Gayo, tari guel berasal dari mimpi seorang pemuda yang memiliki nama Sengeda. Sengeda merupakan anak Raja Linge yang ke-XIII, dalam mimpinya Sangeda bertemu dengan saudaranya yang bernama Bener Meriah, konon katanya saudara Sangeda tersebut telah meninggal dunia yang disebabkan oleh pengkhianatan. Dalam mimpinya, Bener Meriah memberikan petunjuk kepada Sangeda bagaimana caranya mendapatkan gajah putih sekaligus bagaimana cara agar gajah putih tersebut dibawa dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh Darussalam.

Iklan Souvenir DETaK

Beberapa tahun kemudian, Cik Serule yang pada masa itu menjadi perdana menteri Raja Linge ke-XIV berangkat menuju ibukota Aceh Darussalam untuk memenuhi hajatan sidang kesatuan kerajaan. Sangeda yang dikenal dengan perdana menteri tersebut turut serta ikut memenuhi undangan tersebut.

Saat sidang tengah berlangsung ternyata Sangeda pergi jalan-jalan dan bermain di Balai Gading sambil sesekali menikmati keagungan istana sultan. Pada saat itu tiba-tiba Sangeda teringat akan mimpinya yang bertemu dengan saudaranya Bener Meriah, sesuai dengan petunjuk yang diberikan malam itu ia pun mulai melukis seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun neniyun (pelepah rebung bambu). Saat Sangeda menyelesaikan lukisannya ia pun mengarahkan gambarannya pada cahaya matahari, pantulan cahaya yang sangat indah ternyata menarik perhatian Putri Raja Sultan, karena lukisan tersebut sang Puteri memiliki hasrat untuk mempunyai gajah putih dalam bentuk asli, permintaan itu diutarakan kepada Sangeda dan Sangeda menyanggupi permintaan sang Putri.

Sangeda kemudian mulai mencari gajah putih tersebut di Rimba Raya Gayo. Untuk menjinakkan gajah putih sesuai dengan petunjuk yang diberikan, dilakukan kenduri dengan membakar kemenyan, ditimbulkan bunyi-bunyian dengan memukul-mukul batang kayu dan benda apa saja yang sekiranya bisa menimbulkan bunyi. Sebagian kerabat dari Sangeda mulai memunculkan gerakan tarian yang ditujukan untuk memancing gajah agar keluar. Setelah itu gajah putih nampak keluar dari tempatnya bersembunyi.

Saat gajah melihat rombongan Sangeda, sang gajah berhenti dan enggan untuk beranjak dari tempat tersebut. Berbagai cara telah dilakukan Sangeda untuk membuat gajah bergerak namun hasilnya nihil, tiba-tiba kilasan mimpi terpampang dalam ingatannya, Sangeda dengan segera memberikan arahan kepada rombongan untuk kembali memulai tarian dengan niat yang tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah indah dan santun, disertai dengan salam sembah kepada gajah tersebut.

Ternyata tarian tersebut mampu meluluhkan hati gajah, gajah yang semula diam akhirnya bergerak dan berjalan sembari diiringi tarian oleh rombongan sepanjang perjalanan. Sepanjang perjalanan menuru kerajaan, gajah sesekali ditepung tawari menggunakan jeruk mungkur dan bedak. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari sampailah rombongan Sangeda dengan membawa seekor gajah putih ke hadapan sang Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.

Sampai saat ini tari guel masih banyak dipentaskan serta menjadi pertujukkan atraksi dan sering dijumpai saat upacara perkawinan.[]

Referensi:
Isbiaceh.ac.id. 2019. “Tari Guel” dari laman http://isbiaceh.ac.id/tari-guel/

#30HariKilasanSejarah

Editor: Sahida Purnama